Dari sekian banyak insan
dalam sebuah lingkup, pasti ada orang-orang tertentu yang lebih, atau mungkin
paling, spesial di antara yang lainnya. Dari bermacam rasa martabak, pasti akan
ada pilihan rasa yang merupakan ‘jagoan’ dan lebih sering dipesan dari rasa
yang lain.
Begitu
halnya dengan novel. Saya memang belum membaca terlalu banyak, namun saya punya
Top-Six List novel yang selalu
terperbaharui seusai saya membaca novel anyar. Tertarik? Siapa tahu ada salah
satu dari novel-novel ini yang belum dibaca, bukan?
Tapi
sebelumnya, enam judul novel di bawah kelihatannya sama sekali tak asing, atau
minimal pernah terdengar keberadaannya. Soal selera, apa mau dikata?
1. Daddy Long Legs
Novel tahun 1912 yang semula berupa
kumpulan dokumen karya Jean Webster ini adalah novel yang memperkenalkan saya
pada dunia literatur. Selain ceritanya yang ringan, format penulisan novel ini
merupakan salah satu daya tarik yang kuat dan membuat saya tak cepat
melupakannya.
Daddy Long Legs
disusun menggunakan format surat yang ditulis oleh tokoh utama, Judy Abott.
Judy adalah seorang gadis yang dibesarkan di panti asuhan. Suatu hari ia
mendapat kesempatan untuk bersekolah—yang berarti mimpinya untuk keluar dari
panti asuhan bisa terwujud—dari salah seorang pria dermawan, yang kemudian
dipanggilnya dengan sebutan Daddy Long
Legs. Pria ini meminta agar pihak panti asuhan tak memberi tahu identitas
pribadinya pada Judy, tetapi ia menyaratkan agar Judy menulis surat padanya
sebagai tanda balas jasa. Judy pun menyanggupi dan cerita dimulai dengan
kisah-kisah Judy Abott selama berada di lingkungan barunya.
Sifat Judy yang berkarakter dan
kejutan di akhir cerita merupakan dua dari beragam alasan mengapa novel ini
berada di daftar teratas Top-Six List saya. Akhirnya manis. Cocok dibaca
untuk mengisi waktu luang, tentunya saat tidak sedang ‘nugas’.
2. 1Q84
Saat membaca judul hasil karya Haruki
Murakami ini, hal pertama yang terlintas: apakah 1Q84 berkorelasi dengan novel
1984 karya George O’Well? Dan ternyata, perkiraan saya memang tepat.
Kental dengan sentuhan Murakami—tokoh
utama yang hidupnya diselubungi rasa sepi, ending
yang tak jelas, dan rasa surealis yang kuat—, tersebutlah dua tokoh utama:
Aomame dan Tengo. Keduanya terjebak dalam dunia membingungkan yang amat berbeda
dari dunia di tahun 1984 tempat mereka hidup. Dunia tersebut Aomame beri nama
‘1Q84’ dengan Q melambangkan ‘Question Tag’. Dunia yang penuh dengan pertanyaan
dan menyediakan sedikit jawaban. Dunia yang membuat Aomame dan Tengo
dipertemukan kembali, walau keduanya sudah berjalan menuju sumbu bumi yang
berlawanan.
Untuk ‘1Q84’, diperlukan konsentrasi
dan fokus yang tak terbagi. Siapkan ruang penerimaan ingatan dan teori baru
yang dipastikan akan membuat pembaca terus membuka halaman demi melihat apa
yang selanjutnya akan terjadi.
3. Saman
Berterimakasihlah perempuan Indonesia
di saat sekarang pada penulis-penulis wanita di masa terdahulu. Salah satu dari
sekian adalah Ayu Utami, author novel
Saman. Lewat novel yang sempat menjadi kontroversi pada tahun 1998 ini, Ayu Utami
meruntuhkan ketabuan bagi perempuan Indonesia untuk menulis dengan tema yang
pada saat itu masih ragu untuk disentuh penulis perempuan, seperti politik dan
agama.
Dengan menambahkan unsur mistik,
kehidupan masyarakat melarat, dan kepelikan di rezim tahun 1998, Ayu mampu
bermain dengan kata-kata indah yang secara personal mampu membuat saya berdecak
kagum.
Dan dengan realisnya, novel yang
menceritakan tak hanya sebuah konflik ini menyisakan beberapa persoalan tak
terselesaikan. Tapi bukankah memang seperti itu esensi hidup? Akhir sebuah
kisah adalah awal yang baru di nyatanya.
4. Catching Fire
Mengusung tema keluarga dan
pemerintahan, Catching Fire merupakan
seri kedua dari trilogi The Hunger Games.
Meski pada tahun 2013 sempat diadaptasi ke layar lebar, sensasi petualangan
Katniss Everdeen masih terasa lebih nyata di cerita dalam novel.
Diceritakan bahwa Peeta Mellark dan
Katniss Everdeen secara paksa diharuskan mengikuti kembali The Hunger Games ke-75 karena Presiden Snow, pemimpin Capitol,
merasa aksi yang terakhir dilakukan pasangan asal Distrik 12 di The Hunger Games ke-74 mengumandangkan
revolusi. Satu-persatu tokoh bermunculan, menambah keintensan alur. Dan saya
rasa inilah yang membuat Catching Fire
lebih outstanding dari dua seri
lainnya: sisi emosi dan pertarungan dikombinasikan dengan apik. Akhir yang
menggantung pun membuat pembaca langsung mencari seri terakhir trilogi ini, Mockingjay.
5. Supernova: Ksatria, Putri, dan
Bintang Jatuh
Perlu waktu lima tahun bagi saya agar
dapat membaca karya dari Dewi ‘Dee’ Lestari ini. Saya menemukan novel ini
tersimpan dengan baik di rak buku milik sepupu saat saya duduk di bangku kelas
lima SD. Namun sepupu saya mengatakan saya tak akan paham konten novel
tersebut, kecuali jika saya sudah cukup dewasa untuk mengerti. Niat membaca
Supernova pun urung mendengar saran tersebut. Dan lima tahun kemudian, barulah
terealisasi keinginan saya untuk membacanya.
Terdapat dua kisah yang secara tak
sadar saling membangun. Dimas dan Reuben, sepasang homoseksual, menyusun sebuah
cerita tentang kisah cinta yang ternyata dalam kehidupan nyata memang benar
terjadi. Kisah cinta yang melibatkan Rana—seorang wanita yang telah menikah—dan
Ferre—seorang eksekutif muda—secara paralel berjalan seperti apa yang Dimas dan
Reuben tuliskan.
Tulisan Dee yang khas—permainan kata
dan deskripsi ilmiahnya—mungkin akan sedikit menjemukan bagi sebagian orang.
Namun bagi para pecinta sains, tentu buku ini bisa menjadi favorit karena Dee
tak hanya sedikit menambah ilmu fisika kuantum di dalam Ksatria, Puteri, dan
Bintang Jatuh ini.
6. Pride and Prejudice
Novel klasik milik Jane Austen ini
merupakan salah satu karya besar dalam perkembangan di dunia sastra Inggris. Ini
cerita berada pada Mr. dan Mrs. Bennet yang memiliki lima orang anak gadis: Jane, Elizabeth, Mary, Catherine, dan Lydia
dan kisah cinta yang terpusat pada Elizabeth dengan seorang lelaki muda bernama
Fitzwilliam Darcy yang terkenal arogan dan tak bisa menghargai orang lain. Rasa
benci yang awalnya dirasakan Elizabeth dan Darcy kelamaan berubah menjadi
cinta. Dengan perjuangan yang cukup panjang, Pride and Prejudice pun berakhir dengan manis.
Isu sosial, terutama manner dan harga diri yang pada masa itu
(tahun 1813) dan sekarang menjadi momok dalam pergaulan, merupakan topik utama
dalam Pride and Prejudice. Sebab
ditulis melalui sudut pandang seorang wanita, maka akan banyak ditemukan
tokoh-tokoh yang bertindak dengan tuntunan emosi. Serta perlu diakui,
keberadaan Pride and Prejudice amat
berpengaruh bagi dunia sastra yang sebenarnya tak hanya Inggris, namun juga
dunia, terutama di sisi sastra modern. Tertarik? Awas, jangan sampai tertidur
di tengah cerita karena jemu. Karena akan ada banyak hal yang pembaca temui
selepas melewati bagian tengah novel.
Well, itulah enam novel teratas yang menjadi favorit saya. Rekomendasi
murni dari penilaian saya sendiri, namun pastinya terlepas dari minat kalian
juga. Bacalah novel yang memang sesuai dengan keinginan kalian (tapi jika
memang tertarik untuk membaca walaupun bukan genre yang biasanya kalian baca, bukan masalah). Juga selalu ingat
apa yang Tuan Haruki Murakami katakan: “if
you only read the books everyone else is reading, you can only think what
everyone else is thinking”.
Selamat menyelami kata!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar