[Dengan perubahan nama tokoh:-)]
Orang tua bilang hidup ini mudah, dan jika berubah menjadi sulit, maka
dirimu sendirilah yang membuatnya sulit. Tapi tidak bagi Sabh. Baginya, hidup
ini mudah, dan jika berubah sulit, maka dosenmulah yang membuatnya menjadi
seperti itu.
Sabh rasa dosennya tidak bisa lebih menyebalkan lagi. Oke, mungkin semua
mahasiswa akan merasa dosennya adalah dosen paling menyebalkan yang pernah
ada—apalagi kalau dia tidak pernah masuk tapi memberikan tugas seolah membuat
tugas itu semudah mencapai lantai 20 menggunakan elevator—tapi serius deh,
dosennya ini memang benar-benar menyiksa anak didiknya.
Gadis itu melirik jam dinding yang masih dengan setia menemaninya terjaga.
00:14. Bagus sekali. Lima jam sudah Sabh menghabiskan waktu untuk duduk di
depan laptop untuk mengerjakan tugas. Tapi nyatanya belum ada satu kata juga
yang ia ketik.
“Dosen sialan! Kalau sampai besok seluruh wajahku penuh dengan lingkaran
hitam, maka dia orang pertama yang akan aku lempar ke sungai!” Sabh mengutuk
habis-habisan Sir Clerks—dosen kebudayaan Inggrisnya.
Merebahkan diri barang sebentar mungkin bukan masalah?
Untuk pertama kalinya, bisa ia rasakan setiap otot-otot tubuhnya melenguh
lega begitu Sabh merebahkan diri ke karpet bergambar chicken little di
belakangnya.
Bisakah seseorang menghentikan waktu dan membiarkan aku seperti ini
selama beberapa hari? Atau beberapa minggu? Bahkan tahun, kalau bisa? Yang
jelas aku tidak ingin kembali ke kehidupanku yang benar-benar membosankan dan
monoton. Sabh memejamkan matanya, dan bisa dirasakan semilir angin malam
meniup permukaan kulitnya.
Tok…tok…tok.
Sabh terkesiap begitu mendengar ketukan pintu tiba-tiba menginterupsi
suasana tenang yang sedang melingkupinya. Ia sedikit memiringkan tubuhnya ke
arah pintu.
Oh, jangan bercanda. Siapa yang berani bertamu pada jam semalam ini?
Tok…tok…tok. Kini suara ketukan di pintu flat gadis itu menguat.
Si pemilik flat masih bergeming.
Buka pintu? Jangan? Buka pintu? Jangan? Bu—
Tok…tok…tok…tok. Kini Sabh yakin tetangganya bisa mendengar suara
ketukan pintu itu.
“Siapa orang gila yang bertamu tengah malam seperti ini?” Sabh bangun dan
merapikan pakaiannya.
Tok…tok. Frekuensi ketukan mulai berkurang, tapi tidak dengan suara
yang ditimbulkannya.
Dengan langkah tersendat, Sabh berjalan menuju pintu. Pikiran dalam otaknya
masih bergumul; mengira-ngira siapa yang mengetuk pintunya di tengah malam
seperti ini. Apakah manusia biasa? Petugas flat? Satpam? Atau makhluk dari
dimensi lain? Untuk opsi terakhir, Sabh berusaha mengenyahkannya jauh-jauh.
“Aku bisa hapkido. Aku bisa hapkido. Jika yang datang adalah orang jahat,
aku bisa menendangnya sampai remuk.” Berulang kali bibir Sabh membisikkan
kalimat itu.
Apa aku perlu mengambil teflon untuk berjaga-jaga? Ah jangan konyol, Sabh.
Bagaimana kalau dia membawa pistol dan sebelum kamu sempat memukul kepalanya,
dia sudah berhasil meledakan isi kepalamu terlebih dahulu?
Sabh bersembunyi di bagian belakang pintu. Tangannya sedikit bergetar, namun
perlahan bergerak merayapi daun pintu. Mau tidak mau ia harus membuka pintu
sebelum para tetangga mendatanginya dan mengusir ia keluar dari flat karena
dianggap membuat keributan.
Cklerk.
