Minggu, 24 Januari 2016

Fiksi: Play

 



PLAY

Nama kafe itu ‘Play’. Kafe yang diapit sebuah salon di sebelah kanan dan toko buku impor pada bagian kiri. Kafe yang klimaksnya dimulai sejak pukul tiga sore sampai sembilan malam. Tutup jam sepuluh malam, buka tepat saat jarum jam terentak  pada angka duabelas.
            “Dan dulu, di sini, setiap harinya, kami memutar lagu dengan genre berbeda. Dari Senin sampai Minggu. Tujuh genre. Tapi sekarang, karena banyak pengunjung yang menyarankan all genres for every single day, konsep itu pun ditinggalkan.” Seorang pelayan di Play berujar, sementara sebuah recorder yang dipegang oleh seorang gadis terangsur padanya. Gadis yang memegang recorder mengangguk pelan, seraya sesekali melirik ke kanan, kiri, ke segala penjuru kafe tempatnya berada.
            “Sayang sekali ya, Mbak. Padahal konsep tersebut kedengarannya menark. Sayang juga, pihak majalah kampus kami terlambat mengidentifikasi tempat ini.” Entah bersungguh atau tidak, gadis itu berkata sambil menekan tombol ‘off’ pada recorder-nya.
            “Iya, Mbak Je. Aku juga baru bekerja di sini sekitar...delapan bulan. Setelah konsep itu ditinggalkan, tepatnya. Cerita konsep itu pun kudapat dari teman kerja yang sudah lebih lama berada di sini.” Kemudian pelayan berpakaian legam dengan nametag ‘Maya’ undur diri setelah sebelumnya berbasa-basi. Tak lupa ia meminta gadis yang dipanggil ‘Je’ untuk menikmati pesanan yang dibawanya limabelas menit lalu.
            Je, setidaknya begitulah pelayan Maya memanggilnya, membuka sack kecil bertuliskan ‘sugar’ dan memasukannya ke dalam cairan berwarna gelap di hadapannya. Ia mengaduknya, membiarkan gula tersebut melebur bersama teh hitam yang tak lagi memuntahkan uap panas. Suasana Play di hari Senin pukul empat sore bukan salah satu waktu klimaks, sehingga tidak banyak orang berada di dalamnya. Hanya satu, dua, empat...empat. Empat termasuk Je. Lagipula, di luar hujan rintik turun. Sebagian air kondensasi itu membasahi window display Play, membentuk bulatan yang jatuhnya tak beraturan.
Je baru menyentuhkan jarinya pada salah satu bulatan air hujan yang meluruh di kaca jendela bagian luar saat tetiba pintu masuk kafe berderit—padahal kafe ini memiliki desain yang cukup sophisticated, tapi entah mengapa dua pintu masuknya menghasilkan suara tak sedap. Seorang lelaki masuk. Kemeja plaid-nya tak basah—‘menggunakan payungkah ia?’, pikir Je—dan dengan segera mengambil tempat tepat di sudut kafe, dekat jendela. Hanya terhalang satu meja yang dilengkapi dua kursi dari tempat duduk Je. Kursi-kursi Play yang diletakan di dekaat jendela sepertinya dibuat sedikit lebih rendah. Maka dengan bertempat di kursi tersebut, hanya dengan satu longokan Je dapat leluasa memperhatikan si lelaki.
“Maaf, Mbak.” Seorang pelayan yang bukan Maya berdeham, meminta atensi Je. Je melengoskan pandangannya dari si laki-laki. Ia menggumamkan ‘ya?’ dan tersenyum simpul. “Ada lagu yang Mbak ingin putar?”
Maya sebelumnya memang memberi tahu jika Play mengizinkan pengunjungnya untuk memilih lagu yang ingin mereka dengar. Dua sampai empat lagu bukan masalah. Asal jangan satu album, kelakar Maya tadi. “Genre apapun bebas?”. Pelayan yang adalah seorang pria berkumis tipis mengangguk seraya tertawa kecil. “Baik. Saya mau, Oh Honey oleh Delegation dan My Cherie Amour milik Stevie Wonder.”
Your request is our command.” Usai bertanya apakah ada hal lain yang ingin dipesan dan mencatat dua lagu yang ingin Je dengar, pelayan tersebut beranjak. Dua menit berselang, Oh Honey milik Delegation.pun mengalun. Mengisi tiap-tiap kursi yang kosong dengan melodi dan memunculkan suasana tenang—makin tenang. Hujan di luar sudah setengah tahap lebih lebat dibanding rintik, namun belum terlalu besar untuk mengalahkan lantunan suara Delegation.
‘Tapi tidak semuanya menikmatinya. Tak semua suka Oh Honey milik Delegation‘ pikir Je, saat dilihatnya sosok laki-laki berkemeja biru tua yang baru masuk tadi meninggalkan kursi di sudut ruangan. Dia menghampiri pelayan kumis tipis yang tengah berada di bagian kassa. Pelayan itu dan lelaki kemeja bicara sejenak. Si kumis menunjuk Je sekilas dengan wajahnya. Si kemeja masih bicara, meski tak cukup keras untuk Je dengar. Pelayan kemudian mengangguk, kelihatan pasrah. Dan ketika lelaki kemeja itu berbalik, Delegation yang belum tuntas menyanyikan Oh Honey pun berhenti bersuara. Diikuti tatapan dingin yang dilayangkan lelaki kemeja pada Je, meski hanya sekilas.
***
“Bisa gue minta lagu ini diganti?” Lelaki kemeja tiba-tiba menghampiri kassa, tempat seorang pelayan berkumis tipis sedang berjaga.
“Adra, man! Tumben lo main ke sini. Mau balik magang di sini lagi lo? Atau mau ketemu sepupu lo?” Si kumis tak langsung mengindahkan pertanyaan lelaki yang teridentifikasi bernama Adra tersebut. Adra menjawab, “Cut the crap, Bagas. Gue pengin lagu ini diganti. Buru, ah.”
Gak bisa, Dra. Lagu ini request-nya Mbak itu.” Menggunakan wajahnya, pelayan bernama Bagas menunjuk cepat gadis yang duduk di samping jendela. Yaitu Je.
Gue gak suka Delegation dan gak pengin dengar lagu mereka. Ganti jadi Bat Country-nya Avenged, deh. Atau apapun. Asal jangan Delegation...atau Nina Simone. Atau Stevie Wonder.”. Namun Bagas masih bergeming. Membuat Adra mengeluarkan kartu As-nya. “Perlu gue request ke sepupu gue? Apa dia ada di ruangannya?”
            Ketika Adra sudah menggiring sepupunya, yang bekerja sebagai manajer di kafe Play, ke dalam pembicaraan maka Bagas tidak bisa lagi mengelak. Melalui satu anggukan enggan, Bagas segera mengganti Delegation menjadi Avenged Sevenfold. “Bahkan ketika lo sudah gak magang lagi, sepupu lo tetap dijadikan perisai. Luar biasa.”
            Adra tak menimpal. Ia justru berbalik hendak kembali ke kursi yang selama ini menjadi spot spesialnya. Namun sebelum mengambil langkah lebih jauh, secara kebetulan pandangannya bersirobok dengan milik Je, gadis yang meminta lagu Oh Honey untuk diputar. Dalam diam yang hanya berlangsung sepersekian sekon, Adra menghakimi pilihan musik Je.
Speak of the devil,” Adra menggumam sewaktu ia kembali menuju kursinya dan melihat layar ponsel touchscreen yang sengaja ia simpan di atas meja. Sepupunya, Dalin, menghubungi. Setelah bertukar sapaan dan melayangkan panggilan tak layak, dengan terburu Adra menyapukan ibu jarinya pada layar untuk memutuskan sambungan. “Cowok tapi bawelnya macam cewek.” Ia mendengus sebal.
            Suara khas Shadows masih meneriaki satu-persatu pengunjung lewat Bat Country­-nya. Pesanan Adra pun tiba—ia sungguh tak usah memesan, sebab begitu teman-teman pelayannya melihat Adra memasuki Play, mereka tahu apa yang pemuda ini sukai—beriringan dengan Steven Tyler yang datang untuk menggantikan Shadows lewat I Don’t Wanna Miss a Thing. “Thanks, May.” Adra tersenyum kecil sesaat setelah Maya meletakan espresso dan sepiring waffel dengan cokelat yang menyembul di tiap pinggirannya. Maya sekadar menaikan alis tanpa niat mengembangkan pembicaraan dan bersegera kembali ke dapur.
            Belum tiba pada pertengahan lagu, tetiba suara Steven Tyler tergantikan oleh Steve Wonder. I Don’t Wanna Miss a Thing berubah jadi Isn’t She Lovely?. Semerta Adra berubah jadi gusar. Bukankah tadi Bagas jelas mendengar bahwa ia tak ingin mendapati Steve Wonder melantunkan apapun sore ini, di Play? Hendak berdiri untuk kembali ke bagian kassa, niat Adra untuk menghardik Bagas seketika terhenti saat seorang gadis sekonyong-konyong menghampirinya. Tersampir sling bag metallic pada tubuh gadis itu. Tangan kanannya menggenggam telinga cangkir, sementara tangan kirinya memeluk sebuah recorder berwarna hitam. Wajahnya tersenyum begitu kedua manik mereka bertemu. Sedetail itu Adra memerhatikan si gadis sampai akhirnya Je, gadis itu, buka suara lebih dulu. “Kamu terbiasa memerhatikan orang sebegitu intensnya? Saya rasa, sebentar lagi saya akan meleleh.”
            Adra berubah sedikit waspada. Tidak ada kecanggungan dalam langgam si gadis, dan hal ini membuatnya curiga. “Apa saya kenal kamu?”
            “Tidak,” Je menaikan kedua alisnya seraya menggeleng. “Tapi sebentar lagi akan. Tapi sebelumnya, apakah kamu mengizinkan saya untuk duduk bersama kamu?” Tak ada jawaban dari Adra. “Di sini, tentunya.” Je menunjuk kursi spesial Adra dengan siku kanannya.
            Sejenak Adra ragu, apakah ia akan beranjak terlebih dahulu ke kassa atau membiarkan Isn’t She Lovely ini terus diputar sampai akhir. Tapi kemudian ia memilih duduk kembali di kursinya dan menghela napas keras-keras. “Duduk aja kalau kamu mau.” Dan ternyata ia membiarkan Steve Wonder untuk terus bernyanyi.
            “Terima kasih.” Pertama Je meletakan cangkir teh, disusul recorder yang ia taruh di sebelah tehnya yang sudah dingin, walau masih tersisa lebih dari setengah. “Saya Jelita. Biasa dipanggil Je. Dan sepertinya kita satu kampus?” Sebelum Adra menjawab, Je lanjut berkata, “soalnya dari Play cuma ada satu kampus yang dekat, dan kupikir kamu bukan tipe orang yang akan sengaja jauh-jauh datang ke kafe hanya untuk mendengar Avenged Sevenfold diputar.”
            “Saya Adrian, panggilan Adra. Dan kamu benar. Dan itu mengejutkan.” Jawab lawan bicara Je tanpa antusiasme sama sekali. “Tapi sepertinya, kita beda jurusan? Saya belum pernah lihat kamu barang sekali.”
            “Oh, tentu. Aku dari fakultas ilmu bahasa. Dan kamu...” Je mengamati Adra baik-baik. “kayaknya fakultas teknik. Benarkah?”
            “Fakultas ekonomi dan bisnis.” Adra meralat. “Hanya karena saya suka lagu-lagu keras bukan berarti saya anak teknik.”
            “Di mana korelasinya?” Tawa Je menguar. Alih-alih menjawab, Adra hanya menatap Je. Menghantarkan alir ketidaksukaan. Je menangkapnya dengan baik sebab ia bertanya, “Sebegitu gak sukanya kah kamu dengan Delegation? Sampai kamu mengganti Oh Honey dengan Bat Country? Dan tadi, kelihatannya kamu mau menghentikan lagu Stevie Wonder.”.
            “Bukan hanya Delegation dan Stevie Wonder. Saya juga gak mendengarkan lagu the Bird and the Bee. Atau Nina Simone.”
            “Menarik. Dua penyanyi yang kamu sebutkan tadi, dua-duanya favorit saya.”
            “Lagu-lagu mereka jauh dari bikin saya semangat.” Pungkas Adra. “Memangnya kenapa? Kamu kesal saya gak mendengarkan lagu mereka?”
            “Sama sekali enggak.” Dengan santai Je menanggapi. “Bukannya itulah alasan kenapa ada kata ‘genre’ di dunia ini? Kalau seluruh dunia ini isinya penyuka lagu hard rock seperti kamu, maka Taylor Swift gak akan seberhasil sekarang.”
            Adra melipat tangan, menyimak cukup serius sampai lupa espresso-nya belum sama sekali ia teguk.
            “Saya menghargai perbedaan selera. Bahkan, kalau saya pemilik Play dan, taruhlah, saya benci genre metalcore, saya akan tetap memutar lagu dengan jenis tersebut jika ada pelanggan yang meminta. Tanpa menginterupsinya.”
            Tepat di situlah Adra terenyak. Jelita ini, perempuan di hadapannya ini, tengah berusaha menyudutkannya! “Apa kamu menyindir tindakan saya tadi? Apa kamu tersinggung saya mengganti Oh Honey-mu dengan Bat Country.”. Ia mencondongkan tubuh hingga kedua sikunya menyentuh permukaan meja.
            “Enggak, kok. Kenapa? Apa justru kamu yang tersinggung?” Diam. Adra diam. “Bahkan jika kamu gak suka frapuccino dan orang lain menyukainya, bukan berarti kamu harus meminta barista di sini untuk berhenti membuatnya. Bukan begitu, Adrian?”
            Telak, Je mengakhiri perkataannya dan segera beranjak. Ia meninggalkan Adra yang masih terpaku, terlalu terkejut dengan serangan tiba-tiba gadis yang baru bicara dengannya tak lebih dari sepuluh menit. Isn’t She Lovely pun telah berganti menjadi My Cherie Amour dan My Cherie Amour sudah berubah jadi As. Kesemuanya datang dari satu penyanyi, Stevie Wonder. Favorit Je, dan bukan kesukaan Adra.
***
            Dua hari telah berlalu sejak Senin. Kembali, Jelita berada di kafe Play pada Rabu malam. Suasana sedikit lebih riuh sebab tak ada hujan, dan ini malam. Kunjungan Je ke Play kali ini bukan sekadar memesan teh untuk kemudian dianggurkannya sampai dingin seperti tempo hari. Melainkan untuk bertemu seseorang. Seseorang yang menjadi orang terakhir yang ia ajak bicara di Play Senin lalu. Adra. Adrian. Dan ternyata, Adrian sudah menunggu di kursi spesialnya; seperti apa yang telah Je duga. Begitu keduanya duduk berhadapan, Je-lah yang kembali bicara lebih dulu. “Dari mana kamu dapat nomor telepon saya?”
            “Gak banyak orang yang membawa recorder ke mana-mana, kecuali anggota unit kemahasiswaan jurnalistik.” Jawab Adra sambil lalu. “Ini, punya kamu. Untung tertinggal di meja saya.” Diserahkannya peranti elektronik hitam tersebut pada empunya.
            “Ini sangat penting. Terima kasih.” Je berujar. Tangannya menerima angsuran recorder dari Adra. “Kirain ada  kata-kata saya kemarin yang bikin kamu ingin ngobrol lebih lanjut.” Meski Je sudah tahu tujuan awal Adra mengajaknya bertemu di Play, berseloroh jenaka sepatah-dua patah kalimat tidak salah, kan?
            “Mana ada,” Adra berdecak, merasa harga dirinya sedikit terusik dengan kata-kata santai yang diucapkan Je. “Justru saya pikir kamu yang tertarik sama saya. Buktinya kamu kan yang pertama ajak saya bicara.”
            “Yeah. Menarik, dalam makna yang kurang baik. Apa yang salah dengan Stevie Wonder? Atau Delegation?”
            “Tidak ada. Mau pesan sesuatu? Kopi? Atau teh, misalnya? Sebelum kamu pulang.” Adra berkelit.
            “Teh. Dengan churros. Apa kamu mengajakku untuk menjadi teman minummu hari ini?”
            “Baik. Aku, espresso.”
            “Churros-ku harus setengah garing, ya. Sebetulnya lagu-lagu Avenged bikin kupingku sakit.”
            “Rasanya aku juga ingin pesan churros. Atau waffel, ya?”
            “Apa kamu juga suka EDM?”
            “Aku suka Haim. Mereka keren. Tapi aku lebih suka waffel cokelat sebenarnya.”
            “Haim itu, tiga wanita berambut lurus yang super kurus itu? Yeah, waffel cokelat adalah padanan minum teh yang menyenangkan.”
            “Aku sukanya kopi.”
            “Aku tahu. Aku sukanya lagu-lagu Stevie Wonder.”
            “Bikin aku mengantuk!”
Dan debat kecil itu tak terhenti, meski Maya—pelayan perempuan Play—sudah menerima, menyiapkan, hingga mengantar pesanan mereka.
Serta tanpa mereka sadari, suara manis Colbie Caillat lewat Falling for You pun mengalun dan menepuk lembut tiap kepala di kafe Play. Tak terkecuali mereka, Je dan Adra. Serta dua cangkir minuman milik mereka, masing-masing.

**

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar