Kamis, 24 Maret 2016

Fiksi: Lirih




Kali pertama itu adalah ketika hujan turun. Hujan di Januari yang luruh dari langit pekat.

Kala itu aku belum beranjak dari gedung X, yang setengah jam lalu selesai kugunakan untuk menyelesaikan satu mata kuliah ber-sks tiga. Tak punya pilihan alternatif, maka aku memutuskan untuk menunggu hujan reda di dekat salah satu gerbang keluar-masuk gedung ini. Hanya segelintir orang yang mau menunggu, denganku. Entah karena orang-orang tersebut tak membawa payung bersama mereka atau memang mereka senang menonton hujan di balik gerbang hitam yang kini menguarkan bau karat. Tempat duduk berjumlah sepuluh yang saling berhadapan (lima di kanan, lima di kiri), meski berjarak cukup jauh, menyisakan enam bangku kosong. Sementara tiga orang memilih berdiri mematung di sebelah gerbang.

Aku sungguh tidak peduli sebetulnya akan siapa yang duduk atau menunggu hujan bersama denganku di gedung X. Masih tak peduli, hingga kemudian lamat-lamat terdengar suara petikan gitar yang terdengar sendu. Datangnya dari tempat duduk sebelahku—secara teknis sebenarnya terpisah dua bangku, namun karena tak ada yang menjadi penghalang maka kukatakan kami bersebelahan. Impulsif, aku menoleh ke sumber suara. Dan pandanganku sesaat tertahan pada sebuah gitar yang sedang seseorang gunakan. Maka kualihkan pandanganku pada seseorang itu. Usai mengobservasi beberapa sekon, aku tiba pada dua kesimpulan: (1) gitar itu dimainkan oleh orang asing dan (2) orang asing itu masih mahasiswa kampus. Sebab walaupun figurnya tidak familiar pun wajahnya tak pernah kuperhatikan, laki-laki ini menggunakan tanda pengenal mahasiswa khas kampusku. Namun petikan gitarnya yang sendu terkecap amat pahit, hingga rasanya aku tak akan segan meminta siapapun yang memainkan alunan sedih itu untuk berhenti.

Karena siapapun tahu teori bahwa paduan ketipak-ketipuk romantis milik hujan dan alunan lagu sedih adalah sebaik-baik kloroform. Dan aku tidak mau tak sadarkan diri di gedung X yang merupakan salah satu gedung tertua di wilayah kampus ini.

“Lagunya, apa harus lagu sedih?”

Kelihatannya orang tersebut terkejut; terlampau terkejut. Posisi gitarnya sedikit terentak dan alhasil petikannya berhenti. Tak butuh waktu lama bagiku untuk mendapati feature wajahnya secara utuh, termasuk rasa lelah yang menumbuhkan diri tepat di bawah mata tak lebarnya. Karena sekarang ia menatapku penuh. Bingung, kah? Atau takut? Padahal masih aku, manusia, yang mengucap suara.

“Mungkin kombinasi suara hujan sama lagu sedih gak pas buat saat ini.”

Ia mengalihkan pandangannya untuk memperbaiki letak gitar sedemikian rupa. Setelahnya ia kembali menyiborokkan tatapan kami. “Ada request?”

Any song but the sad ones will do.”

Mendengar jawabanku, ia mengangguk perlahan. Dan sama pelannya, mulailah diberikannya nilai pada gitar di pangkuannya itu. Ia kembali memainkan lagu. Lagunya masih teredam suara hujan. Lirih. Dan aku masih mendengarkan.

Aku tidak tahu lagu apa yang dimainkannya. Tidak mau tahu, jua. Yang jelas sekarang aku bisa menunggu hujan agar sedikit menurunkan intensitasnya—meski aku agak ragu—tanpa takut tertidur.

Aku menyukainya. Petikan gitar dan gumaman tak jelasnya, yang masih bisa indera pendengarku tangkap. Dan juga dirinya yang mau mendengarkan kata-kataku, bahkan meminta rekomendasi lagu.

**

“Orang bilang, dia bisa baca kepribadian seseorang dari suaranya!”

Seorang teman yang biasa kupanggil Je berseloroh. Ia menunjuk kumpulan orang yang sedang makan di pojok kantin dengan dagunya. Aku tak tahu orang yang mana yang dimaksud Je. “Yang mana? Banyak orang di sono.”

“Yang kemejanya kuning!”

Mataku yang dianugerahi minus satu-setengah tidak bisa berakomodasi dengan baik. Namun karena jarak yang tak jauh dan aku yang tidak buta warna, maka syukurlah dapat kulihat sosok orang yang menjadi objek pembicaraan kami. Hanya ada satu orang berkemeja kuning di bagian kursi tertunjuk. Kuningnya cukup cerah dan sekali lagi, jarak yang tidak jauh masih mampu membuatku mengenali orang itu. “Dia yang kemeja kuning?” Saat mengetahui siapa dia, aku tiba-tiba jadi tak percaya—sebetulnya tidak yakin juga sejak awal. “Tiga hari yang lalu, saat nunggu hujan, aku berdua sama dia. Dia anak satu jurusan kita? Kok gak pernah lihat, sih?”

Saat aku menoleh pada Je, ia mengangguk. “Cukup terkenal dia. Kamu saja yang gak tahu! Dia anaknya musik banget. Sebelum diterima di sini, dia sudah diterima di jurusan musik, di kampus lain. Dan kata orang-orang, dia bisa baca kepribadian dari suaranya.”

Apakah ada hal yang lebih utopis dari pernyataan Je barusan? Menarik, sebetulnya. Membaca seseorang lewat suara yang dihasilkannya. Tapi apa mungkin? Menarik sekaligus menyeramkan, memang. Tapi mau tak mau harus kuakui kalau rasa penasaran sedikit-banyak mulai menelusup. Ini merupakan sebuah hal langka! Maksudku, siapa memangnya yang tak akan kaget saat mendengar kalau seseorang mampu membacamu lewat suara?

“Namanya, Bara. Kamu harus lihat saat dia main gitar, atau alat musik lainnya. Keren banget! Aku pernah lihat dia tampil di acara kampus...” Dan kalimat Je selanjutnya kalah oleh bising bisik di pikiranku. Namun untuk pernyataan Je mengenai lelaki itu dan gitarnya, aku setuju. Meski perlu diluruskan, bukan kata ‘keren’ yang tepat disematkan. Lebih kepada...menyenangkan. Tentu, menyenangkan. Menyenangkan mendengarnya memetik gitar, tiga hari lalu.

**

Baru kali ini perpustakaan dibuka pihak kampus sampai malam hari! Mungkin ini berkaitan dengan detak sekon waktu ujian akhir yang semakin terasa. Lagipula, hari ini adalah hari terakhir kegiatan perkuliahan jelang ujian.

Begitu memasuki ruangan tersebut, aku merasa perlu melakukan penghormatan sebab ternyata animo mahasiswa amat baik. Biasanya perpustakaan tak lebih dari tempat singgah jika tak ada tempat lain untuk didatangi, tapi kini hampir seluruh kursi di dalamnya penuh. Tidak. Aku tidak berbalik keluar dari perpustakaan ketika kulihat seluruh kursinya terisi. Karena sebetulnya aku datang untuk mengembalikan buku yang seminggu lalu seharusnya sudah tersimpan rapi di rak cokelat perpustakaan. Padahal, sungguh, tak kusentuh barang sesenti lembar halaman buku ini!

Setelah mendapat kuliah malam gratis dari penjaga perpustakaan mengenai kedisiplinan pengembalian buku, aku kemudian diberi hukuman: memindahkan satu kardus berisi buku-buku rusak ke bagian atas perpustakaan—seperti loteng tanpa atap—untuk kemudian diproses lebih lanjut oleh petugas di sana. Tanpa pikir panjang langsung kulaksanakan titah itu.

Loteng perpustakaan adalah hal yang masih tidak kumengerti. Pula, tanpa atap. Memang loteng itu luas dan dapat digunakan seksi dokumentasi untuk merekam atau mengambil gambar kegiatan yang dilakukan di ruang terbuka, jauh di bawah sana. Tapi fungsinya yang tak sungguh-sungguh dibutuhkan masih kalah oleh jumlah tangga yang harus kulalui sebelum tiba di sana. Cukup banyak sampai membuatku—yang notabenenya senang menghitung jumlah anak tangga—malas menyenandungkan hitungan.

Cahaya dari temaram lampu loteng, yang entah bagaimana dapat dipasang, dan pancaran purnama Dewi Selene menyambutku begitu anak tangga habis kulangkahi. Aku hanya perlu menaruh kardus ini, mengonfirmasi pada petugas, dan selesailah perintah petugas di bawah sana. “Maaf, Mas, ini kardus dari bawah!” Aku berseru sambil menahan engahan. Orang—hanya ada satu orang di loteng ini—yang kupanggil menoleh, dan tetiba aku amat ingin tertawa saat melihat wajah si empunya.

“Oke, Mbak.” Orang itu tersenyum. Posisinya yang sedang duduk bersila sambil memegang gitar membuatku hanya perlu sekali berkedip untuk tahu siapa dia. Bara! Yang minggu kemarin menunggu hujan bersamaku dan Je ceritakan tiga hari kemudian. Eh, yang katanya mampu membaca orang lewat suara itu, kan?

“Loh, kamu kenapa di sini? Petugas perpusnya?” Aku menoleh ke kanan dan pandanganku langsung disambut warna-warni lampu-lampu jejeran toko yang terletak di depan kampus. Ada yang hanya sekadar lampu, ada juga yang berupa runutan huruf pembentuk nama toko-toko tersebut. Ternyata cukup tinggi juga posisiku saat ini.

“Saya petugasnya. Petugas dadakan. Habis kena hukuman.” Ia nyengir. “Terlambat mengembalikan buku.”

Dari jenis senyumnya, bisa kukatakan bahwa dia orang yang jenaka. Tapi kembali, bersit pemikiran tentang Bara dan kemampuannya membaca orang (yang masih kupertanyakan) kembali muncul. Percuma saja kalau ia jenaka kalau ternyata, kenyataannya, dia lahir dengan kemampuan membaca kepribadian orang lewat suara!

“Memang betul-betul bisa baca kepribadian lewat suara, ya...?” Aku sadar bahwa aku mengucapkan dengan nyaring pemikiran yang sebetulnya tak perlu disuarakan. Cukup nyaring sepertinya, hingga kuyakin ia mampu mendengar pertanyaan yang sebenarnya tak terlalu mendesak jawaban. Hal itu karena jarak kami yang walau tak begitu dekat, tapi tak juga jauh.

Aku menatap sosok Bara dalam hening. Tak kusampaikan permintaan maaf karena langsung menanyakan sesuatu yang bersifat pribadi di kali kedua kami bertemu, atau kata-kata seperti ‘uh, kamu gak perlu menjawabnya kalau kamu enggan’. Aku tidak benar-benar butuh dirinya menjawab. Aku hanya ingin tahu. Itu saja.

Namun bukannya jawaban yang diberikan, Bara justru mulai memetik gitar. Ia kembali memainkan alunan yang nyaris dramatis. Layaknya backsound di opera sabun Meksiko. “Spekulasi, paradoks, prasangka, stereotipe. Masyarakat. Kayak mie instan dan telur—saling melengkapi.”

Usai ucapannya aku jadi merasa disuruh menghirup kebingungan, bukannya oksigen.

“Cuma intermezzo.” Ia menghentikan petikan gitarnya, lalu menatapku sembari tersenyum hingga kedua matanya yang sudah kecil makin tak tampak. Oh, ini jadi menyeramkan! “Kalau saya bisa baca seseorang lewat suaranya, mungkin di kali pertama kita ketemu saat hujan beberapa hari lalu, saya bakal bilang ‘Yeah, Almadira, dari suara kamu saya bisa tau kalau kamu adalah tipe orang yang suka makan saat lapar, marah ketika ada yang memukul tiba-tiba, dan kesal saat disuruh naik-turun tangga perpustakaan dan loteng’”

Aku terkekeh mendengar penjelasannya. “Kamu tahu nama saya?”

“Banyak kali temanmu di kelasku.” Ia ikut tertawa kecil. “Atau harus saya bilang seperti ini: ‘Almadira, dengan tipe suara seperti kamu ini, saya bisa simpulkan kalau kamu orangnya gak pernah olahraga, percaya diri saat nyanyi walau suaramu pas-pasan, dan kamu merasa suaramu cukup lantang untuk gak memakai microphone waktu mengumumkan sesuatu di depan kelas’. Atau kamu lebih suka saya ngomong begitu?”

Dan atmosfer di antara kami seketika berubah. Sontak aku dibuat terpana dengan pernyataan Bara. Penjelasan Je di kantin tempo hari mungkin ada benarnya. Kemungkinan lelaki di hadapanku ini dapat membaca orang lewat suara jadi membumbung tinggi. Apa yang dikatakannya sederhana memang. Tapi percayalah, seluruhnya akurat. “Kamu bisa membaca suara...” Pernyataanku menggantung di udara, untuk kemudian diberai ke segala arah.

“Bukan membaca.” Suaranya, yang setelah kuperhatikan ternyata cukup dalam, tenang. Lagi, ia memainkan sesuatu dengan gitarnya yang tidak kumengerti itu apa. “Saya besar di keluarga yang...apa, ya? Uh, saya gak tahu apa istilah kerennya, yang jelas keluarga yang erat dengan seni dan musik. Terutama musik.” Terhenti sekian sekon lah ucapannya. “Karena musik juga identik dengan suara manusia, ya, jadi saya cukup sensitif dengan suara-suara orang di sekitar. Suaranya berat, cempreng, lantang, atau apakah suaranya cocok untuk jadi penyanyi, atau mungkin gak suaranya diikutkan di paduan suara dengan jenis sopran. Kerennya, sih, menurut insting semua pendapat-pendapat—dan bukan ramalan—saya tentang orang tersebut muncul karena suara mereka. Tapi bukan berarti saya bisa membaca mereka.

“Tapi apa yang kamu bilang tadi...” Heran. Aku masih sangat heran bagaimana pendapatnya tentangku tepat semua.

“Itu cuma pendapatku tentang kamu. Saya gak membaca diri kamu. Membaca artinya mengaji, mengetahui karena ada sesuatu yang bisa ditelaah dan dibaca. Sementara saya gak membaca kamu. Saya...merasakan. Saya merasakan kamu.” Mendengar penjelasan terakhirnya aku hampir berkata-kata, dan ternyata diinterupsinya. “Suara kamu, maksudnya.” Dan aku urungkan niat berucap tadi.

“Kamu seperti punya kekuatan super, ya.” Aku kemudian berkata setelah diam menyelimuti kami beberapa saat.

Gak juga.” Suaranya terdengar menimang-nimang. “Gak semua orang bisa saya rasakan suaranya. Biasanya orang yang sama-sama tertarik dengan musik dan profesional di bidangnya, mereka biasanya susah untuk saya rasa. Mereka punya kemampuan dan jam terbang yang jauh lebih banyak. Juga, suara pun bisa dimanipulasi.”

Aku mengangguk-angguk, sok paham. Aku berada di angka nol besar jika itu tentang musik dan tentunya, suara. Seperti yang dikatakan Bara, suaraku pas-pasan. Namun aku senang bernyanyi...tanpa susunan melodi yang tepat. Tapi apa yang dijelaskan Bara, entah kenapa, terdengar masuk akal. Maksudku, mungkin secara naluriah, insting itu memang ia punya. “Maka kamu bisa main selain gitar.”

“Itu pernyataan, tuh. Belum bisa dibuktikan kebenarannya.”

“Tapi kamu orang seni! Pernah diterima di universitas lain jurusan musik, kan?” Kini aku terdengar menuntut.

“Ternyata, kamu tahu banyak tentang saya? Kamu tahu nama saya juga, I suppose?”

Kuputuskan untuk tak menjawab. Kemudian kulirik jam yang melingkar di pergelangan. Ah, sepuluh menit lagi menuju pukul setengah sembilan. “Sepertinya saya harus pulang sekarang. Kamu, buruan beresin kardus-kardus itu.”

“Perpustakaan tutupnya jam sembilan nanti.” Sahutnya tak terlalu acuh.

Hanya mengendikan bahu, entah pada siapa, aku kemudian berbalik dari posisi semula untuk turun ke lantai dasar. Sepuluh menit perjalanan sampai tempat tinggal, kemudian aku akan tiba di— “Mau request satu lagu sebelum pulang? Any song but the sad ones will do.” Langkahku terhenti dan aku pun menoleh. Ia—lagi-lagi—tersenyum. Mata kecilnya kembali hilang. Walaupun tawarannya tiba-tiba, entah kenapa, aku tak terlalu terkejut.


Ah, baiklah. Mungkin pulangnya nanti saja. Setelah satu lagu selesai.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar