Nama
kafe itu ‘Play’. Kafe yang diapit sebuah salon di sebelah kanan dan toko buku
impor pada bagian kiri. Kafe yang klimaksnya dimulai sejak pukul tiga sore
sampai sembilan malam. Tutup jam sepuluh malam, buka tepat saat jarum jam
terentak pada angka duabelas.
“Dan dulu, di sini, setiap harinya,
kami memutar lagu dengan genre
berbeda. Dari Senin sampai Minggu. Tujuh genre.
Tapi sekarang, karena banyak pengunjung yang menyarankan all genres for every single day, konsep itu pun ditinggalkan.” Seorang
pelayan di Play berujar, sementara sebuah recorder
yang dipegang oleh seorang gadis terangsur padanya. Gadis yang memegang
recorder mengangguk pelan, seraya sesekali melirik ke kanan, kiri, ke segala
penjuru kafe tempatnya berada.
“Sayang sekali ya, Mbak. Padahal konsep tersebut
kedengarannya menark. Sayang juga, pihak majalah kampus kami terlambat
mengidentifikasi tempat ini.” Entah bersungguh atau tidak, gadis itu berkata
sambil menekan tombol ‘off’ pada recorder-nya.
“Iya, Mbak Je. Aku juga baru bekerja di sini sekitar...delapan bulan.
Setelah konsep itu ditinggalkan, tepatnya. Cerita konsep itu pun kudapat dari
teman kerja yang sudah lebih lama berada di sini.” Kemudian pelayan berpakaian
legam dengan nametag ‘Maya’ undur
diri setelah sebelumnya berbasa-basi. Tak lupa ia meminta gadis yang dipanggil
‘Je’ untuk menikmati pesanan yang dibawanya limabelas menit lalu.
Je, setidaknya begitulah pelayan
Maya memanggilnya, membuka sack kecil
bertuliskan ‘sugar’ dan memasukannya
ke dalam cairan berwarna gelap di hadapannya. Ia mengaduknya, membiarkan gula
tersebut melebur bersama teh hitam yang tak lagi memuntahkan uap panas. Suasana
Play di hari Senin pukul empat sore bukan salah satu waktu klimaks, sehingga
tidak banyak orang berada di dalamnya. Hanya satu, dua, empat...empat. Empat
termasuk Je. Lagipula, di luar hujan rintik turun. Sebagian air kondensasi itu
membasahi window display Play,
membentuk bulatan yang jatuhnya tak beraturan.
Je
baru menyentuhkan jarinya pada salah satu bulatan air hujan yang meluruh di
kaca jendela bagian luar saat tetiba pintu masuk kafe berderit—padahal kafe ini
memiliki desain yang cukup sophisticated,
tapi entah mengapa dua pintu masuknya menghasilkan suara tak sedap. Seorang lelaki
masuk. Kemeja plaid-nya tak basah—‘menggunakan
payungkah ia?’, pikir Je—dan dengan segera mengambil tempat tepat di sudut
kafe, dekat jendela. Hanya terhalang satu meja yang dilengkapi dua kursi dari
tempat duduk Je. Kursi-kursi Play yang diletakan di dekaat jendela sepertinya
dibuat sedikit lebih rendah. Maka dengan bertempat di kursi tersebut, hanya
dengan satu longokan Je dapat leluasa memperhatikan si lelaki.
“Maaf,
Mbak.” Seorang pelayan yang bukan Maya berdeham, meminta atensi Je. Je
melengoskan pandangannya dari si laki-laki. Ia menggumamkan ‘ya?’ dan tersenyum
simpul. “Ada lagu yang Mbak ingin putar?”
Maya
sebelumnya memang memberi tahu jika Play mengizinkan pengunjungnya untuk
memilih lagu yang ingin mereka dengar. Dua sampai empat lagu bukan masalah.
Asal jangan satu album, kelakar Maya tadi. “Genre
apapun bebas?”. Pelayan yang adalah seorang pria berkumis tipis mengangguk
seraya tertawa kecil. “Baik. Saya mau, Oh
Honey oleh Delegation dan My Cherie Amour milik Stevie Wonder.”
“Your request is our command.” Usai
bertanya apakah ada hal lain yang ingin dipesan dan mencatat dua lagu yang
ingin Je dengar, pelayan tersebut beranjak. Dua menit berselang, Oh Honey milik Delegation.pun mengalun. Mengisi tiap-tiap kursi yang kosong dengan
melodi dan memunculkan suasana tenang—makin tenang. Hujan di luar sudah
setengah tahap lebih lebat dibanding rintik, namun belum terlalu besar untuk
mengalahkan lantunan suara Delegation.
‘Tapi
tidak semuanya menikmatinya. Tak semua suka Oh
Honey milik Delegation‘ pikir Je,
saat dilihatnya sosok laki-laki berkemeja biru tua yang baru masuk tadi
meninggalkan kursi di sudut ruangan. Dia menghampiri pelayan kumis tipis yang
tengah berada di bagian kassa. Pelayan itu dan lelaki kemeja bicara sejenak. Si
kumis menunjuk Je sekilas dengan wajahnya. Si kemeja masih bicara, meski tak
cukup keras untuk Je dengar. Pelayan kemudian mengangguk, kelihatan pasrah. Dan
ketika lelaki kemeja itu berbalik, Delegation
yang belum tuntas menyanyikan Oh Honey pun
berhenti bersuara. Diikuti tatapan dingin yang dilayangkan lelaki kemeja pada
Je, meski hanya sekilas.
***
“Bisa
gue minta lagu ini diganti?” Lelaki kemeja tiba-tiba menghampiri kassa, tempat
seorang pelayan berkumis tipis sedang berjaga.
“Adra,
man! Tumben lo main ke sini. Mau
balik magang di sini lagi lo? Atau mau ketemu sepupu lo?” Si kumis tak langsung
mengindahkan pertanyaan lelaki yang teridentifikasi bernama Adra tersebut. Adra
menjawab, “Cut the crap, Bagas. Gue
pengin lagu ini diganti. Buru, ah.”
“Gak bisa, Dra. Lagu ini request-nya Mbak itu.” Menggunakan
wajahnya, pelayan bernama Bagas menunjuk cepat gadis yang duduk di samping
jendela. Yaitu Je.
“Gue gak suka Delegation dan gak pengin dengar lagu mereka. Ganti jadi Bat Country-nya Avenged, deh. Atau
apapun. Asal jangan Delegation...atau
Nina Simone. Atau Stevie Wonder.”. Namun Bagas masih bergeming. Membuat Adra
mengeluarkan kartu As-nya. “Perlu gue request
ke sepupu gue? Apa dia ada di ruangannya?”
Ketika Adra sudah menggiring
sepupunya, yang bekerja sebagai manajer di kafe Play, ke dalam pembicaraan maka
Bagas tidak bisa lagi mengelak. Melalui satu anggukan enggan, Bagas segera
mengganti Delegation menjadi Avenged Sevenfold. “Bahkan ketika lo
sudah gak magang lagi, sepupu lo
tetap dijadikan perisai. Luar biasa.”
Adra tak menimpal. Ia justru
berbalik hendak kembali ke kursi yang selama ini menjadi spot spesialnya. Namun sebelum mengambil langkah lebih jauh, secara
kebetulan pandangannya bersirobok dengan milik Je, gadis yang meminta lagu Oh Honey untuk diputar. Dalam diam yang
hanya berlangsung sepersekian sekon, Adra menghakimi pilihan musik Je.
“Speak of the devil,” Adra menggumam sewaktu
ia kembali menuju kursinya dan melihat layar ponsel touchscreen yang sengaja ia simpan di atas meja. Sepupunya, Dalin,
menghubungi. Setelah bertukar sapaan dan melayangkan panggilan tak layak,
dengan terburu Adra menyapukan ibu jarinya pada layar untuk memutuskan
sambungan. “Cowok tapi bawelnya macam
cewek.” Ia mendengus sebal.
Suara khas Shadows masih meneriaki
satu-persatu pengunjung lewat Bat Country-nya.
Pesanan Adra pun tiba—ia sungguh tak usah memesan, sebab begitu teman-teman
pelayannya melihat Adra memasuki Play, mereka tahu apa yang pemuda ini sukai—beriringan
dengan Steven Tyler yang datang untuk menggantikan Shadows lewat I Don’t Wanna Miss a Thing. “Thanks,
May.” Adra tersenyum kecil sesaat setelah Maya meletakan espresso dan sepiring waffel dengan
cokelat yang menyembul di tiap pinggirannya. Maya sekadar menaikan alis tanpa
niat mengembangkan pembicaraan dan bersegera kembali ke dapur.
Belum tiba pada pertengahan lagu,
tetiba suara Steven Tyler tergantikan oleh Steve Wonder. I Don’t Wanna Miss a Thing berubah jadi Isn’t She Lovely?. Semerta Adra berubah jadi gusar. Bukankah tadi
Bagas jelas mendengar bahwa ia tak ingin mendapati Steve Wonder melantunkan
apapun sore ini, di Play? Hendak berdiri untuk kembali ke bagian kassa, niat
Adra untuk menghardik Bagas seketika terhenti saat seorang gadis
sekonyong-konyong menghampirinya. Tersampir sling
bag metallic pada tubuh gadis
itu. Tangan kanannya menggenggam telinga cangkir, sementara tangan kirinya
memeluk sebuah recorder berwarna
hitam. Wajahnya tersenyum begitu kedua manik mereka bertemu. Sedetail itu Adra
memerhatikan si gadis sampai akhirnya Je, gadis itu, buka suara lebih dulu. “Kamu
terbiasa memerhatikan orang sebegitu intensnya? Saya rasa, sebentar lagi saya
akan meleleh.”
Adra berubah sedikit waspada. Tidak
ada kecanggungan dalam langgam si gadis, dan hal ini membuatnya curiga. “Apa
saya kenal kamu?”
“Tidak,” Je menaikan kedua alisnya
seraya menggeleng. “Tapi sebentar lagi akan. Tapi sebelumnya, apakah kamu
mengizinkan saya untuk duduk bersama kamu?” Tak ada jawaban dari Adra. “Di
sini, tentunya.” Je menunjuk kursi spesial Adra dengan siku kanannya.
Sejenak Adra ragu, apakah ia akan
beranjak terlebih dahulu ke kassa atau membiarkan Isn’t She Lovely ini terus diputar sampai akhir. Tapi kemudian ia
memilih duduk kembali di kursinya dan menghela napas keras-keras. “Duduk aja
kalau kamu mau.” Dan ternyata ia membiarkan Steve Wonder untuk terus bernyanyi.
“Terima kasih.” Pertama Je meletakan
cangkir teh, disusul recorder yang ia
taruh di sebelah tehnya yang sudah dingin, walau masih tersisa lebih dari
setengah. “Saya Jelita. Biasa dipanggil Je. Dan sepertinya kita satu kampus?”
Sebelum Adra menjawab, Je lanjut berkata, “soalnya dari Play cuma ada satu
kampus yang dekat, dan kupikir kamu bukan tipe orang yang akan sengaja
jauh-jauh datang ke kafe hanya untuk mendengar Avenged Sevenfold diputar.”
“Saya Adrian, panggilan Adra. Dan
kamu benar. Dan itu mengejutkan.” Jawab lawan bicara Je tanpa antusiasme sama
sekali. “Tapi sepertinya, kita beda jurusan? Saya belum pernah lihat kamu
barang sekali.”
“Oh, tentu. Aku dari fakultas ilmu
bahasa. Dan kamu...” Je mengamati Adra baik-baik. “kayaknya fakultas teknik. Benarkah?”
“Fakultas ekonomi dan bisnis.” Adra
meralat. “Hanya karena saya suka lagu-lagu keras bukan berarti saya anak
teknik.”
“Di mana korelasinya?” Tawa Je
menguar. Alih-alih menjawab, Adra hanya menatap Je. Menghantarkan alir
ketidaksukaan. Je menangkapnya dengan baik sebab ia bertanya, “Sebegitu gak sukanya kah kamu dengan Delegation? Sampai kamu mengganti Oh Honey dengan Bat Country? Dan tadi, kelihatannya kamu mau menghentikan lagu Stevie
Wonder.”.
“Bukan hanya Delegation dan Stevie Wonder. Saya juga gak mendengarkan lagu the
Bird and the Bee. Atau Nina Simone.”
“Menarik. Dua penyanyi yang kamu
sebutkan tadi, dua-duanya favorit saya.”
“Lagu-lagu mereka jauh dari bikin saya semangat.” Pungkas Adra.
“Memangnya kenapa? Kamu kesal saya gak mendengarkan lagu mereka?”
“Sama sekali enggak.” Dengan santai
Je menanggapi. “Bukannya itulah alasan kenapa ada kata ‘genre’ di dunia ini? Kalau seluruh dunia ini isinya penyuka lagu hard rock seperti kamu, maka Taylor
Swift gak akan seberhasil sekarang.”
Adra melipat tangan, menyimak cukup
serius sampai lupa espresso-nya belum
sama sekali ia teguk.
“Saya menghargai perbedaan selera.
Bahkan, kalau saya pemilik Play dan, taruhlah, saya benci genre metalcore, saya
akan tetap memutar lagu dengan jenis tersebut jika ada pelanggan yang meminta.
Tanpa menginterupsinya.”
Tepat di situlah Adra terenyak. Jelita
ini, perempuan di hadapannya ini, tengah berusaha menyudutkannya! “Apa kamu
menyindir tindakan saya tadi? Apa kamu tersinggung saya mengganti Oh Honey-mu dengan Bat Country.”. Ia mencondongkan tubuh hingga kedua sikunya
menyentuh permukaan meja.
“Enggak,
kok. Kenapa? Apa justru kamu yang
tersinggung?” Diam. Adra diam. “Bahkan jika kamu gak suka frapuccino dan
orang lain menyukainya, bukan berarti kamu harus meminta barista di sini untuk
berhenti membuatnya. Bukan begitu, Adrian?”
Telak, Je mengakhiri perkataannya
dan segera beranjak. Ia meninggalkan Adra yang masih terpaku, terlalu terkejut
dengan serangan tiba-tiba gadis yang baru bicara dengannya tak lebih dari
sepuluh menit. Isn’t She Lovely pun
telah berganti menjadi My Cherie Amour
dan My Cherie Amour sudah berubah
jadi As. Kesemuanya datang dari satu
penyanyi, Stevie Wonder. Favorit Je, dan bukan kesukaan Adra.
***
Dua hari telah berlalu sejak Senin.
Kembali, Jelita berada di kafe Play pada Rabu malam. Suasana sedikit lebih riuh
sebab tak ada hujan, dan ini malam. Kunjungan Je ke Play kali ini bukan sekadar
memesan teh untuk kemudian dianggurkannya sampai dingin seperti tempo hari.
Melainkan untuk bertemu seseorang. Seseorang yang menjadi orang terakhir yang
ia ajak bicara di Play Senin lalu. Adra. Adrian. Dan ternyata, Adrian sudah
menunggu di kursi spesialnya; seperti apa yang telah Je duga. Begitu keduanya
duduk berhadapan, Je-lah yang kembali bicara lebih dulu. “Dari mana kamu dapat
nomor telepon saya?”
“Gak
banyak orang yang membawa recorder
ke mana-mana, kecuali anggota unit kemahasiswaan jurnalistik.” Jawab Adra
sambil lalu. “Ini, punya kamu. Untung tertinggal di meja saya.” Diserahkannya
peranti elektronik hitam tersebut pada empunya.
“Ini sangat penting. Terima kasih.”
Je berujar. Tangannya menerima angsuran recorder
dari Adra. “Kirain ada kata-kata saya kemarin yang bikin kamu ingin
ngobrol lebih lanjut.” Meski Je sudah tahu tujuan awal Adra mengajaknya bertemu
di Play, berseloroh jenaka sepatah-dua patah kalimat tidak salah, kan?
“Mana ada,” Adra berdecak, merasa
harga dirinya sedikit terusik dengan kata-kata santai yang diucapkan Je.
“Justru saya pikir kamu yang tertarik sama saya. Buktinya kamu kan yang pertama ajak saya bicara.”
“Yeah.
Menarik, dalam makna yang kurang baik. Apa yang salah dengan Stevie Wonder?
Atau Delegation?”
“Tidak ada. Mau pesan sesuatu? Kopi?
Atau teh, misalnya? Sebelum kamu pulang.” Adra berkelit.
“Teh. Dengan churros. Apa kamu mengajakku untuk menjadi teman minummu hari ini?”
“Baik. Aku, espresso.”
“Churros-ku
harus setengah garing, ya. Sebetulnya lagu-lagu Avenged bikin kupingku sakit.”
“Rasanya aku juga ingin pesan churros. Atau waffel, ya?”
“Apa kamu juga suka EDM?”
“Aku suka Haim. Mereka keren. Tapi
aku lebih suka waffel cokelat
sebenarnya.”
“Haim itu, tiga wanita berambut
lurus yang super kurus itu? Yeah, waffel cokelat adalah padanan minum teh
yang menyenangkan.”
“Aku sukanya kopi.”
“Aku tahu. Aku sukanya lagu-lagu
Stevie Wonder.”
“Bikin aku mengantuk!”
Dan
debat kecil itu tak terhenti, meski Maya—pelayan perempuan Play—sudah menerima,
menyiapkan, hingga mengantar pesanan mereka.
Serta
tanpa mereka sadari, suara manis Colbie Caillat lewat Falling for You pun mengalun dan menepuk lembut tiap kepala di kafe
Play. Tak terkecuali mereka, Je dan Adra. Serta dua cangkir minuman milik
mereka, masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar