Rabu, 10 April 2013

Original Fiction: Macchiato


 [bagian yang bergaris miring untuk kejadian yang sudah lewat:-)]         

              Dengan satu macchiato setiap hari, satu ucapan terimakasih tanpa senyum selalu aku dapat.
            “Terima kasih. Jangan datang lagi besok, kalau bisa.” Sasazaki Huki menyerahkan satu cup ukuran besar macchiato dengan campuran kayu manis padaku dari balik meja kasirnya.
Aku tersenyum. Tapi Huki tidak. Ia malah mengerutkan keningnya, dan menatapku dengan pandangan enyahlah-sekarang-juga-dari-hadapanku.
***
            Dengan motif susu yang berbeda pada setiap macchiato buatan Huki, aku bisa tahu apa yang gadis itu tengah rasakan. Ia terlalu jujur. Yang dibutuhkannya hanya secangkir kopi, dan di situlah perasaannya diungkapkan.
             “Boneka beruang untuk hari ini?” Aku mengerutkan dahi begitu menerima macchiato pada hari Rabu di pertengahan Desember yang bersalju. Seattle memang sangat buruk untuk urusan salju. Tapi untungnya ratusan—bahkan ribuan—kedai kopi selalu tersedia duapuluh empat jam nonstop untuk membantumu membunuh dingin. Termasuk kedai kopi ini. Kedai kopi milik Sasazaki Huki.
            “Aku menemukan sebongkah salju mengristal di kasurku tadi pagi. Dan, entah mengapa, hal itu membuat perasaanku baik sepanjang hari ini.” Huki jarang tersenyum padaku. Tapi sekarang ia melakukannya. Senyum yang sangat lebar sampai menunjukkan sebuah cekungan kecil di pipinya.
            “Padahal kemarin kamu baru menggambar tengkorak dengan lidah terjulur di macchiato-ku. Kalau bisa kutebak, pasti kemarin adalah hari yang tidak terlalu baik untukmu.”
            Gadis Jepang di hadapanku ini mendengus sambil menaikkan sebelah bahunya. Bagaimana bisa senyum lebar yang beberapa detik lalu ada mendadak hilang? Well, pemain emosi yang hebat. “Terkadang sesuatu yang membunuh paling cepat adalah rasa ke-sok-tahuanmu.”
            Aku tidak bisa untuk tidak terkekeh. Tiga tahun menjadi pelanggan setianya bukan waktu yang sebentar. Rasa sarkasme pada diri Huki sangat kental, dan untungnya aku sudah kebal. “Tapi aku yakin apa yang aku perkirakan itu benar.”
            Huki memandangku beberapa saat. Kemudian ia mendesah dan nada suaranya meresah. “Adikku di Jepang sana menjual semua koleksi manga Sailor Moon-ku ke tukang loak. Dan uangnya dia gunakan untuk menghadiri acara fanmeet band Scandal. Benar-benar keterlaluan, bukan? Memangnya dia pikir aku mengumpulkan semua manga itu satu malam saja? Aku langsung—“
            Dan pada saat seperti ini, aku bisa melihat bagaimana Huki yang sebenarnya berbicara—meremas ujung celemeknya saat masuk pada bagian cerita yang mengesalkan, menyipitkan matanya yang sudah sipit saat menceritakan sesuatu yang membingungkan, dan tertawa kecil saat menceritakan saat-saat yang baginya menyenangkan.
***
            Ternyata macchiato dan pepero adalah perpaduan yang bagus. Macchiato melembutkan pepero yang keras, dan memberikan rasa pahit yang membungkus manisnya pepero secara rapi. Mungkin ini bisa dianalogikan seperti aku dan Huki. Tapi tidak jelas siapa yang menjadi pepero-nya, dan siapa yang diibaratkan sebagai macchiato.
            “Selamat hari pepero!” Huki menyerahkan sebuah kantung plastik bening dengan tiga buah kue stick di dalamnya, begitu aku mendekati meja kasir untuk memesan satu cup caramel macchiato.
            “Pepero?” Walaupun tidak mengerti apa yang dimaksud Huki, aku tetap mengambil kantung plastik yang disodorkannya. Apapun itu, aku harap ini bisa dimakan—dan gratis.
            “Belum pernah dengar tentang pepero dan hari pepero?” Alis kanan Huki naik dan memandangku dengan tatapan menyudutkan. “Demi Tuhan, Russ. Ini namanya diskriminasi. Orang-orang Timur begitu bersemangat mempelajari setiap detail kebudayaan Barat, tapi sayangnya orang-orang Barat tidak menaruh sedikitpun perhatian terhadap kebudayaan dan segala sesuatu tentang kami.”
            Aku membuka ikatan pita pada ujung kantung plastik yang tadi diberikan Huki, dan bertanya tanpa mengalihkan pandangan. “Jadi pepero itu adalah?” Tidak kuacuhkan kuliah singkat gadis itu.
            “Kue stick yang sedang kamu pegang. Kami menyebutnya pepero. Dan tepat pada hari ini, 11 November, adalah hari pepero. Sebenarnya hari pepero ini  kebudayaan yang terkenal dari Korea. Dan kebetulan Ibuku memiliki darah Korea. Jadi kurasa tidak ada salahnya membawa hari pepero ke Seattle.”
            Aku mengangguk-angguk tanpa acuh dan menggigit sebuah ‘pepero’ yang sudah berhasil kukeluarkan.
            “Bagaimana rasanya?”
            Aku mengecap beberapa kali. “Pahit.”
            Huki tersenyum aneh dan menggaruk bagian belakang kepalanya. “Umh, yeah. Kebetulan aku membuat dalam rasa cokelat asli. Tapi sebenarnya pepero bisa dibuat dalam berbagai macam rasa.”
            “Benarkah? Kalau begitu, kamu mungkin bisa membuatkan pepero manis untukku kapan-kapan.”
            “Untuk kemudian kamu bagikan kepada fans gilamu di kantor? Uh, jangan harap.”
            “Tentu saja tidak.” Kuikat lagi kantung plastik yang menyisakan dua pepero di dalamnya. “Untuk apa aku memberikan sesuatu yang sudah dibuat dengan susah payah untukku kepada orang lain secara cuma-cuma? Oh ya, caramel macchiato satu, Huki-chan. Siapa tahu pepero ini akan terasa lebih enak dengan macchiato penuh cinta darimu.”
            Bola mata gelap milik Huki berputar sempurna. “Pertama, membuat pepero tidak sulit. Kedua, apa yang aku tangkap dari omonganmu, kamu akan menjual pepero buatanku ke pada semua fansmu. Ketiga, aku tidak membuat macchiato dengan campuran cinta untukmu.”
            Aku hanya tertawa menanggapi Huki. Gadis ini…
***
            “Selamat tahun baru!” Huki sedikit membungkuk untuk memberi penghormatan begitu aku masuk ke dalam kedainya.
            Seringaian kecil tidak bisa kusembunyikan. Oh, oh. Gadis ini pasti tidak menyadari kalau aku yang datang. Karena kalau ia tahu, ia tidak akan membungkuk seperti itu.
            “Selamat tahun baru juga, Huki-chan!”
            Huki selesai membungkuk. Ia menyipitkan matanya dan dengusan kecil terkuar. “Aku kira bukan kamu yang datang.”
            “Sudah kuduga.” Aku tersenyum dan mendekati Huki yang sedang berdiri di dekat mesin pembuat kopi. “Macchiato dengan kayu manis, satu.”
            Untuk beberapa saat Huki terdiam dan memandangku dengan tatapan bingung. “Russ, aku sebenarnya sedikit heran.” Huki berdeham kecil dan melanjutkan. “Apa kamu tidak bosan dengan macchiato? M-maksudku, selama ini yang kamu pesan di kedaiku adalah macchiato. Aku belum pernah melihatmu memesan latte atau kopi hitam atau yang lainnya.”
            Aku mengangguk-angguk kecil dan balas menatap Huki. Aku tidak pernah mengira ia akan bertanya seperti ini. “Yang membuatku jatuh cinta padamu—maksudku  kedaimu—adalah macchiato-mu. Jadi, aku belum berpikir untuk memesan kopi dengan jenis lain di sini.”
            “Macchiato di De Supreme kurasa lebih enak—”
            “Bagiku macchiato di sini adalah yang terbaik.” Dengan cepat aku menyela sanggahan Huki. “Anyway, sadar atau tidak, ini adalah tahun keempat aku menjadi pelanggan setiamu.”
            Sekali lagi, Huki memandangku dengan tatapan bingung. “Benarkah? Empat tahun? Wow. Selamat.”
            “Ya.” Sedikit ragu aku melanjutkan. “Pertama kali aku datang ke sini, empat tahun yang lalu. Tepat saat tahun baru. Saat itu aku baru mengalami penolakan dari seorang perempuan. Itu adalah kali pertama aku mengalami penolakan selama hidupku.”
            Huki tertawa kecil dan mendorong pelan bahuku. “Aku ingat! Saat itu kamu datang dengan sebuah buket bunga mawar merah muda super besar. Astaga, itu adalah buket bunga terbesar yang pernah aku lihat.”
            “Dan kamu meminta buket bunga itu untuk kamu pajang di depan kedai.”
            Kini Huki tergelak. Ia sampai memukul pelan dinding kayu yang menghalangi tempatku dan gadis itu berdiri. “Aku mengambil dua mawar yang masih kecil dan menanamnya di rumah.”
            “Benarkah?”
            Ia mengangguk mantap. “Namun sayangnya, baru dua hari, mawar itu sudah mati. Aku saat itu yakin kalau kamu tidak memberi buket bunga itu dengan tulus.”
            Aku tidak mengacuhkan perkataan terakhir Huki. “Juga pada malam itu, aku memintamu untuk memberiku sesuatu yang bisa membuat rasa sakit hati hilang seketika. Dan kamu pun memberiku sebuah macchiato dengan kayu manis.”
            “Dan itu ampuh, bukan?”
            “Sangat. Terimakasih.”
            “Bukan masalah besar.” Huki cepat-cepat memalingkan wajahnya dan segera mengambil sebuah cup berukuran besar.
Keheningan menyelimuti beberapa saat. Keheningan yang sedikit janggal.
            Dengan sebuah dehaman, aku memecah keheningan yang tercipta. “Huki-chan.” Kulipat tangan di dada dan bersandar pada kayu pembatas.
            “Hm?”
            “Bagaimana kalau kamu menutup kedaimu lebih awal? Kurasa tidak ada salahnya kita menghabiskan malam ini bersama. Lagipula tidak akan ada yang datang ke kedai kopi pada malam tahun baru, kecuali orang yang sedang patah hati karena mengalami penolakan.”
            Senyum samar terbentuk sebentar di wajah Huki. “Aku tidak bisa, Russ. Aku ha—“
            “Sayangnya, aku tidak menerima penolakan, Sasazaki Huki. Letakan lagi cup itu. Dan mari kita menghabiskan waktu ber—oh tidak. Maksudku, mari kita berkencan.”
****

           
           
           

           
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar