(Do
you remember how you and I were so young and small?
We
were always together, do you remember our friends who were jealous of us?)
Sejak Sekolah Dasar, Bumi dan Bulan adalah bagaimana
kami kerap disapa. Bumi untuknya, dan Bulan untukku.
Kami selalu berada dalam kelas yang sama.
Ekstrakulikuler yang sama. Hingga tempat les yang sama. Di mana ada aku, dia
selalu menyertai. Hingga bisa kurasakan gelombang bosan dan iri dipancarkan
oleh anak-anak lain. Baik di kelas, atau di tempat les, atau di gerbang
sekolah. Cara mereka memandang kami, bagaimana iris mereka meneriakan rasa
ingin menjadi seperti kami.
Atau mungkin, ingin menjadi sepertiku?
Kala itu, aku hanya bisa tersenyum sembari menepuk
pundak Si Bumi bangga. Meski pada akhirnya, yang bisa kutepuk adalah siku,
bukan pundaknya.
Ia sangat tinggi, amat menjulang. Dan aku bangga
bisa menjadi sahabatnya.
Bumi, yang selalu mampu melindungiku dari sengatan
matahari saat upacara pagi.
(You
held my small hand and protected me, always smiling only at me
Baby,
we didn’t know back then, we were too young)
Sebelum
berangkat sekolah, sebelum pergi menuju tempat les, dan sebelum kami keluar
dari gerbang rumahku, Ibuku selalu mengatakan, “jaga Selene baik-baik ya, Al”.
Dan ia selalu memenuhi permintaan Ibu. Ia menjagaku
dengan baik. Sangat baik.
Favoritku, adalah tangannya. Tangan yang jauh lebih
besar, yang mampu membuatku merasa nyaman.
Yang kutahu saat itu, jika aku merasa ketakutan atau
bingung, peganglah tangannya.
Tangan Bumi, yang selalu menyelimuti milikku saat
kami menyebrangi jalan besar menuju tempat les.
(You
came to me, into my heart, as something more than a friend
Next
to you, I hid my heart, hiding behind the friend label)
Sampai kini. Sampai kami tiba di masa retardasi
moral yang menggila di 2014, kami tetap Bumi dan Bulan.
Sebenarnya ia adalah lelaki dengan nama lahir Galaksi,
dan bukan Bumi. Sedangkan aku, aku bukan Bulan. Namaku Selene—yeah, aku tahu kok kalau Selene itu bermakna bulan. Tapi apapun itu, yang jelas
dua metafor tadilah yang orang-orang sering sematkan pada kami; ia selayaknya
Bumi, dan aku Bulan.
Tapi kini, pandanganku mengenai makna dari panggilan
kami berubah.
Ia berubah.
Ia bukan lagi anak kecil yang tidak mau masuk sekolah
karena gigi susu serinya baru saja tanggal.
Ia adalah Galaksi, Si Kapten Tim Basket.
Aku tetap Bulan yang selalu mengiringi Bumi. Meski
Bumi terkadang asyik sendiri—sibuk dengan
putaran diri, atau putaran mengelilingi Matahari yang jauh lebih menarik
dari Bulan—dan tak menaruh atensi pada Bulan, Bulan enggan peduli. Juga, Bulan
terlihat kecil, tak berdaya. Sama sepertiku. Sedangkan Bumi begitu hidup.
Persis sepertinya.
Pernah satu hari, dari hari-hari sulit untuk bertemu
dengan Bumi, kukatakan bagaimana orang-orang memandang persahabatan kami. Lalu
kutanya ia,
“gimana pendapatmu terhadap panggilan itu? Risih?”.
Ia diam. Semestinya, ia tahu mengenai hal ini. Kata
ganti tersebut sudah digunakan lebih dari sepuluh tahun.
“Aku cuma penasaran. Itu kan panggilan sudah lama,
maka kamu pasti tahu. Dan untuk sekarang, kelihatannya mereka menamai kita
begitu karena mereka menganggap aku dan kamu dekat dan timpang di saat yang
bersamaan. Kamu keren, aku payah. Kamu banyak dikenal orang, aku boro-boro.
Dipikir lagi, memang iya sih. Kok sampai sekarang kamu mau bersahabat dengan
aku?”
Masih hening. Belum ada yang bersuara.
Tapi kemudian ia menoleh untuk menatapku, dan menyunggingkan
senyum kecil khasnya. Berujarlah ia,
“sedikit mereka tahu, kalau tanpa Bulan, Bumi enggak
ada apa-apanya. Kehidupan di Bumi, juga Bulan-lah yang ikut berperan.”.
Dan sejak itu, baru aku sadari, iris matanya dalam.
Sedalam suara baritonnya.
Iris mata Bumi, yang kelamaan jadi hal favoritku
tentangnya, menggantikan genggaman tangan yang dulu terasa hangat.
(Do you think
of those days like I do sometimes? Do you remember?
The nice
breeze, the warm sunlight that shone on us? Do you remember?)
Sejak SMP kelas satu, Bumi sudah
bisa mengendarai motor. Dan aku selalu jadi orang pertama yang ia ajak
berkeliling menggunakan benda bermesin tersebut.
“Al! Jangan belajar ngebut, deh. Takut, tahu!”
Aku selalu mencengkram bahunya kuat-kuat saat
spidometer sudah—atau nyaris—menyentuh angka 80.
Aku takut. Aku belum mau mati.
“Santai, Sel. Aku sudah sering berlatih.” Jawabnya
dari balik kaca helm.
Tempat yang selalu jadi tujuan kami adalah danau
buatan di pinggir kota. Danau yang airnya jernih, memancarkan apa yang
direfleksikan sinar matahari dengan baik.
Tidak banyak orang yang berkunjung ke danau itu.
Maka setiap kami meluangkan waktu untuk mengunjungi
tempat tersebut, hanya ada tiga-empat orang di sana.
Setiap kali kami datang, benderang sinar matahari
selalu menyambut. Seakan mengatakan ‘akhirnya datang juga’. Kecuali untuk
hari-hari hujan—aku tidak pernah mau naik motor bersamanya saat musim hujan.
Kami berjalan mengelilingi danau, atau duduk di
pinggir danau, atau berbincang di bawah teduhnya pohon besar. Kami membicarakan
banyak hal—sekolah, rumah, film, buku. Selalu ada bahan obrolan.
Hening memang sesekali menginterupsi. Namun ini
adalah jenis hening yang nyaman, pun tenang. Hening yang mewakili suara hati
masing-masing.
‘Piknik’ kecil-kecilan itu kami lakukan sebulan dua
kali, atau jika tak sempat, satu kali dalam satu bulan.
Kami tidak pernah lupa pada danau yang telah
menyimpan banyak ceritaku dan ceritanya.
Kami tidak pernah lupa pada semilir angin yang
lembut, yang ramah.
Kami tidak pernah lupa kalau kami adalah kami yang
selalu bersama pergi ke danau buatan.
(We
resembled each other so much and you were my precious friend
Baby,
that’s what I believed, but you came to me and it was so strange)
Akan tetapi, kurasa sekarang semuanya sudah berubah.
Sejak mengenakan seragam putih-abu, kami jarang pergi ke danau lagi. Aku juga
jarang menaiki motor Bumi.
Terkadang, aku bahkan lupa bagaimana rasanya
membicarakan hal-hal konyol dengannya.
Aku pun lupa bagaimana genggaman tangan Bumi yang
besar, dan menenangkan.
Tapi satu hal.
Aku tak pernah lupa tatapan Bumi yang dalam.
(You
came to me, into my heart as something more than a friend
Next to you, I hid my heart, hiding behind the
friend label)
Suatu
siang, Ibu datang ke kamarku dan mengatakan kalau ia datang.
Galaksi
datang. Bumi-ku datang.
Aku
terkejut. Namun rasa ingin meledak karena senang ternyata lebih besar.
Ada apa ini? Kenapa aku seperti ini? Ini bukan kali
pertama ia datang ke rumahku, bukan? Mengapa pada kunjungan-kunjungan
sebelumnya aku tidak pernah sesenang ini?
Setelah keluar dan menemuimu, aku tak bisa untuk
tidak tersenyum, dan tidak bisa juga menahan rasa tak keruan yang terasa jelas
oleh perutku. Seperti dipelintir, diremas, dan didesak sekaligus. Idiot.
Duduk, untuk sesaat diam bersuara. Tidak ada satupun
yang menyatakan apa-apa. Aku bingung. Ini bukan jenis hening yang biasanya
menyelimuti kami. Keheningan ini tidak membuatku nyaman, dan tidak membuatku
ingin tenggelam berlama-lama di dalamnya.
“Sel.”
Bumi berhasil menemukan suaranya.
Aku
menggumam, dan menoleh. Menanyakan apa melalui gerakan alis mata.
“Gimana
ya caranya nembak cewek, tapi yang romantis?”
Dan
aku berharap aku tidak pernah bertanya apa yang ingin ia katakan.
Kujawab, aku tidak tahu. Seseorang belum pernah
menyatakan perasaannya dengan cara yang manis padaku. Dan aku juga belum pernah
menyatakan perasaanku pada orang lain.
Aku
belum pernah punya perasaan yang cukup kuat untuk itu.
Ia
hanya mengangguk kecil.
“Memangnya
kenapa?” Aku tahu suaraku sedikit tercekat. Ada sesuatu seperti gumpalan yang
menahan laju suaraku. Sesuatu yang pahit, dan aku tidak menyukainya.
Tanpa
bisa ditahan, ia menceritakan semuanya.
Semuanya
dengan detail dan tidak ada yang ditutup-tutupi.
Ia
menyukai teman sekelasnya.
Bintang.
Bintang yang bersinar bagi Bumi. Bintang yang paling
terang dari ratusan bintang lainnya.
Bintang
yang lebih indah dari Bulan.
Bukan seseorang yang dikenal oleh seluruh penjuru
sekolah. Bahkan cenderung pendiam. Kesukaannya dalam membaca karya klasik. Jane
Austen, Harper Lee, Herman Melville. Itulah Bintang yang menarik perhatian
Bumi.
Dehaman
adalah respon pertamaku seusai Bumi mengakhiri ceritanya.
“Kalau kamu suka, ungkapkan dengan caramu dan kemas
dengan caranya. Kurasa, itu sudah cukup romantis. Gimana kalau berhubungan
dengan novel klasik? Maybe it’ll work.”
Bumi tersenyum lebar, seperti baru menemukan invasi
terbaru untuk Perang Dunia III. Ia menepuk puncak kepalaku dengan telapaknya
beberapa kali.
Dan
mau tak mau, aku tertawa kecil.
Wajar
jika aku senang karena ia tersenyum. Ia temanku. Teman baikku.
Tapi bolehkah kalau aku meremas ujung bajuku, sebal,
karena ia tersenyum...bukan karenaku?
(Honestly,
I was afraid, I wasn’t used to my trembling heart when I saw you
Actually,
I resented you for acting like everything was normal
Why
didn’t you know my heart?)
Ini
semua harus dihentikan.
Rasa
senang berlebih setiap kali melihatnya.
Rasa
ingin melompat ke arahnya setiap kali aku melihat punggungnya.
Dan rasa kesal setiap kali melihat Bumi dan Bintang
berjalan bersama, beriringan.
Bintang menerima perasaan Bumi. Dengan senang hati.
Maksudku, memangnya siapa yang mau menolak remaja laki-laki seperti Bumi? Hanya
orang yang sangat bodoh dengan IQ jongkok yang akan menolaknya.
Oh,
tidak. Jangan lagi.
Inilah yang membuatku merasa tidak nyaman. Perasaan
kesal, karena dijadikan prioritas kesekian bagi Bumi. Perasaan kalah karena
Bumi tidak lagi tersenyum atau tertawa bersamaku.
Dan
sedih, karena Bumi ternyata tidak merasakan apa yang aku rasa.
Bumi
tidak ingin melompat ke arahku setiap kami bersua.
Bumi kelihatan tidak ingin meledak akibat rasa
senang berlebih setiap kali ia menghentikan langkahnya untuk mengajakku
bertukar kata.
Dan Bumi tentunya tidak merasakan perasaan kesal
setiap kali melihatku dekat dengan orang lain. Dengan laki-laki lain.
Bumi
tidak merasakan perbedaan apa-apa. Dan itu...menyedihkan.
Apakah aku telat menyadari hal ini? Menyadari kalau
aku memiliki perasaan padanya?
Entahlah.
Apakah
Bumi tidak bisa membaca gelagat anehku akhir-akhir ini?
Tidak tahu. Mungkin tidak. Mengingat apa yang Bumi
perhatikan kemarin-kemarin dan sekarang hanyalah basket...dan Bintang.
Aku tahu, aku memang lemah. Aku tidak bisa menahan
diri dari menjatuhkan hati pada Bumi. Sedangkan Bumi sendiri, kelihatannya,
tidak mengalami kesulitan dalam hal itu.
Maka
akhir-akhir ini aku menjauh, merangkak pergi.
Jika
Bumi menelepon untuk datang ke rumahku, aku selalu punya 1001 alasan untuk
menolak kedatangannya. Ada les, pergi bersama teman, sibuk tugas—padahal
sekolah telah usai—dan banyak lagi. Kalau Bumi mengajakku untuk pergi ke
danau—hei, ia ternyata masih mengingatnya!—kusampaikan permintaan maaf karena
aku tidak punya waktu untuk itu.
Dan yang terpenting, kini aku bukan lagi Bulan-nya
Bumi. Ia bukan lagi Bumi-ku.
Final,
kuputuskan, untuk berhenti memanggilnya Bumi.
(Feel
me, feel me, tell me, tell me, love me, love me, though it’s too late
Feel me, feel me, tell me, tell me, love me, love
me, though it’s too late)
“Selene!”
Hari Kelulusan datang. Semuanya bahagia, terutama
bagi yang sudah diterima di perguruan tinggi yang sesuai dengan keinginannya.
Termasuk
aku.
Aku
bahagia—sangat. Dan aku tidak punya alasan untuk tidak bahagia.
Tidak
ada, sampai Galaksi datang menghampiriku.
Ia kini Galaksi, bukan Bumi. Galaksi yang terlalu
luas untuk kugenggam. Galaksi yang terlalu megah untuk kuraih.
Rasa
tak keruan itu muncul lagi.
Ternyata, belum hilang.
“Hei, Al.” Aku memertahankan senyum. “Sombong amat
kamu.” Kutepuk pundaknya perlahan. Dan tidak kukira, sentuhan kecil itu tetap
berpengaruh cukup besar padaku. I’m still
not over him. “Sekarang aku bisa menyentuh pundakmu, berkat bantuan heels 12 mili-senti ini.” Kikikku
berusaha menutupi pacu jantung yang mulai menggila.
Galaksi menaikkan sebelah alisnya. “Gak salah?
Kurasa selama ini kamulah yang sombong.”
Aku meringis dan mengibaskan tanganku. “Apapun itu,
kayaknya kita sama-sama sibuk dengan urusan masing-masing.”
“Sorry, Sel,” Rasa sesal begitu sarat
dari permohonan maafnya. “Sorry karena
selama ini aku seolah lupa sama kamu.” Entah datang dari mana, tiba-tiba aku
merasakan jalaran rasa sesal menyeruak juga.
Tidak.
Itu salah. Salah besar.
Selama ini aku yang terlalu egois.
Galaksi sudah bersama denganku untuk lebih dari lima
tahun. Selalu denganku, terus denganku. Hingga aku lupa kalau ia juga punya
dunia sendiri.
Aku
menariknya paksa ke dalam duniaku.
Hingga
ia harus menomorduakan apa yang diinginkannya.
“Aku yang harusnya bilang maaf, Al.” Suaraku turun
satu oktaf. Aku yang salah. Aku. “Sebagaimanapun jarak yang sekarang ada di
antara kita, kurasa itu salahku. I’m
sorry,” Aku meremas lengan atas Galaksi yang terbalut jas hitam. Menggigit
bibir agar lesakan air mata tidak keluar. “I
really am.”
Terbatuk sekali untuk menghilangkan kecanggungan,
aku berniat untuk melangkah pergi.
Dan tepat begitu kutarik tanganku dari lengannya, Galaksi
berkata cepat, “Selene.”
Kuurungkan niatku untuk melangkah. Galaksi jarang
memanggil nama depanku dengan lengkap. Ini berarti ada suatu. Sesuatu yang
menarikku untuk kembali menatapnya.
“Aku
dan Bintang...kami putus.”
Tersentak,
aku membulatkan kedua mata. “K-Kenapa?”
Galaksi menghela napas. Suasana di sekitar kami
makin lama makin riuh. Beberapa orang mulai berjalan menghampiri kami.
“Kenapa, Al?” Tanyaku memaksa, sebulum ada yang
sempat memotong pembicaraan ini.
“Karena...dia bilang,” Tatapan Galaksi makin kuat
menarik perhatianku dari keadaan di sekeliling. “aku terlalu banyak bicara
tentang kamu, Sel.”
Notasi terakhir yang dilontarkan Galaksi bagai
memecut kesadaranku. Bisa kurasakan kelopak mataku makin melebar, dan aliran
darah semakin berpacu dengan jarum detik yang terus berputar. Sedangkan fokusku
makin terpusat pada remaja laki-laki di hadapanku.
“Aku
terlalu banyak bicara tentang kamu, Selene.”
Terlambat,
Al.
(You
came to me, into my heart as something more than a friend
Next
to you, I hid my heart, hiding behind the friend label)
Tiga
tahun sudah berlalu semenjak Hari Kelulusan.
Sampai sekarang aku masih berteman dengan Galaksi.
Dan sampai sekarang jugalah aku tidak tahu apa yang
Galaksi maksud dengan ‘berbicara banyak tentangmu’. Ia tidak pernah membahasnya
lebih lanjut, dan aku tidak mau tahu lebih banyak.
Karena menurutku, berbicara banyak tentang seseorang
tak membuktikan apa-apa.
Aku bisa bicara banyak tentang seorang aktor Hollywood, membicarakan kehidupan
pribadinya, keluarganya, dan segala tentangnya.
Namun
itu bukan berarti aku menyimpan perasaan padanya, ‘kan?
Yang
terlintas dalam pikiranku adalah, apa Galaksi tahu aku menyukainya?
Apa
Galaksi tahu aku menyimpan perasaan padanya?
Apa ia tidak ingin membuatku terlihat seperti orang
bodoh, makanya ia mengatakan hal itu?
Apa ia ingin memperlihatkan kalau apa yang aku
rasakan itu tidak bertepuk sebelah tangan?
Ah,
entahlah.
Tapi sungguh, itu sudah tidak penting lagi.
Itu sudah tiga tahun yang lalu. Tidak ada alasan
kuat untuk membahasnya lagi.
Lagipula, sekarang Galaksi sudah kembali bersama
Bintang.
Yeah, itulah bagaimana waktu ‘mempermainkan’mu. Bersama
benang merah yang tersambung pada setiap makhluk di dunia, ia bekerja sama.
Membuatmu terantuk dari satu skenario ke skenario yang lain. Membuatmu sadar,
kalau segalanya memang sudah direncanakan.
Membuatmu tahu, kalau memang kamu ditakdirkan untuk
ada di satu tempat di situlah pada akhirnya kamu akan ada, dan menemukan puing
cerita hidupmu.
Aku
tetap menyukai Galaksi.
Aku
tetap menyimpan perasaan kepadanya.
Tapi kini aku tidak peduli, apakah ia balik
menyukaiku atau tidak. Apakah ia mempunyai perasaan yang sama terhadapku, atau
tidak.
Karena
sekarang, aku lebih menyukai orang lain.
“Jadi mau ke mana kita, Len?” Suara berat seorang
lelaki tiba-tiba terdengar dalam keheningan.
Bimasakti.
Lelaki yang sedikit
lebih tinggi dan lebih kurus dari Galaksi.
“Terserah.
Mana aja oke, asal jangan danau buatan di pinggir kota.”
Aku
sudah setahun bersamanya.
“Loh,
kenapa?”
Kami bertemu satu tahun dan delapan bulan yang lalu,
di sebuah toko buku di jalan Supratman. Kami berebut buku karangan Paul Coelho
terakhir yang ada di rak. Aku sudah lama mengincar buku itu, dan sangat-amat
sulit menemukannya. Maka aku tidak akan melepasnya begitu saja.
Setelah melalui perdebatan yang cukup memakan waktu,
akhirnya ia mengalah, dan memberikan buku itu. Mengatakan kalau ia tinggal
mencarinya di toko buku lain.
Saat itu, aku hanya melayangkan pandangan ‘whatever’ padanya, sebelum menjatuhkan
irisku pada buku-buku yang ada di tas belanja miliknya.
Haruki Murakami, Neil Gaiman, Robin Sloan. Oh, My! Kami punya selera yang sama soal
buku, ternyata.
Aku
bertanya, apakah itu semua buku-buku yang akan dibelinya.
Ia memutar bola matanya sebal, untuk kemudian menjawab
‘tentu saja, memangnya kenapa? Kamu ingin semua belanjaan buku saya ini?’
Aku terkekeh—oke, aku memang benar-benar tidak tahu
malu, setelah beberapa detik lalu bersitegang, aku langsung bisa tertawa
konyol—dan mengatakan kalau ia punya selera buku yang sama denganku.
Pandangan Bimasakti melembut—semula ia punya tatapan
yang sangat tajam, yang akan mampu membuatmu terpaku di tempat selama bicara
dengannya—dan menyahut ‘benarkah?’ dengan kerlingan yang tak kumengerti di sudut
matanya.
Maka sejak saat itulah, kami mulai bertukar
buku-buku yang kami miliki, dan membicarakan isinya dengan antusias.
Obrolan kami pun berlanjut, lebih dari sekadar
membicarakan buku—kami bisa membicarakan banyak hal. Dan ini sedikit
mengingatkanku pada sosok Galaksi beberapa tahun yang lalu.
Galaksi. Bimasakti.
Lagi-lagi, aku dipermainkan waktu dan benang merah
kehidupan.
“Karena untuk mulai membaca sebuah buku baru, kamu
perlu menyudahi buku yang sebelumnya kamu baca, Bim.” Jawabku, bermain
analogisme.
Tapi aku senang, karena Bimasakti mampu ‘melihat’ku
sepanjang waktu. Tidak hanya di saat-saat tertentu, di mana orang lain baru
bisa menyadari kalau aku ada.
Aku
yang terkadang dikalah matahari, bintang, bahkan langit gelap.
“Ah, benar.” Bimasakti tertawa. “Dan semoga, buku
baru itu akan mampu membuatmu lupa terhadap alur pada buku sebelumnya.”
Tentu.
Tentu saja.
***
Inspired by
Apink’s So Long