[bagian yang bergaris miring untuk kejadian yang sudah lewat:-)]
Dengan
satu macchiato setiap hari, satu ucapan terimakasih tanpa senyum selalu aku
dapat.
“Terima kasih. Jangan datang lagi besok,
kalau bisa.” Sasazaki Huki menyerahkan satu cup ukuran besar macchiato dengan
campuran kayu manis padaku dari balik meja kasirnya.
Aku tersenyum. Tapi Huki tidak. Ia malah mengerutkan
keningnya, dan menatapku dengan pandangan
enyahlah-sekarang-juga-dari-hadapanku.
***
Dengan
motif susu yang berbeda pada setiap macchiato buatan Huki, aku bisa tahu apa
yang gadis itu tengah rasakan. Ia terlalu jujur. Yang dibutuhkannya hanya
secangkir kopi, dan di situlah perasaannya diungkapkan.
“Boneka
beruang untuk hari ini?” Aku mengerutkan dahi begitu menerima macchiato pada
hari Rabu di pertengahan Desember yang bersalju. Seattle memang sangat buruk
untuk urusan salju. Tapi untungnya ratusan—bahkan ribuan—kedai kopi selalu
tersedia duapuluh empat jam nonstop untuk membantumu membunuh dingin. Termasuk
kedai kopi ini. Kedai kopi milik Sasazaki Huki.
“Aku menemukan sebongkah salju
mengristal di kasurku tadi pagi. Dan, entah mengapa, hal itu membuat perasaanku
baik sepanjang hari ini.” Huki jarang tersenyum padaku. Tapi sekarang ia melakukannya.
Senyum yang sangat lebar sampai menunjukkan sebuah cekungan kecil di pipinya.
“Padahal kemarin kamu baru menggambar
tengkorak dengan lidah terjulur di macchiato-ku. Kalau bisa kutebak, pasti
kemarin adalah hari yang tidak terlalu baik untukmu.”
Gadis Jepang di hadapanku ini
mendengus sambil menaikkan sebelah bahunya. Bagaimana bisa senyum lebar yang
beberapa detik lalu ada mendadak hilang? Well, pemain emosi yang hebat.
“Terkadang sesuatu yang membunuh paling cepat adalah rasa ke-sok-tahuanmu.”
Aku tidak bisa untuk tidak terkekeh.
Tiga tahun menjadi pelanggan setianya bukan waktu yang sebentar. Rasa sarkasme
pada diri Huki sangat kental, dan untungnya aku sudah kebal. “Tapi aku yakin
apa yang aku perkirakan itu benar.”
Huki memandangku beberapa saat.
Kemudian ia mendesah dan nada suaranya meresah. “Adikku di Jepang sana menjual
semua koleksi manga Sailor Moon-ku ke tukang loak. Dan uangnya dia gunakan
untuk menghadiri acara fanmeet band Scandal. Benar-benar keterlaluan, bukan?
Memangnya dia pikir aku mengumpulkan semua manga itu satu malam saja? Aku
langsung—“
Dan pada saat seperti ini, aku bisa
melihat bagaimana Huki yang sebenarnya berbicara—meremas ujung celemeknya saat
masuk pada bagian cerita yang mengesalkan, menyipitkan matanya yang sudah sipit
saat menceritakan sesuatu yang membingungkan, dan tertawa kecil saat
menceritakan saat-saat yang baginya menyenangkan.
***
Ternyata
macchiato dan pepero adalah perpaduan yang bagus. Macchiato melembutkan pepero
yang keras, dan memberikan rasa pahit yang membungkus manisnya pepero secara
rapi. Mungkin ini bisa dianalogikan seperti aku dan Huki. Tapi tidak jelas
siapa yang menjadi pepero-nya, dan siapa yang diibaratkan sebagai macchiato.
“Selamat hari pepero!” Huki menyerahkan
sebuah kantung plastik bening dengan tiga buah kue stick di dalamnya, begitu
aku mendekati meja kasir untuk memesan satu cup caramel macchiato.
“Pepero?” Walaupun tidak mengerti
apa yang dimaksud Huki, aku tetap mengambil kantung plastik yang disodorkannya.
Apapun itu, aku harap ini bisa dimakan—dan gratis.
“Belum pernah dengar tentang pepero
dan hari pepero?” Alis kanan Huki naik dan memandangku dengan tatapan
menyudutkan. “Demi Tuhan, Russ. Ini namanya diskriminasi. Orang-orang Timur
begitu bersemangat mempelajari setiap detail kebudayaan Barat, tapi sayangnya
orang-orang Barat tidak menaruh sedikitpun perhatian terhadap kebudayaan dan
segala sesuatu tentang kami.”
Aku membuka ikatan pita pada ujung
kantung plastik yang tadi diberikan Huki, dan bertanya tanpa mengalihkan
pandangan. “Jadi pepero itu adalah?” Tidak kuacuhkan kuliah singkat gadis itu.
“Kue stick yang sedang kamu pegang.
Kami menyebutnya pepero. Dan tepat pada hari ini, 11 November, adalah hari
pepero. Sebenarnya hari pepero ini
kebudayaan yang terkenal dari Korea. Dan kebetulan Ibuku memiliki darah
Korea. Jadi kurasa tidak ada salahnya membawa hari pepero ke Seattle.”
Aku mengangguk-angguk tanpa acuh dan
menggigit sebuah ‘pepero’ yang sudah berhasil kukeluarkan.
“Bagaimana rasanya?”
Aku mengecap beberapa kali. “Pahit.”
Huki tersenyum aneh dan menggaruk
bagian belakang kepalanya. “Umh, yeah. Kebetulan aku membuat dalam rasa cokelat
asli. Tapi sebenarnya pepero bisa dibuat dalam berbagai macam rasa.”
“Benarkah? Kalau begitu, kamu
mungkin bisa membuatkan pepero manis untukku kapan-kapan.”
“Untuk kemudian kamu bagikan kepada
fans gilamu di kantor? Uh, jangan harap.”
“Tentu saja tidak.” Kuikat lagi
kantung plastik yang menyisakan dua pepero di dalamnya. “Untuk apa aku
memberikan sesuatu yang sudah dibuat dengan susah payah untukku kepada orang
lain secara cuma-cuma? Oh ya, caramel macchiato satu, Huki-chan. Siapa tahu
pepero ini akan terasa lebih enak dengan macchiato penuh cinta darimu.”
Bola mata gelap milik Huki berputar
sempurna. “Pertama, membuat pepero tidak sulit. Kedua, apa yang aku tangkap
dari omonganmu, kamu akan menjual pepero buatanku ke pada semua fansmu. Ketiga,
aku tidak membuat macchiato dengan campuran cinta untukmu.”
Aku hanya tertawa menanggapi Huki.
Gadis ini…
***
“Selamat
tahun baru!” Huki sedikit membungkuk untuk memberi penghormatan begitu aku
masuk ke dalam kedainya.
Seringaian
kecil tidak bisa kusembunyikan. Oh, oh. Gadis ini pasti tidak menyadari kalau
aku yang datang. Karena kalau ia tahu, ia tidak akan membungkuk seperti itu.
“Selamat
tahun baru juga, Huki-chan!”
Huki
selesai membungkuk. Ia menyipitkan matanya dan dengusan kecil terkuar. “Aku
kira bukan kamu yang datang.”
“Sudah
kuduga.” Aku tersenyum dan mendekati Huki yang sedang berdiri di dekat mesin
pembuat kopi. “Macchiato dengan kayu manis, satu.”
Untuk
beberapa saat Huki terdiam dan memandangku dengan tatapan bingung. “Russ, aku
sebenarnya sedikit heran.” Huki berdeham kecil dan melanjutkan. “Apa kamu tidak
bosan dengan macchiato? M-maksudku, selama ini yang kamu pesan di kedaiku
adalah macchiato. Aku belum pernah melihatmu memesan latte atau kopi hitam atau
yang lainnya.”
Aku
mengangguk-angguk kecil dan balas menatap Huki. Aku tidak pernah mengira ia
akan bertanya seperti ini. “Yang membuatku jatuh cinta padamu—maksudku kedaimu—adalah macchiato-mu. Jadi, aku belum
berpikir untuk memesan kopi dengan jenis lain di sini.”
“Macchiato
di De Supreme kurasa lebih enak—”
“Bagiku
macchiato di sini adalah yang terbaik.” Dengan cepat aku menyela sanggahan
Huki. “Anyway, sadar atau tidak, ini adalah tahun keempat aku menjadi pelanggan
setiamu.”
Sekali
lagi, Huki memandangku dengan tatapan bingung. “Benarkah? Empat tahun? Wow.
Selamat.”
“Ya.”
Sedikit ragu aku melanjutkan. “Pertama kali aku datang ke sini, empat tahun
yang lalu. Tepat saat tahun baru. Saat itu aku baru mengalami penolakan dari
seorang perempuan. Itu adalah kali pertama aku mengalami penolakan selama
hidupku.”
Huki
tertawa kecil dan mendorong pelan bahuku. “Aku ingat! Saat itu kamu datang
dengan sebuah buket bunga mawar merah muda super besar. Astaga, itu adalah
buket bunga terbesar yang pernah aku lihat.”
“Dan
kamu meminta buket bunga itu untuk kamu pajang di depan kedai.”
Kini
Huki tergelak. Ia sampai memukul pelan dinding kayu yang menghalangi tempatku
dan gadis itu berdiri. “Aku mengambil dua mawar yang masih kecil dan menanamnya
di rumah.”
“Benarkah?”
Ia
mengangguk mantap. “Namun sayangnya, baru dua hari, mawar itu sudah mati. Aku
saat itu yakin kalau kamu tidak memberi buket bunga itu dengan tulus.”
Aku
tidak mengacuhkan perkataan terakhir Huki. “Juga pada malam itu, aku memintamu
untuk memberiku sesuatu yang bisa membuat rasa sakit hati hilang seketika. Dan
kamu pun memberiku sebuah macchiato dengan kayu manis.”
“Dan
itu ampuh, bukan?”
“Sangat.
Terimakasih.”
“Bukan
masalah besar.” Huki cepat-cepat memalingkan wajahnya dan segera mengambil
sebuah cup berukuran besar.
Keheningan menyelimuti
beberapa saat. Keheningan yang sedikit janggal.
Dengan
sebuah dehaman, aku memecah keheningan yang tercipta. “Huki-chan.” Kulipat
tangan di dada dan bersandar pada kayu pembatas.
“Hm?”
“Bagaimana
kalau kamu menutup kedaimu lebih awal? Kurasa tidak ada salahnya kita
menghabiskan malam ini bersama. Lagipula tidak akan ada yang datang ke kedai
kopi pada malam tahun baru, kecuali orang yang sedang patah hati karena
mengalami penolakan.”
Senyum
samar terbentuk sebentar di wajah Huki. “Aku tidak bisa, Russ. Aku ha—“
“Sayangnya,
aku tidak menerima penolakan, Sasazaki Huki. Letakan lagi cup itu. Dan mari
kita menghabiskan waktu ber—oh tidak. Maksudku, mari kita berkencan.”
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar