Hyperbolized Non-Fiction: Sibuk
Semua
orang yang sedang sibuk menyebalkan. Sungguh, menyebalkan.
Satu
kali, aku mendatangimu. Dan ternyata bukan hanya aku yang ingin bertemu dengan
kamu—seluruh orang sepertinya secara tetiba memiliki pemikiran yang sama
denganku. Hari itu, aku terlalu menggebu, karena mau.
Dan
kamu, sibuk. Terlalu banyak yang menghampiri, sampai sepertinya tak tahu mana
yang harus dijadikan nomor satu.
Saat
kukira kesempatanku untuk bertemu dengan kamu telah datang, ketika kita telah
berhadapan, dengan nada jengkel kamu berujar, “Silakan ambil tempat di
belakang.”. Aku seketika terenyak. Kamu tahu, padahal kamu bukan Donald Trump,
tapi waktu itu wajahmu terlihat menyenangkan untuk ditendang.
“Oh,
tunggu dulu?! Bukannya aku yang lebih dulu datang?!” Tapi aku tidak
menyuarakannya. Aku terlalu malu—karena kamu lebih memilih orang lain untuk
didahulukan. Bukan aku, yang jelas-jelas sudah ada lebih awal!
Maka aku berbalik. Meski enggan, pergi. Namun
lebih tak mau menunggu lagi. Bukan masalah waktu, tapi mengenai harga diri.
*
Kedua kali, aku mencoba lagi. Masih
sama, ternyata. Kamu tetap seperti itu; sibuk dan kelihatan bosan.
Mungkin kali ini aku beruntung? Karena
ternyata, usahaku tidak sia-sia seperti kali terakhir. Kamu memang tak
berkata-kata dengan lembut—cenderung seperti mesin yang usang. Apa yang kamu
katakan padaku pun sama seperti apa yang kamu bilang kepada yang lainnya.
Aku meminta sesuatu, dan kamu hanya
menggumam. Aku pun menunggu. Bayangan perihal apa yang akan kudapat bahkan
sudah dapat kurasa. Gila, kalau harus jujur. Tapi aku memang sangat
menginginkannya!
Tapi...
Ternyata aku, lagi-lagi, salah.
Setelah menunggu, kamu memang memberikannya padaku. Akan tetapi, sungguh, ini
bukanlah apa yang kuinginkan—dan bayanganku rasakan. Apakah aku terlalu
berharap? Apakah, kupikir, karena aku telah menunggu lebih lama, apa yang akan
kudapat sesuai dengan harapanku? Apakah teori Manajemen Keuangan: high risk, high return perlu
dipertanyakan lagi keabsahannya?
Ternyata, lagi-lagi aku harus meredam
rasa kecewa yang sebetulnya menyalak. Aku mengatakan. “Loh, kupikir kamu akan
memberikan yang lain?”
Dan kamu menjawab, “Itu berbeda.”
Lagi. Aku memang tidak pulang dengan
tangan kosong—hey, aku menggenggam apa yang kamu berikan, harus kuakui. Tapi
bukanlah apa yang aku inginkan.
Namun sesuatu yang lebih mengerikan baru
terjadi: rasa senang semu yang diempas. Sudah semu, kemudian jatuh. Apa ada
yang lebih menyedihkan lagi?
*
Kamu tahu, kalau aku belum menyerahh?
Panggil aku keras kepala, sebab ini akan
menjadi ketiga kalinya aku coba melempar dadu. Berharap jumlah bulatan yang
keluar adalah enam.
Dari jauh, kuperhatikan, kamu tak sedang
sibuk. Bahkan tidak ada seorang lain pun bersamamu! Serta dari jauh juga, sudah
kukulum senyum seolah dua kali denganmu yang telah kulewati dengan dengus kesal
tak terjadi. Ah, mungkin ini saatnya!
Kembali, tak bisa kuhentikan, bayangan
tentang menerima sesuatu yang kuinginkan darimu berhamburan. Dibias tiap
langkah yang melenggang.
Semakin dekat, semakin dekat. Dan
kemudian kita kembali berdekatan. Kamu tengah melakukan sesuatu dengan sebungkus
Oreo vanilla. Memisahkan antara krim vanilla dengan dua biskuit yang
mengapitnya, kah?
“Permisi,” Ujarku, kemudian.
Kamu tak kelihatan menjawab. Aku menunggu—haruskah
aku menuliskan seribu kata tunggu hingga kamu memberi apa yang aku mau?—namun
kamu masih belum menunjukan kesadaranmu tentang keberadaanku.
“Permisi, Mas.” Kataku mengulang.
Akhirnya kamu menoleh. Segeralah kamu
meninggalkan apapun yang sedang kamu lakukan itu. “Iya, Mbak?” Tanyamu sembari
menghampiri.
Dan kamu, tersenyum. Meski kecil. Dan
kusadari, aku membalas senyum itu. Bukan sekadar formalitas. Tapi inilah
pertama kali dari tiga pertemuan kita, ujung matamu mengerling. “Saya mau crepe banana dengan chocolate ice cream. Kulitnya yang soft aja ya, Mas.”
Kamu mengetik sesuatu. Dan secara mengejutkan,
bertanya. “Gak pakai tambahan topping lain?”
Aku tidak mau. Sudah tiga kali datang ke
sini untuk apa yang tadi baru kukatakan, tentu aku tak ingin mengganti
pesananku. “Memang kalau pakai topping
lain ada apa aja?” Secara mengejutkan aku bertanya. Ya, terkadang memang
lidahmu memiliki kemampuan gerak yang lebih cepat dari sel-sel otak.
“Ya, macam-macam, Mbak. Ada silverqueen, oreo, di situ pokoknya.”
Kamu menunjuk daftar menu yang memperlihatkan daftar topping. Aku pura-pura tertarik dan mengamati. Meski pada akhirnya
berkata, “Ah, itu aja deh, Mas.”
“Oke, Mbak.” Kamu menyebutkan jumlah
harga yang harus kukeluarkan. Usai menerima kembalian, aku menunggu di pinggir stand.
Ternyata betul. Orang-orang sering
berkelakar, “ah, ketiga kalinya dapet piring
cantik lo!”. Kalau begitu, mana piring cantikku?
Bahkan untuk sesuatu yang harus kubayar,
dan jumlahnya dapat langsung kupenuhi, pun, aku tak bisa langsung
mendapatkannya. Kali pertama, setelah cukup lama mengantre, aku—yang telah
membayangkan crepe pisang dengan es
krim cokelat—diperintahkan untuk kembali mengantre. Mungkin kamu tidak
melihatku, Mas? Padahal aku datang lebih dahulu dibandingkan mereka yang kamu
utamakan.
Kali kedua, aku mendapat pesanan yang
salah. Kupikir kamu mengerti begitu kukatakan, “Saya mau chocolate banana”? Ternyata tidak. Justru, kamu malah menyerahkan crepe yang sudah ternodai butir-butir chocochips secara tak beraturan. Padahal
aku sudah mengira kalau kali itu akan kudapatkan si es-krim-cokelat-dan-pisang.
Namun ternyata salah. Kelihatannya memang hanya makanan, tapi percayalah: harapan—sekecil
apapun itu—yang seketika runtuh adalah salah satu hal terburuk setelah penipuan
oleh online shop.
Dan kali ketiga—
“Ini, Mbak.”
Aku secara sengaja membuyarkan seluruh
lamunanku, dan menerima sodoran crepe darimu.
Lagi, kamu tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Hal yang tidak akan
dilakukan dalam keadaan sibuk.
Benar, bukan? Menjadi sibuk itu
menyebalkan, sebab hal-hal detail jadi terlupakan. Seperti intonasi yang menyenangkan
untuk didengar, irama suara, senyum yang bisa membuat kedua mata mengecil,
anggukan kepala, bahkan ucapan sesederhana “terima kasih” bisa tak diacuhkan. Hal-hal
detail yang membuat orang lain merasa dihargai dan dianggap keberadaannya.
Hal-hal detail yang jika dilakukan, tak akan merenggut seluruh waktu dari
dua-puluh empat jam yang dimiliki.
Dan percayalah, menjadi sibuk membuatmu
lupa potong kuku!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar