Jumat, 09 November 2012
Minyi Quotes Lima
"Jika kamu berniat mendapatkan sesuatu, maka akan ada jalan untuk mencapainya. Semuanya bergantung pada seberapa besar niatmu itu."
Kamis, 08 November 2012
Minyi Quotes Empat
"Menghadapi ketakutan terbesar milik orang lain jauh lebih mudah daripada menghadapi ketakutan terkecilmu."
Minyi Quotes Tiga
"Menyepelekan sesuatu itu semacam dengan sengaja kamu menekan pilihan 'stop' setelah 99% melewati proses download. Gagal, dan membuang waktu."
Rabu, 07 November 2012
Minyi Quotes Dua
"Bercerita memang bisa meringankan. Tapi enggak semua hal bisa diceritakan. Ada yang cukup disimpan dalam hati, supaya kamu punya ruang untuk sendiri."
Selasa, 06 November 2012
Intermezzo: Say Hello!
Well, hello :-) Seems like doing comeback setelah sekian lama enggak menulis satu atau dua cuap di dunia blog. Setelah ya, ehem, sibuk mengurusi banyak hal, dari mulai yang penting sampai yang sama sekali gak perlu diurus. Mungkin ada tujuh bulan vakum ya. How I'm missing post something here^^
Minyi Quotes Satu
"Best part of your life actually when you're falling. 'Cause you can feel much stronger after that."
Petellie: Cerita Pertama.
“Peter!”
Aku
memukul keras pundak sahabatku itu. Sendok berisi bakso yang asalnya akan masuk
ke dalam mulut Peter pun seketika terjatuh ke lantai dan menimbulkan suara yang
cukup keras, sehingga membuat beberapa orang yang sedang duduk di kantin menoleh
ke arah kami dengan ekspresi tolong-jangan-bikin-keributan di wajah mereka.
“Elena!
Apa-apaan sih.”
“Pet,”
Aku berdeham sebentar, kemudian duduk di sebelahnya. “Aku sudah punya dua calon
pacar!” Sengaja, kupelankan suaraku untuk dua kata terakhir.
“Apa?!
Calon pacar?” Peter terlihat berusaha menahan tawa. “Elle, kenapa harus pakai
calon? Kamu kelihatannya pengin cepat-cepat punya pacar, ya. Seminggu
belakangan ini, yang kamu bicarakan terus menerus soal laki-laki.”
“Aku
sudah hidup sekian tahun, dan tidak pernah punya pacar. Kurasa itu alasan
kenapa aku ingin cepat-cepat punya pacar. Kamu sih enak, banyak yang suka.
Tinggal tunjuk mau yang mana.”
“Memangnya
calon pacarmu siapa saja?” Peter tidak membahas lebih lanjut soal perkataanku
yang menyebut dirinya tinggal tunjuk untuk mendapatkan pacar.
“Nih.”
Aku menyerahkan notes kecil dari saku baju seragamku. Sambil menunjuk beberapa
tulisan, aku menjelaskan rencanaku pada Peter. “Ada Rado, yang jadi ketua
Kelompok Pelajar Matematika dan Gifran, anggota ekskul basket. Gimana?
Pilihanku oke, kan?”
Beberapa
kali Peter membolak-balik notes-ku yang penuh dengan coretan. Dari mulai
kotretan pelajaran eksakta, sampai kotretan uang jajan perbulan. Tapi dia hanya
terdiam.
“Hei,
aku minta kamu untuk berkomentar soal pilihan calon pacarku, bukannya mengamati
hitungan-hitungan uang jajanku!”
Ia
menutup notes-ku dan mengembalikannya. “Lalu cara untuk mendekati mereka?”
Cukup
dengan senyuman kecil, kujawab pertanyaan Peter.
**
"Daftar
anggota Kelompok Pelajar Matematika?” Rado menaikkan sebelah alisnya. Membuat
jantungku melompat dari tempatnya saat itu juga.
Setelah
berfikir 3 hari 3 malam, akhirnya aku memutuskan, bergabung menjadi anggota
Kelompok Pelajar Matematika. Nampaknya itu akan membuatku mudah dekat dengan
Rado. Maka dari itulah, sekarang aku sedang berdiri di ruang sekertariat ekskul
Kelompok Pelajar sambil menggigit bibir.
“Iya.
Belum terlambat kan?” Terdengar nada harap-harap cemas pada suaraku.
“Memang
belum.” Ucapannya menggantung. Rado menatapku beberapa saat, berusaha mencari
kesungguhan pada manik mata cokelat tua ini. Tapi aku yakin, yang Rado berhasil
temukan di sana ada adalah kepanikan dan harapan. Aku berusaha tersenyum manis
agar lebih meyakinkan Rado. Aduh, memangnya sesulit ini ya mendaftar jadi
anggota ekskul?
“Lalu?
Apa ada masalah jika aku bergabung Kelompok Pelajar Matematika ini?” Tanyaku
hati-hati.
Ia
menghela napas penjang sambil mengangguk dua kali. “Ya, Elle. Masalahnya
adalah, kamu memang cukup manis, tapi sayang sekali kamu bukan tipe-ku. Maaf.
Aku tidak bisa jadi pacarmu.”
Saat
itu juga, aku yakin wajahku mirip korban ledakan nuklir Chernobyl yang gagal
operasi sehingga mendapatkan bentuk wajah yang benar-benar gagal.
**
“Kenapa
kamu tidak memberitahu aku?!” Aku mendorong badan Peter hingga ia hampir
terjatuh. Sudah dua menit tanpa jeda dia tertawa sambil memegangi perutnya.
Untung kami sudah berada di luar lingkungan sekolah, sehingga aku bisa bebas
berbuat apa saja terhadapnya.
Ternyata,
Rado bisa membaca fikiran lewat tatapan mata. Itulah sebabnya dia menatap
mataku cukup lama sebelum memutuskan untuk tidak menerimaku di Kelompok Pelajar
Matematika. Dan yang sangat menyebalkan, aku baru mengetahui hal ini dua menit
yang lalu. Dari Peter. Dan dia memberitahuku dengan riang. Seperti memberitahu kalau
dia baru saja mendapat lotere dengan hadiah 1 miliar.
“Aku
tidak berfikir dia akan langsung tahu…kalau….hahahaha.”
Kuangkat
tasku dan kulempar ke wajahnya. Tanpa memedulikan isi tas yang berhamburan dan
Peter yang terjerembab ke rerumputan di pinggir jalan, aku langsung berjalan
dengan langkah cepat menuju ke gerbang rumah dan membukanya dengan kasar.
**
Keesokan
harinya, aku sudah berada di pinggir lapangan dengan pakaian olahraga. Ditemani
Peter. Hasil lemparan tasku kemarin membuat ujung matanya terluka. Sebenarnya
yang lebih aku khawatirkan adalah keadaan tasku. Untung saja rumahku dan rumahnya bersebelahan, sehingga ia
langsung mengembalikannya saat itu juga.Aku tidak langsung minta maaf karena
masih kesal atas sikapnya yang senang melihat aku menderita kemarin. Di
rumahku, aku dan Peter memikirkan cara supaya aku bisa dekat dengan Gifran. Dan
akhirnya, bergabung dengan ekskul basket menjadi pilihan yang terdengar bagus.
Peter beberapa kali menyikutku, supaya aku
bisa langsung mendaftar jadi anggota ekskul basket. Tapi beberapa kali itu
juga, aku kembali ke pinggir lapangan setelah berjalan beberapa langkah.
“Ellie!”
Jika sudah kesal, Peter akan memanggilku ‘Ellie’. Aku benci panggilan itu,
sehingga aku langsung mendelik ke arahnya. “Cepar daftar! Sudah setengah jam
kita berdiri di sini seperti orang bodoh.”
“Iya!”
Karena sama kesalnya, aku pun langsung berjalan dengan langkah gegabah. Aku
masih berdiri di pinggir lapangan, namun agak jauh dari posisi awalku. Latihan
sedang berlangsung di tengah lapangan. Kebetulan, Gifran sedang tidak berlatih
dan tengah duduk-duduk di bangku yang terbuat dari tembok di sisi lapangan.
“Gifran!” Aku berteriak sambil melambai padanya.
Gifran
yang mendengar panggilanku balik melambai, dan samar-samar tersenyum.
Sebenarnya, aku sudah mengenal Gifran sejak awal masuk SMA. Dia supel dan
ramah. Namun karena baru sekarang terfikir untuk punya pacar, maka aku juga baru
‘menyukainya’ dan kufikir tidak ada salahnya jika mempunyai pacar seorang
pemain basket.
“Sini,
Elle!” Gifran balas berteriak sambil menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya.
Aku tak kuasa menahan cengiran yang pastinya sangat konyol, dan langsung
berjalan ke tempatnya. Supaya cepat, aku pun melewati tengah lapangan.
“Elle!”
Terdengar suara Peter memanggilku. Aku berbalik dan memasang tampang
apa-kau-tidak-lihat-apa-yang-akan-aku-lakukan-? “Hati-hati!” Katanya.
Aku
berdecak kesal—karena tidak mengerti apa yang dibicarakan Peter—kemudian berbalik
lagi menuju Gifran dan melanjutkan langkah. Namun, baru sekitar dua meter,
tiba-tiba kudengar suara teriakan dari sebelah kiriku.
“Awas!”
Dan
saat aku menengok ke arah datangnya suara, tiba-tiba sesuatu menghantam wajahku
dengan cepat. Aku terjatuh dengan keras. Lalu semuanya menjadi gelap, hingga
akhirnya aku tidak mampu mendengar apa-apa.
**
“Elle.”
Suara lembut itu seolah membangunkanku. Kubuka mataku yang terasa sangat berat.
Perlahan, sosok Peter mulai terlihat. Wajahnya tampak lelah, namun tetap berusaha
tersenyum.
“Di
mana aku?”
Peter
tertawa hambar. “Apa kamu hilang ingatan? Amnesia?”
Aku
tertawa, tapi langsung berhenti. Rasanya otot-otot wajahku sakit sekali jika
digunakan untuk bergerak terlalu banyak.
“Tadi
wajahmu terhantam bola basker.” Peter menggeleng sambil mengerucutkan bibirnya.
“Bukankah sudah kubilang untuk berhati-hati. Jadinya kan begini. Dapat pacar
tidak, dan yang ada kamu malah mendapat musibah. Awalnya aku mau membawa kamu
ke UKS. Tapi kata pelatih basket, lebih baik aku membawamu pulang. Jadi, kubawa
kamu pulang. Kamu tau? Tadi Gifran hanya diam saja tanpa terlihat mau
membantumu.”
“Apa
kamu mau tertawa lagi?” Sungutku, kesal. Kupalingkan wajahku dari hadapan
Peter. “Mungkin sampai kapanpun aku tidak akan pernah punya pacar.” Kuat-kuat,
kutelan rasa kesalku sampai turun ke kerongkongan.
“Suatu
saat pasti kamu dapat, Elle.”
“Suatu
saat. Suatu saat yang benar-benar suatu saat. Entah kapan.”
“Pasti
kamu akan dapat. Tapi nanti. Memangnya punya pacar sekarang itu keharusan ya?
Itu kan bukan kewajiban.”
“Kamu
bicara seperti itu karena kamu pernah punya pacar. Memangnya kamu pernah merasa
sakit hati seperti aku ini? Belum pendekatan saja sudah sakit hati. Lagipula
mana ada laki-laki yang mau punya pacar seperti aku? Uh, mengerikan.”
“Aku
mau.”
Perlu
beberapa waktu aku mencerna kata-kata Peter.
Aku memalingkan wajah tepat ke hadapannya dan menatapnya dengan tanda
tanya besar.
“Aku
mau jadi pacarmu. Jika kamu mau.”
Aku
ternganga dan langsung terduduk seketika. Kupinggirkan dulu rasa sakit di
sekujur tubuh—terutama punggung—yang aku rasakan akibat terjatuh tadi. Tatapan
mata Peter tidak bisa terbaca. Terlalu ambigu. Dan multitafsir. Kemudian tawaku
tidak dapat tertahan lagi.
“Aku
serius, Elle.” Kata-kata Peter ini langsung menghentikan tawaku. “Laki-laki dan
perempuan tidak akan pernah bisa menjadi sahabat. Tidak akan.” Ia terdiam
beberapa saat. “Ini sulit dihindari. Walau sudah dicoba.”
Manik
mataku melebar seketika, dan semua yang ingin aku katakan tidak bisa
keluar.Tubuhku menjadi lemas. Rasanya punggung ini tidak kuat lagi menahan
berat tubuhku. Lalu semuanya menjadi gelap lagi. Dan kata-kata terakhir yang
kudengar adalah; “Ellie!”
***
Langganan:
Postingan (Atom)