Minggu, 26 Oktober 2014

Six to Fix



Dari sekian banyak insan dalam sebuah lingkup, pasti ada orang-orang tertentu yang lebih, atau mungkin paling, spesial di antara yang lainnya. Dari bermacam rasa martabak, pasti akan ada pilihan rasa yang merupakan ‘jagoan’ dan lebih sering dipesan dari rasa yang lain.

            Begitu halnya dengan novel. Saya memang belum membaca terlalu banyak, namun saya punya Top-Six List novel yang selalu terperbaharui seusai saya membaca novel anyar. Tertarik? Siapa tahu ada salah satu dari novel-novel ini yang belum dibaca, bukan?


            Tapi sebelumnya, enam judul novel di bawah kelihatannya sama sekali tak asing, atau minimal pernah terdengar keberadaannya. Soal selera, apa mau dikata?

 

1. Daddy Long Legs

credit

Novel tahun 1912 yang semula berupa kumpulan dokumen karya Jean Webster ini adalah novel yang memperkenalkan saya pada dunia literatur. Selain ceritanya yang ringan, format penulisan novel ini merupakan salah satu daya tarik yang kuat dan membuat saya tak cepat melupakannya.

Daddy Long Legs disusun menggunakan format surat yang ditulis oleh tokoh utama, Judy Abott. Judy adalah seorang gadis yang dibesarkan di panti asuhan. Suatu hari ia mendapat kesempatan untuk bersekolah—yang berarti mimpinya untuk keluar dari panti asuhan bisa terwujud—dari salah seorang pria dermawan, yang kemudian dipanggilnya dengan sebutan Daddy Long Legs. Pria ini meminta agar pihak panti asuhan tak memberi tahu identitas pribadinya pada Judy, tetapi ia menyaratkan agar Judy menulis surat padanya sebagai tanda balas jasa. Judy pun menyanggupi dan cerita dimulai dengan kisah-kisah Judy Abott selama berada di lingkungan barunya.

Sifat Judy yang berkarakter dan kejutan di akhir cerita merupakan dua dari beragam alasan mengapa novel ini berada di daftar teratas ­Top-Six List saya. Akhirnya manis. Cocok dibaca untuk mengisi waktu luang, tentunya saat tidak sedang ‘nugas’.

 

2. 1Q84

Saat membaca judul hasil karya Haruki Murakami ini, hal pertama yang terlintas: apakah 1Q84 berkorelasi dengan novel 1984 karya George O’Well? Dan ternyata, perkiraan saya memang tepat.

Kental dengan sentuhan Murakami—tokoh utama yang hidupnya diselubungi rasa sepi, ending yang tak jelas, dan rasa surealis yang kuat—, tersebutlah dua tokoh utama: Aomame dan Tengo. Keduanya terjebak dalam dunia membingungkan yang amat berbeda dari dunia di tahun 1984 tempat mereka hidup. Dunia tersebut Aomame beri nama ‘1Q84’ dengan Q melambangkan ‘Question Tag’. Dunia yang penuh dengan pertanyaan dan menyediakan sedikit jawaban. Dunia yang membuat Aomame dan Tengo dipertemukan kembali, walau keduanya sudah berjalan menuju sumbu bumi yang berlawanan.

Untuk ‘1Q84’, diperlukan konsentrasi dan fokus yang tak terbagi. Siapkan ruang penerimaan ingatan dan teori baru yang dipastikan akan membuat pembaca terus membuka halaman demi melihat apa yang selanjutnya akan terjadi.


 


3. Saman

credit

Berterimakasihlah perempuan Indonesia di saat sekarang pada penulis-penulis wanita di masa terdahulu. Salah satu dari sekian adalah Ayu Utami, author novel Saman. Lewat novel yang sempat menjadi kontroversi pada tahun 1998 ini, Ayu Utami meruntuhkan ketabuan bagi perempuan Indonesia untuk menulis dengan tema yang pada saat itu masih ragu untuk disentuh penulis perempuan, seperti politik dan agama.

Dengan menambahkan unsur mistik, kehidupan masyarakat melarat, dan kepelikan di rezim tahun 1998, Ayu mampu bermain dengan kata-kata indah yang secara personal mampu membuat saya berdecak kagum.

Dan dengan realisnya, novel yang menceritakan tak hanya sebuah konflik ini menyisakan beberapa persoalan tak terselesaikan. Tapi bukankah memang seperti itu esensi hidup? Akhir sebuah kisah adalah awal yang baru di nyatanya.


 


4. Catching Fire

credit

Mengusung tema keluarga dan pemerintahan, Catching Fire merupakan seri kedua dari trilogi The Hunger Games. Meski pada tahun 2013 sempat diadaptasi ke layar lebar, sensasi petualangan Katniss Everdeen masih terasa lebih nyata di cerita dalam novel.

Diceritakan bahwa Peeta Mellark dan Katniss Everdeen secara paksa diharuskan mengikuti kembali The Hunger Games ke-75 karena Presiden Snow, pemimpin Capitol, merasa aksi yang terakhir dilakukan pasangan asal Distrik 12 di The Hunger Games ke-74 mengumandangkan revolusi. Satu-persatu tokoh bermunculan, menambah keintensan alur. Dan saya rasa inilah yang membuat Catching Fire lebih outstanding dari dua seri lainnya: sisi emosi dan pertarungan dikombinasikan dengan apik. Akhir yang menggantung pun membuat pembaca langsung mencari seri terakhir trilogi ini, Mockingjay.


 


  5. Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh


credit

Perlu waktu lima tahun bagi saya agar dapat membaca karya dari Dewi ‘Dee’ Lestari ini. Saya menemukan novel ini tersimpan dengan baik di rak buku milik sepupu saat saya duduk di bangku kelas lima SD. Namun sepupu saya mengatakan saya tak akan paham konten novel tersebut, kecuali jika saya sudah cukup dewasa untuk mengerti. Niat membaca Supernova pun urung mendengar saran tersebut. Dan lima tahun kemudian, barulah terealisasi keinginan saya untuk membacanya.

Terdapat dua kisah yang secara tak sadar saling membangun. Dimas dan Reuben, sepasang homoseksual, menyusun sebuah cerita tentang kisah cinta yang ternyata dalam kehidupan nyata memang benar terjadi. Kisah cinta yang melibatkan Rana—seorang wanita yang telah menikah—dan Ferre—seorang eksekutif muda—secara paralel berjalan seperti apa yang Dimas dan Reuben tuliskan.

Tulisan Dee yang khas—permainan kata dan deskripsi ilmiahnya—mungkin akan sedikit menjemukan bagi sebagian orang. Namun bagi para pecinta sains, tentu buku ini bisa menjadi favorit karena Dee tak hanya sedikit menambah ilmu fisika kuantum di dalam Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh ini.


 


 6.  Pride and Prejudice
credit

Novel klasik milik Jane Austen ini merupakan salah satu karya besar dalam perkembangan di dunia sastra Inggris. Ini cerita berada pada Mr. dan Mrs. Bennet yang memiliki lima orang anak gadis: Jane, Elizabeth, Mary, Catherine, dan Lydia dan kisah cinta yang terpusat pada Elizabeth dengan seorang lelaki muda bernama Fitzwilliam Darcy yang terkenal arogan dan tak bisa menghargai orang lain. Rasa benci yang awalnya dirasakan Elizabeth dan Darcy kelamaan berubah menjadi cinta. Dengan perjuangan yang cukup panjang, Pride and Prejudice pun berakhir dengan manis.

 Isu sosial, terutama manner dan harga diri yang pada masa itu (tahun 1813) dan sekarang menjadi momok dalam pergaulan, merupakan topik utama dalam Pride and Prejudice. Sebab ditulis melalui sudut pandang seorang wanita, maka akan banyak ditemukan tokoh-tokoh yang bertindak dengan tuntunan emosi. Serta perlu diakui, keberadaan Pride and Prejudice amat berpengaruh bagi dunia sastra yang sebenarnya tak hanya Inggris, namun juga dunia, terutama di sisi sastra modern. Tertarik? Awas, jangan sampai tertidur di tengah cerita karena jemu. Karena akan ada banyak hal yang pembaca temui selepas melewati bagian tengah novel.

 


            Well, itulah enam novel teratas yang menjadi favorit saya. Rekomendasi murni dari penilaian saya sendiri, namun pastinya terlepas dari minat kalian juga. Bacalah novel yang memang sesuai dengan keinginan kalian (tapi jika memang tertarik untuk membaca walaupun bukan genre yang biasanya kalian baca, bukan masalah). Juga selalu ingat apa yang Tuan Haruki Murakami katakan: “if you only read the books everyone else is reading, you can only think what everyone else is thinking”.


Selamat menyelami kata!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar