Kamis, 05 Maret 2020

Kita dan Suara Langkah yang Berbeda.

 
Source


Orang-orang bilang setiap  manusia memiliki sidik jari yang berbeda antara satu dengan yang lain. Entahlah, aku  belum pernah benar-benar membuktikan kebenaran hal itu. Akan tetapi, kalau boleh kutambahkan, satu hal yang kemungkinan besar berbeda antara satu manusia dan manusia lainnya adalah suara langkah kaki mereka.
            Srek...tap tap..srek.
Tanpa perlu melirik ke sumber suara, aku sudah tahu bahwa langkah itu adalah milik salah seorang pegawai yang bertubuh cukup tambun. Sandalnya dalah sandal jenis shower slides—entah merek apa—berwarna biru tua.
“Tap..Tuk... Tap... Tuk... Tap...
Kalau suara langkah ini adalah langkah kepunyaan salah satu pegawai wanita yang usianya satu tahun lebih muda dariku. Ia menggunakan heels model pumps. Ketipak-ketipuk entakannya selalu terdengar pasti, namun agak terburu-buru.
Sret... sret... sret... tap.
Lagi, tanpa perlu melihat, aku tahu jenis suara langkah ini adalah langkah atasan langsungku, yang berpostur tinggi besar. Langkahnya agak diseret dan lambat, namun penuh perhitungan. Sangat berbeda dengan langkah cepat-cepat namun sembrono milikku.
Sekarang aku masih memandangi layar komputerku. Menggulirkan tampilannya secara tak henti, mencari data yang diminta oleh salah seorang pegawai terkait persuratan. Satu-persatu jenis suara langkah maupun derap silih berganti mengetuk gendang telingaku. Kadang langkahnya diseret, kadang entakannya berlebihan, bahkan kadang hanya berupa lirihan telapak sepatu atau sandal.

Tuk... Tuk.... Tuk.... Tap.”
Mendengar jenis langkah yang satu ini, aku mengalihkan pandanganku  menuju si pemilik langkah. Hanya sekian sekon, sebab agak malu juga kalau terlalu lama. Langkahnya terdengar cukup mantap dan khas telapak pantofel. Memang benar sih pantofel—dan kalau boleh kutambahkan warnanya cokelat tua.
Kemudian aku jadi berpikir, kalau orang ini berganti sepatu, apakah aku akan tetap mengenali suara langkah kakinya? Tentu aku tahu, suara langkah kaki orang-orang yang telah kusebutkan dipengaruhi banyak oleh jenis alas kaki yang mereka gunakan. Suara yang dihasilkan sepatu formal dan non-formal tentu akan berbeda.

Kemudian aku berpikir, dapatkah aku tetap mengenali suara langkah kaki orang-orang di sekitarku ketika mereka menggunakan alas kaki yang sama sekali berbeda?

Dapatkah aku?

 **


“You thought you knew.
When in fact, you just don’t


Rabu, 06 Februari 2019

Thought of the Night: Ruang

Sebetulnya aku menulis ini hampir tiga tahun yang lalu! Tapi ketika kubaca lagi, ternyata masih tetap relatable hingga detik terakhir aku membacanya.

Kenapa ya, ketika aku tahu kalau aku bisa berbagi ruang dengan orang lain, aku cenderung melupakan ruangku sendiri? Padahal sebelumnya aku sudah merasa cukup dengan ruang yang sudah aku punya. Apa aku terus mencari ruang yang lebih baik?

Atau, apa karena manusia gak pernah merasa puas?

Baiklah, ini hanya pengingat untuk diri sendiri, untuk tidak melupakan apa yang sudah aku punya. Kebetulan sudah lama sekali aku lupa dengan ruang milikku ini.

Pengingat bahwa aku sebenarnya sudah utuh dengan ruang punyaku sendiri. 


Selasa, 14 Februari 2017

Fanfiction Got7 Im Jaebum (Bahasa Indonesia)

So, I'm just helping my friend out. Selamat membaca fanfiction dan jika berkenan boleh love juga tinggalkan komentar positif di sana.
Semoga suka!

Knight of the Day (Got7's Im Jaebum)

Sabtu, 07 Januari 2017

Video Pendidikan Antikorupsi

Merasa skeptis dan apatis dengan fenomena korupsi yang seperti tak ada akhirnya?
Tidak! Jangan dulu!
Titik di mana kita, sebagai bangsa Indonesia, menyerah untuk memerangi korupsi adalah saat untuk mengucapkan selamat tinggal bagi kesejahteraan umum serta tujuan negara lainnya yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Maka apa yang dapat kita lakukan? Salah satu caranya adalah dengan menonton, menyukai, dan meninggalkan komentar positif pada video: 


"DO SOMETHING"

Mari #HantamKorupsi

Sebab jika tak ada yang melakukan sesuatu, maka tak akan ada perubahan.
This, my friends, is the least we can do. For Indonesia.
Terima kasih.

Senin, 14 November 2016

Bad, Good Things Happen.

Hal baik terjadi. Hal buruk tak bisa dihindari.

Mengenyahkan rasa kesal setelah hal kurang baik menimpa memang tak mudah:

 

ketika episode terakhir drama yang telah kamu ikuti sejak episode pertama ternyata mengecewakan;

hujan lebat menyapamu tepat di depan gerbang saat kamu mengira semua hal akan berjalan lancar;

uang kembalian yang kamu dapat dari kasir minimarket lusuh, sobek sana-sini;

kendaraan bermotor yang membunyikan klakson keras-keras dan ditujukan kepada kendaraan yang sedang kamu tumpangi;

orang-orang salah mengeja namamu;

makanan dalam kemasan yang sempat terlupakan, dan saat teringat ternyata telah melewati waktu kedaluwarsanya;

bentuk telur mata sapi buatanmu yang tak beraturan;

hingga seseorang yang masuk ke dalam kamarmu tanpa mengetuk pintu atau bersuara terlebih dahulu.


Tapi kamu bisa melakukannya.

Sebab masih banyak hal lain yang secara tak sadar membuatmu mengulum senyum:


ketika kamu bisa mendapatkan barang yang kamu butuhkan di minimarket, yang hanya tinggal tersisa satu;

penjaja makanan di pinggir jalan yang memberikan bonus tambahan ke dalam porsi pesananmu;

memasuki kamar yang sudah dalam keadaan rapi setelah beraktivitas di luar seharian;

menemukan bolpoin favorit yang kamu pikir telah lenyap tak jelas rimbanya;

melihat seorang lelaki setengah abad yang berada di dalam toko pernak-pernik serba merah muda untuk mencari ikat rambut bagi anak gadisnya;

menemukan selembar uang terselip di dalam saku celana jeans-mu;

mengetahui tim sepak bola kesukaanmu menang dengan skor terpaut jauh;

mempunyai seseorang, atau bahkan banyak orang, yang secara tulus ingin mendengar apa ceritamu hari ini.

 

Ada banyak lagi sebenarnya, yang tak mungkin aku sebutkan satu-persatu karena, ya, selalu ada batas untuk segala hal, bukan?


Jumat, 21 Oktober 2016

Tentang Takut

Ketika satu hari ketakutan itu datang, beriringanlah ia dengan sebaris pertanyaan.

Apa yang ditakutkan?

Setiap alasan berujung lancip. Seluruhnya terasa pagan. Semuanya melumpuhkan pesat logika.

Semula, ini tentang kenangan yang melinting hari-hari terdahulu.

Maka aku takut ketika kamu masih dengan baik mengingat tiap kelim seluruh memori. Meskipun tak ada yang berdigdaya hingga akhir selain Allah, kenangan lah yang terus bertahan sampai kamu memang tak lagi mampu mengaisnya.

Kemudian tentang jejak yang masih tertinggal. Atau sengaja ditinggalkan, karena dulu kamu pikir kenangan itu masih dapat dirajut. Masih bisa disambung. Walau kenyataannya tidak.

Maka aku ragu, perlukah aku mencucuh jejak yang sama? Akankah terasa sama? Mampukah menghapus jejak yang telah dibuat sebelumnya?
Dan rasa mengguruhkan bantahan. Jejak lama itu seluruhnya menentang hukum alam. Mereka tak makin aus ketika dihablur waktu. Membuat perasaan takut, sebab kamu akan kembali mengegah di tiap jejak itu, terasa wajar.

Satu lagi, perkara ujung jemari milik dirinya yang mampu menelusuri sulur nalarmu dengan baik.

Maka aku lara, saat tahu dimensi waktunya denganmu berlipat kali milik kita. Bagaimana telah istimewa tempatnya dalam ceritamu. Bagaimana kesederhanaan figurnya yang mengagumkan. Bagaimana ia selalu membuatku merasa kecil. Kerap bergema ketidakyakinan atas diriku sendiri, begitu namanya disebut.

Percayalah, hal tersebut menyebalkan. Perasaan tersebut memuakkan.

Namun belakangan ini, aku paham satu hal. Semuanya karena hati kecil ini mulai berkata,
"Rasa takut itu, kau yang buat. Maka cuma kau juga yang bisa menghilangkannya."

Entah berapa ratus kali orang sekitar menyambit sedihmu dengan kata-kata penyemangat. Tak kenal berapa kali kamu membaca rentetan kata-kata mutiara dalam buku self-help. Semua itu, kamu sendirilah yang bisa menentukan: takut atau tidak.

Aku sendirilah yang bisa.

 ***

The ending, was not supposed to end just like that, actually.
But I'm already standing at the edge of my conscious stage; I'm way so sleepy zzzzZzzzzzZzzzzZZZ.