Why do people hopelessly believe in 'forever',
when in fact we all here are just some temporary living materials?
Kamis, 18 Juni 2015
Thought of the Night
Rabu, 25 Maret 2015
Fiksi: Lapang Dada
Titik-titik
hujan berlomba, berusaha untuk menjadi yang tercepat untuk mencapai bumi. Awalnya
hanya berupa titik kecil, namun kelamaan makin tak bisa ditolerir. Aku tidak bisa menolerir.
“Iya
iya, Sayang. Sebentar lagi. Iya, ini aku sudah di jalan. Macet.”
Aku
menoleh begitu mendengar suara dari arah samping, yang datang dari seorang
lelaki.
“Iya,
sebentar lagi. Iya.” Lelaki itu tetap bicara pada ponsel yang terkepit antara
jemarinya.
Cih. Lelaki jenis apa yang berbohong,
pada siapapun yang kini tengah dihubunginya itu, dengan mengatakan jika ia
sedang berada di jalan dalam keadaan macet jika pada kenyataannya yang ia
lakukan adalah berdiri di bawah naungan pedestrian
shelter, dihujani ketipuk hujan yang berirama buruk—bagiku—?
Ya,
lelaki di sampingku ini.
Tak
bisa dengan jelas kulihat wajahnya. Namun satu yang pasti dari profil yang ia
miliki: posturnya menjulang, mengintimidasi.
Kini
perasaan sebal berkecamuk dan menjelma jadi berkali lipat. Tak ada yang lebih
buruk dari berdiri dalam kepungan hujan bersama seorang laki-laki pembual.
Hubunganku dengan hujan yang semula memang sudah tak baik jadi memburuk, dan cara
pandangku tentang laki-laki juga tak makin membaik.
“Mungkin
kamu bisa menghapus kerutan dalam di keningmu sekarang juga, Mbak?”
Terkesiap,
segera aku mengalihkan pandangan pada pemilik suara: Lelaki Pembual tadi.
“Hujan
memang buruk. Saya amat membencinya.” Ia bicara pelan seraya tetap menatap
lurus, ke arah jalanan yang kini memperdengarkan kebisingan knalpot patah-patah,
klakson, deru mesin, dan auman deras air hasil kondensasi.
Tetap
diam, aku hanya melancarkan tatapan bingung yang ganjil untuk ia yang tiba-tiba
mengajakku bicara.
“Tapi
apa yang bisa saya lakukan? Menghentikan hujan gak bisa, maka cukup berlapang
dada sajalah.”
Semakin
aneh, dan aku makin menyernyit.
“Saya
juga tahu kalau kamu benci hujan.” Katanya kemudian.
Tanpa
berpikir panjang kujawab, “As much as I
hate liars.”
Dan
sekarang ia menoleh.
Tak
bermaksud melebih-lebihkan, ternyata ia memiliki jenis tatapan yang teramat
mengintimidasi. Lebih mengintimidasi dari tinggi badannya.
“Berlapang
dada sajalah. Kita sama-sama tahu apa yang satu sama rasakan. Bukankah begitu,
Sheila?”
Dan
sekali lagi aku hanya diam.
Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku
Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku
Langganan:
Postingan (Atom)