Dipejamkannya mata kanan gadis berperawakan sedang itu, dan ia mengintip
sedikit, menyembulkan kepalanya ke luar sehingga ia bisa melihat siapa
‘tamu’-nya.
Seorang pemuda—dengan tangan dilipat di dada dan tatapan tajam—berdiri di
depan pintu flat Sabh. Postur tubuhnya tinggi—terlalu tinggi untuk Sabh, sampai
Sabh menghilangkan kemungkinan bahwa ia akan mampu menendang siapapun yang
mengetuk pintu flatnya sampai remuk—dan sebuah earring tertindik jelas di
telinganya.
Demi Tuhan! Jangan bilang kalau dia anggota gangster yang datang untuk
melakukan hal buruk!
Pemuda itu maju satu langkah. “Astaga!” Dia kini hanya berjarak dua langkah
dari Sabh. “Apakah kamu keturunan siput atau semacamnya? Sebegitu sulitnya kah
membuka pintu? Atau kamu berjalan dengan menggunakan tangan? Tidakkah kamu tahu
di luar sini dingin?” Tiba-tiba dia merangsek masuk dan menutup pintu dengan
menggunakan kakinya.
Jemari Sabh masih memegang daun pintu. Malah sekarang pegangannya sedikit
menguat. Badannya terdorong mengikuti gerakan pintu yang dengan kasar ditutup
pemuda itu. Pikiran Sabh kini terbagi; antara ingin menendang pemuda tidak tahu
sopan santun yang tiba-tiba masuk ke rumahnya ini atau berlari ke luar dan
meminta pertolongan pada bagian keamanan.
“Ah, Bodoh. Bagaimana mungkin aku lupa memerkenalkan diri!” Pemuda tadi berdecak
dan berbalik menghadap Sabh. Refleks, Sabh mundur beberapa langkah dan menatap
sosok di hadapannya dengan waspada. “Aku Raekh.” Dia menganggukan kepalanya
sedikit.
Kening Sabh berkerut. “Aku bahkan tidak bertanya siapa kamu.”
Raekh tertawa kecil—terdengar menyeramkan di telinga Sabh. “Bukankah tidak
sopan jika aku akan tinggal di sini tapi tidak memerkenalkan bahkan nama
sekalipun padamu, Sabh?”
Pegangan Sabh pada daun pintu terlepas. Apa ia tidak salah dengar? Tinggal
di sini? Di sini? Di flatnya? “Apa maksudmu kamu akan tinggal di sini? Dan
bagaimana bisa kamu tahu namaku? Aku tidak mengenalmu, jadi tolong jangan sok
kenal. Sekarang aku hitung sampai tiga, kalau kamu belum ke luar dari flatku,
aku akan berteriak sehingga tetanggaku terbangun dan mereka akan mengusirmu
dari sini. Satu, du—”
Sekarang giliran kening Raekh yang berkerut. “Aku tidak mengerti apa yang
kamu bicarakan.” Raekh menyela cepat hitungan Sabh sebelum gadis itu berteriak.
“Aku tahu namamu karena Dewan Keamanan memberi tahuku kalau aku akan tinggal di
sini, di tempat ini. Tempat milik seorang mahasiswi bernama Sabhrina. Dan aku yakin kamulah Sabhrina itu.”
“Dewan Keamanan? Dewan Keamanan apa? PBB? Oh astaga, aku yakin sekarang aku
sedang bermimpi.” Dengan konyol Sabh memejamkan matanya. “dan aku tinggal
memejamkan mataku sehingga aku bisa bangun dan menertawakan semua omong kosong
ini.”
Kerutan di kening Raekh semakin dalam. Apa gadis di depannya ini mengalami
gangguan?
Setelah beberapa detik, Sabh membuka matanya.
Tidak. Masih sama.
Ia pun memejamkan matanya lagi. Kemudian membukanya. Memejamkan lagi.
Membukanya lagi. Memejamkannya lagi dan lagi. Membukanya lagi dan lagi.
Melihat tingkah Sabh, Raekh tidak bisa untuk tidak tertawa. “Ini bukan
mimpi, Nona .”
Sabh mengepalkan tangan dan menyentuh keningnya. Ia menepukan kepalan
tangannya ke kening beberapa kali. Ia yakin ada yang salah dengan sistem kerja
otaknya.
“Baiklah, biar kujelaskan. Aku tahu kamu belum mengerti siapa aku dan untuk
apa aku datang ke sini,” Raekh berjalan mendekati Sabh. “tapi akan lebih baik
kalau kita duduk. Kakiku pegal menunggu kamu membukakan pintu untukku tadi.”
****
Sabh masih menatap pemuda yang mengenalkan diri dengan nama Raekh itu dengan
pandangan kalau-kau-berani-macam-macam-aku-akan-mengirimmu-ke-neraka. Kini ia
duduk berhadapan dengan Raekh. Kursi tempat mereka duduk terhalang sebuah meja
kecil berbentuk oval dengan taplak kemerahan.
“Jadi begini,” Raekh menghela napas dan menghembuskannya perlahan. Seolah
apa yang akan diucapkannya nanti tidak akan memberi dia izin untuk bernapas.
“aku Raekh. Aku datang dari tahun 2306 dan aku diberikan sebuah misi oleh Dewan
Keamanan—“
“Apa?!” Sabh tanpa sadar memotong penjelasan Raekh. “misi? Dewan Keamanan?
Apakah kamu gila?! Tidak, tidak. Tolong katakan sejujurnya padaku, Raekh. Sudah
berapa lama kamu mengalami gangguan kejiwaan? Di mana tempat rehabilitasmu?
Rumah Sakit Jiwa di jalan Exopink? Atau Panti Rehabilitas Jiwa di jalan Super
Generation? Biarkan aku mengantarmu pulang ke sana.” Sabh bersiap untuk
berdiri, namun tatapan super tajam Raekh membuatnya mengurungkan niat itu.
“Tolong dengarkan penjelasanku dulu, Sabh.” Raekh melipat tangannya. “Dan yang
perlu kamu ingat, aku tidak gila. Apa yang akan aku jelaskan atau yang sudah
aku katakan padamu, semuanya nyata.”
“Tapi bagaimana mungkin kamu—“
“Oh Demi Shakespeare yang sudah tenang di alam sana, kenapa Dewan Keamanan
harus mengirimkanku ke sini. Ke tempat dengan gadis yang keras kepala.” Raekh
memejamkan matanya dan desahan kesal meluncur dari mulutnya.
“Ba-baiklah. Aku mendengarkan.” Sabh membenarkan posisi duduk, dan meremas
kuat-kuat ujung piyama chicken little-nya.
“Aku bingung aku harus mulai dari mana. Aku rasa kapasitas otakmu tidak akan
bisa menampung penjelasan intiku.” Raekh terlihat berpikir keras. “Begini.
Dengarkan dan pahami baik-baik. Zaman sudah semakin menggila. Orang-orang di
masa depan—termasuk aku—semakin banyak yang tidak puas dengan apa yang mereka
miliki, dan kami berpikir kalau masa lalu—atau masa yang sudah
lewat—memengaruhi masa depan. Termasuk, apa yang orang-orang masa lalu lakukan
akan memengaruhi kehidupan kami di masa depan.” Raekh menelan ludah, dan
melanjutkan. “dan karena dasar pemikiran itu, akhirnya orang-orang masa depan
membentuk sebuah organisasi untuk mengurus hal-hal yang berhubungan dengan masa
lalu. Kami menyebutnya TOTP—To Overcome The Past. Aku adalah anggota
keamanan yang baru diangkat minggu lalu. Dan sialnya aku langsung mendapat misi
besar.”
Sabh menggigit bibir bawahnya. Jujur, ia tidak sepenuhnya paham apa yang Raekh
katakan. Anggota keamanan? Apa Raekh satpam? Sebegitu pentingnya kah masa lalu
di masa depan hingga dibentuk organisasi macam itu? Kenapa dia bisa datang ke
masa lalu—jika dia benar datang dari tahun2306—? Misi apa? Kenapa dia mendapat
misi? Siapa yang memberinya misi? Dan yang terpenting,
kenapa Raekh diharuskan tinggal di flat-ku?
****
(Akhir cerita satu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar