Sabtu, 09 November 2013

Original Fiction: Koaksial


Aku tidak bisa menjadi satu dengannya.
Karena kami, aku dan dia, berputar pada poros yang sama.
Kami koaksial.
Tidak saling melengkapi.
Atau saling memberi arti.
***
Aku tidak pernah melihat dia sebelumnya.
Sebelum dia muncul di hadapanku. Tepatnya, di acara seminar WWF beberapa waktu silam.
Waktu itu dia datang terlambat, sehingga menyita perhatian orang banyak termasuk aku. Tinggi badannya yang di atas rata-rata, rambut legamnya yang dibiarkan berantakan namun tetap terlihatehemsensual, dan wajahnya yang, walaupun bukan wajah tertampan yang pernah kulihat, akan membuatmu dua kali menengok begitu dia melintas, membuat orang lain di dalam ruangan seminar berbisik satu sama lain.
Terkecuali aku.
Karena percaya atau tidak, saat itu aku terlalu sibuk mengikuti setiap pergerakan yang dibuatnya. Kurasa profilnya menyimpan magnet yang memiliki kutub berlawanan dengan kutub pandanganku.
"Maaf, saya telat. Masih bisa ikut, 'kan?" Tanyanya pada pembicara, dalam suara yang amat-sangat rendah namun masih dapat terdengar olehku. Sepadan dengan wajahnya yang terlihat seperti tetanggaku ketika ia marah saat anak-anak kompleks terus menekan bel rumahnya yang unik karena berbentuk kepala rusadingin dan malas.
"Tentu." Si Pembicara yang kebetulan seorang perempuan menjawab kurang acuh. Sepertinya hanya ia satu-satunya wanita yang tidak mengacuhkan lelaki-dengan-suara-rendah itu.
Si Suara Rendah kemudian mengedarkan pandangannya ke arah kursi peserta. Tatapannya berkeliaran, mencari spasi untuk tempatnya duduk.
Dan, voila! Bolehkah aku bersyukur karena hanya kursi di sebelahku yang tak bertuan?
Tanpa dikomando, dia berjalan ke arahkuke sebelahku lebih tepatnya. Semakin mendekat, aku semakin kesulitan bersikap biasa. Konyol memang. Tapi dengan sok menjaga imej, aku memfokuskan konsentrasiku pada Si Pembicara yang mulai kembali bercuap.
Begitu suara kursi diduduki terdengar, impuls aku menoleh ke arahnya. Dan pandanganku disambut wajah Si Pemuda yang tersenyum--walau belum bisa dikualifikasikan sebagai senyum, karena ia hanya sekedar mengangkat kedua ujung bibir tanpa ada kerlingan senyum terefleksi pada irisnya.
"Keganggu, ya? Sorry."
Waktu itu aku cepat menggeleng. "Nggak kok. Lo gak ganggu."
"Syukur deh."
Tak disadari, aku terus menatap lawan pembicaraku. Gee, salahkan syaraf otakku yang kemungkinan besar njelimet karena mengalami goncangan dadakan.
"Concern sama binatang juga?"
Pertanyaannya mengempaskan pemikiranku yang sedang berkelana ke alam bawah sadar. Terima kasih sudah bertanya lebih dulu, Tuan.
"Yeah, begitulah. Lo juga pasti. Karena gak mungkin lo ada di sini kalau nggak ada empati sama binatang."
Ia tersenyum, lagi. Namun kini jenis senyum yang memperlihatkan deretan gigi dan sedikit bagian gusi kemerahannya.
Aneh, tapi tanpa alasan yang jelas, aku menyukai gummy smile kepunyaan Si Pemuda. Senyum itu dapat membuat ekspresi wajahnya berubah. Lebih bersahabat dan membuatku ingin terus-menerus melihatnya. Alhasil, anggapanku semula tentang sosoknya yang dingin kemudian berubah total.
Panggil aku gila. Tapi sejak saat itu secara mental kudeklarasikan; he's my crush.
***
Kevin Wu berdiri di seberang jalan.
Tangannya melambai-lambai, meminta atensi yang sebenarnya sudah dia dapatkan. Menunggu traffic light menemaramkan warna hijau dan menggantinya dengan merah, dia mengambil ponsel dari saku levi's-nya.
Beberapa detik setelah Kevin meletakan kembali ponselnya pada tempat semula, sekarang giliran aku yang mengambil ponsel karena benda tersebut bergetar dua kali; menandakan ada pesan masuk.
Tunggu gue. Bisa kita mampir dulu ke Starbucks, huh?
Jadi tadi dia mengirimiku pesan?
Kuputuskan untuk tidak membalas pesan Kevin, dan bergeser beberapa langkah menuju tempat yang tidak terlalu ramai sembari menunggu. Sebenarnya aku tidak sengaja bertemu dengan Kevin. Hari ini jadwalku adalah kelas pagi dan berakhir pada pukul 11. Sementara Kevin tidak ada kuliah, dan ini adalah waktunya pergi ke sebuah restoran sebelah Starbucks di pusat kota, tempatnya bekerja paruh waktu.
Lucunya, ternyata aku dan Kevin berada dalam kampus yang sama, meski fakultas yang kami ambil berbeda. Tapi itu bukan hal aneh sebenarnya. Di kampus yang lebih dari sekedar luas tidak mungkin aku pernah memerhatikan seluruh mahasiswa atau mahasiswi satu-persatu. Termasuk memerhatikan Kevin Wu yang fakultasnya cukup jauh dengan fakultasku.
Dua bulan lima belas hari berlalu semenjak perkenalan pertamaku dengan Kevin Wu, orang yang dulu kusebut sebagai 'Si Pemuda' dan 'orang-yang-bersuara-rendah'. Komunikasi kami berlanjut dengan saling bertukar email, hingga nomor ponsel. Pembicaraan yang semula itu-itu saja--umumnya dulu kami selalu menyertakan topik WWFsekarang berkembang menjadi banyak hal, sampai rasanya selalu ada bahan obrolan tiap kami bersua.
Saat ia memperkenalkan namanya, aku sedikit menyernyit. Marga 'Wu' bukan nama yang umum digunakan atau sering kudengar, dan jelas-jelas berbau oriental. Tapi aku sama sekali tidak melihat sedikitpun gurat keturunan Cina dalam sosoknya. Atau bahkan aksen Mandarin yang semestinya ia tunjukkan.Tapi peduli apa aku tentang dialek dalam obrolannya? Atau rasa ketimuran yang dimilikinya? Atau bahkan bagaimana cara ia memandang orang lain: terlihat seperti meremehkan, walau aku tahu maksudnya tidak seperti itu. Dalam kurun waktu 75 hari aku merasa seperti telah mengenal Kevin selama 7,5 tahun. Berlebihan? Baiklah, mungkin sedikit.
Ada banyak hal yang terasa familiar tentangnya--meski aku tidak paham bagaimana aku bisa merasakan hal macam itu. Caranya menyerukan namaku, gummy smile-nya yang sejauh ini jadi senyum favoritku, sebuah bekas tindikan di daun telinga kanannya yang tidak mau ia akui, atau cara kedua alisnya yang menarik perhatian bertaut saat ada sesuatu yang tidak sesuai dengan ekspektasinya; semuanya terasa familiar. Dan aku sedikit curiga apakah di kehidupan sebelumnya aku memiliki sesuatu yang berhubungan dengan Kevin?
Tapi di atas itu semua, ada yang menjadi prioritas utama. Yaitu kehadiran Kevin Wu itu sendiri.
"Ehem."
Kontan aku mendongak saat suara dehaman yang sudah sering kudengar menyeruak. Kevin sudah berdiri di hadapanku, mengintimidasi tinggi badanku dengan miliknya.
"Pagi-pagi udah ngelamun aja." Kevin menjentikkan telunjuk dan jari tengahnya ke keningku yang telanjang.
"Siapa yang ngelamun," Kilahku, menolak pengakuan bahwa sebenarnya aku memang sedang mengawang, dengan dirinya sebagai objek lamunan. "lagian sekarang udah siang, tau."
Ia mengangguk, walau tak terlalu mengindahkan jawabanku. "Green tea di Starbucks?"
"Uh-uh." Aku sengaja mnggeleng terpatah. "Hari ini jadwal untuk bierock dan bossche bol di D'Pastrie. Starbucks mah besok-besok lagi aja. Duit gue seret nih."
Aku mulai berjalan, sembari memastikan kalau Kevin ikut menginjak setiap jejak yang kutinggalkan.
"Tapi 'kan gue ngajak lo ke Starbucks. Bukan ke D'Pastrie." Dengan bagin belakang kepalaku, dapat kulihat kerutan di kening Kevin yang membuat kedua alis tebalnya makin menukik.
"Lusa kemarin kita baru dari sana, Vin."
Kini langkah Kevin menyejajariku. Mudah baginya, mengingat dua langkahku sama dengan satu langkahnya. "Lagi-lagi gue yang ngalah."
Terus berjalan, aku menyempatkan diri menoleh dan melayangkan tatapan semanis yang kubisa. "My treat, deh."
"Katanya duit seret. Dasar."
Sebagai jawaban, aku cuma terkikik tanpa memberi barang sesekon lirikan padanya.
***
Kevin pecinta green tea. Dia tidak terlalu menyukai kopi, tapi selalu mengajakku pergi ke Starbucks pada hari-hari kerjanya di restoran.
Kevin juga menyukai hujan. Berbanding terbalik denganku. Menurutku, hujan adalah kumpulan anugerah dari Tuhan, yang sayangnya mengakibatkan kebisingan dan kesusahan: tidak bisa pergi ke mana-mana tanpa terhindar dari lembabnya air alam itu. Sedangkan menurut Kevin, hujan itu menyenangkan. Karena akan mempermudahnya untuk terlelap. Ah, apa aku sudah memberitahu kalau Kevin adalah heavy sleeper?
Hari ini hujan. Aku dan Kevin terjebak di Starbucks tempat kami biasa menghabiskan waktu. Kebetulan, restoran tempat Kevin bekerja untuk hari ini tutup, sehingga ia tidak perlu khawatir Si Pemilik Restoran akan memotong bayarannya karena telat datanguh, dia bilang dia suka hujan, tapi enggan untuk berbasah kuyup untuk beranjak menuju tempat kerjanya, benar-benar tidak konsisten.
"Vin," Aku memecah keheningan yang menyelimuti kami selama lima menit terakhir. Kevin sedang terlalu asyik memandangi titik-titik air hujan yang menabrak dinding kaca, dan tenggelam dalam derai ketipak-ketipuk yang mengalun, menciptakan ketukan harmonis.
"Hm?" Tanyanya, tanpa mengalihkan pandangan dari luar Starbucks. Mau tak mau aku ikut memandangi objek pandang Kevin: berjubel orang sedang berteduh di seberang jalan, sementara jalanan sendiri agak lengang, karena para pemilik kendaraan bermotor terlalu sayang membiarkan alat transportasi mereka diciumi air hasil kondensasi tersebut.
"Kenapa sih lo ngerokok?"
Apa yang kutanyakan sekiranya menarik perhatian Kevin. Buktinya, fokus Kevin teralihkan padaku.
Sebelum menjawab, jemarinya bergerak perlahan, menggerayangi cangkir berisikan hot latteccino yang tidak seperti biasanya ia pesan. "Maksudnya?"
"Ya, sayang aja," Aku ikut menyesap Italian espresso, yang sudah dituangkan satu sachet penuh gula, milikku. "sayang banget lo ngerokok. Orang ngerokok itu egois. Masa' nyuruh orang lain ngisep asap rokok juga."
Kedua manik Kevin terkunci dengan tatapanku. Warna hazelnut yang kelamaan berpendar, membuatku jadi ingin membeli cadburry black forrest secara tetiba. "Pernah denger quotes-nya Lana Del Rey?"
Berpikir sejenak, aku berusaha mengingat pernahkah kudengar selentingan quote dari pemilik bibir keriting itu.
Perlahan, aku menggeleng. Penasaran dengan apa yang akan Kevin katakan selanjutnya. Umh, terkadang dia memang banyak kejutan.
"’Merokok memang buruk. Tapi alasan yang membuatku merokok jauh lebih buruk’." Kevin mengutip quotes yang kuyakini dideklarasikan oleh Lana Del Rey, yang tadi ia sebutkan, dan memiringkan kepalanya kurang dari 30 derajat. Apakah ini hanya pengelihatanku saja tapi ia terlihat menyunggingkan senyum juga miring dan sarat akan makna. "Seorang Lana Del Rey yang seksinya mana ada aja bilang gitu."
"Ih, dasar cowok." Aku memutar bola mata risih.
Residu senyum di bibir Kevin masih terlihat. Beberapa detik kemudian ia membuka mulut, pasti hendak mengatakan sesuatu. Namun urung karena ia kembali mengatupkan indera pembicaranya.
"Apa?" Kini giliran aku yang memiringkan kepala.
Kevin menarik napas sekali. Cukup panjang untuk respirasi normal. "Apa hal terburuk yang pernah terjadi sama lo?"
"Hal terburuk?" Kuulang pertanyaan Kevin.
"Yeah," Ia menaik-turunkan kedua alisnya. "yang menurut lo paling buruk dari semua kejadian buruk yang pernah lo alami."
Mengais memori di setiap sudut frontalisku, aku meraba-raba ingatan yang terburuk yang pernah kurasakan.
Tidak punya uang tersisa padahal masih tanggal muda? Dimarahi dosen karena kerap mengganggunya dengan pertanyaan-pertanyaan bodoh? Lupa menjilid makalah yang sudah tempo hari selesai padahal deadline-nya jatuh pada hari itu? Atau-
"Orang tua gue cerai." Tanpa sadar aku menggumam. Berhasil menggenggam ingatan terburuk yang kupunya. Ingatan yang sebenarnya tidak layak jadi ingatan, karena hanya menambah beban.
"Orang tua lo...?" Kevin tidak melanjutkan pertanyaannya.
Sadar kalau Kevin mendengar gumamanku, aku langsung mendongak dan menemui sorot tatapan Kevin. "Hu'uh." Aku hanya mampu mengangkat bahu.
"Sorry." Ia berkata, sama pelannya dengan jawabanku tadi.
"Biasa aja, kali." Kupaksakan untuk tertawa, meski pasti terdengar hambar. "Cuma cerai ini kok. Gak lebih."
Ia tersenyum kecil. "Gue juga anak broken home kok."
"Hah?" Refleks, aku membelalakan mata, meneriakkan 'lo serius' melalui gelombang elektromagnetikn berupa sorot tatap.
"Tapi itu bukan sesuatu yang penting," Cepat-cepat ia menambahkan. "boleh gue tau kenapa orang tua lo cerai?"
Sekali lagi, pertanyaan yang tidak terduga.
Aku yakinsangat yakinKevin sebenarnya bukan tipikal orang yang usil dengan masalah orang lain. Juga, aku sendiripun tidak terlalu keberatan untuk menceritakan masalah yang seyogianya sudah malas untuk kuungkit. Meski aku ingin bertanya lebih lanjut tentang orang tua Kevin, aku mengurungkannya. Ia bisa bercerita nanti, saat ia memang ingin melakukannya.
"Masalah ekonomi. Gue juga gak taudan gak mau taudetailnya. Yang jelas, itu alasan mereka untuk bercerai."
Kevin tidak bereaksi. Tidak ada anggukan yang menandakan kejelasan, gelengan yang menunjukkan simpati, atau kata-kata yang menyuarakan penghiburan. Setidaknya ini adalah respon terbaik. Aku tidak mau orang-orang menghujamiku dengan rasa kasihan atau sebagainya begitu aku selesai menceritakan masalah ini. Toh bercerai bukan berarti mereka benar-benar pergi dari hidupku, 'kan?
"Lo sendiri," Aku memajukan kepala, sehingga mampu menatap Kevin dengan sangat jelas. Aku perlu tahu hal serupa, yang dirasakan Kevin. "apa hal terburuk dalam hidup lo?"
Lawan bicaraku ikut-ikutan memajukan wajahnya. Gosh. Wajah kami berjarak beberapa senti-mili, dan aku tidak bisa untuk tidak tersipu. "Kalau gue bilang hal terburuk yang pernah terjadi dalam hidup gue, gue takut lo nanti ngejauh dari gue."
Sedikit terkejut, aku mengembalikan posisiku seperti semula: bersandar pada sofa. Memangnya hal buruk seperti apa yang terjadi pada Kevin sampai ia takut aku akan menjauhinya? "Ya ampun, Vin. Gak bakal, lah. Emangnya hal terburuk itu apa? Lo pernah jadi bandar narkoba? Pernah jadi penculik gadis-gadis di bawah umur? Lo mantan copet di terminal?"
Tidak ada tawa terkuar, maupun decakan kesal diberikan Kevin. Meski aku juga tidak mengharapkan keduanya.
"Serius deh, Vin. Gue jadi penasaran. Jujur aja. Gue juga udah jujur kan sama lo." Aku berusaha meyakinkan Kevin dengan melembutkan nada suaraku. Apapun itu masa lalunya, yang jelas aku harus tahu. Kevin sudah terlanjur menyebutkan sepercik hal terburuk dalam hidupnya dan aku tidak mau ditinggalkan dalam keadaan penasaran.
"Tapi janji ya lo gak akan jadi jauh sama gue?" Tanyanya mirip keponakanku yang berusia 5 tahun.
Buru-buru aku mengangguk. Terlalu bersemangat dengan fakta baru yang akan segera kuterima. "Gue janji, Kapten."
Kevin kembali mendesah. Desahan yang sama seperti sebelumnya: panjang dan dalam. Ini hanya membuatku semakin dicekik rasa penasaran. Memang sebegitu buruknya kah hal yang akan ia beritahu padaku?
Mendadak, terselip sedikit rasa ketidakingintahuan.
Bagaimana kalau ternyata hal yang akan Kevin jelaskan itu lebih buruk dari sekedar buruk? Bagaimana kalau itu akan mengubah cara pandangku padanya? Bagaimana kalau ternyata penjelasan Kevin hanya akan membuatku ingin berjarak dengannya? Bagaimana kalau-
"Hal terburuk dalam hidup gue," Kevin menggantung ucapannya sekaligus menginterupsi pertanyaan-pertanyaan yang melintas dalam pikiranku. Ia menghujaniku dengan tatapan khas miliknya yang intens pun merojok sampai ke bagian terdalam tubuh. Seolah hanya aku objek yang bisa ia lihat saat ini.
Tanpa sadar aku menelan ludah.
"adalah ketika gue gak lagi mempunyai perasaan untuk makhluk bertitel perempuan."
***
Kevin Wu.
Aku baru mengenalnya kurang dari setahun.
Dimulai dari seminar WWF, berlanjut ke beragam sudut di kota tempat kami tinggal.
Dan pada bulan keempat lebih tujuh belas hari, ia memberitahuku rahasia terbesar dalam hidupnya. Rahasia yang sama sekali tidak pernah kusangka ia miliki. Rahasia yang pada awalnya kukira akan mengubah keseluruhan pandanganku tentang lelaki paling tinggi yang pernah jadi temanku ini. Rahasia yang, entah karena apa, membuatnya tetap terlihat sama di mataku meski seharusnya tidak.
Orientasi seksual bukan sesuatu yang akrab denganku. Bahkan mungkin, ini kali pertama untukku berhadapan dengan masalah semacam ini.
Sore itu, di kedai Starbucks sebelah restoran tempat Kevin bekerja, ia membeberkannya. Membeberkan apa yang sebetulnya tak ingin kuketahui, dan saat itu kusesali karena mengetahuinya.
"Lo...." Aku tidak bisa melanjutkan kata-kataku. Semua yang ada dalam pikiranku; siapa lelaki di hadapanku, di mana kami berada, dan tektek bengek lainnya seolah berevaporasi, bersama dengan air laut yang sudah bertransformasi menjadi hujan yang hingga sekarang masih setia menjadi penonton melalui dinding kaca.
Tuhan, apa yang harus aku katakan? Yang dikatakannya itu hanya sekedar lelucon atau memang kenyataan?
"Yeah." Kevin tertawa, namun kepahitan terasa bergema dalam tawanya. "Gue lebih suka barista cowok dibanding yang cewek di pojok sana."
Aku tak perlu menoleh untuk melihat apa yang dimaksud Kevin.
Dan aku juga tak ingin menoleh untuk membuktikan pernyataan yang tengah bergumul di kepalaku: Man, he ismy oh-so-crusha gay!
"Hey," Ia menyikutku dengan kelembutan dalam suaranya. "jangan diem gitu, dong. Omongin sesuatu kek. Tuhkan gue bilang apa, lo pasti jadi pengen ngejauh dari gue."
Seharusnya aku memang bersuara, mengatakan sesuatu yang bisa meyakinkannya kalau tidak ada barang setitikpun yang berubah mengenai Kevin di mataku.
"Gue..." Aku menggigit bibir bawah, menyalurkan rasa bingungku pada sesuatu yang setidaknya tidak akan membuatku kelimpungan. "Gue bingung, Vin. Gue gak nyangka. Gue kaget." Ujarku tanpa menatap Kevin.
Kevin menyentuh ujung daguku dengan telunjuknya. Memaksaku mendongak dan menatapnya, tepat di iris yang selalu sukses membuatku menggeretakan gigi. "Sorry. Tapi gue rasa lo perlu tau tentang ini. Gue tahu lo suka sama gue."
Ada yang tahu hari ini hari apa? Kenapa kelihatannya banyak kejutan yang kudapat walau sekarang bukan ulang tahunku.
"Apaan sih Vin." Aku tak mengindahkan kata-kata Kevin. Maaf maaf saja, tapi aku tidak mau membiarkan fakta bahwa aku menyukai Kevin menamparku, tepat di wajah.
"Well, itu baru hipotesis gue. Sejak awal kita ketemu, pertemuan-pertemuan di Starbucks, di depan kampus kita, dan pertemuan lainnya, gue rasa itu bisa jadi bukti yang cukup." Kevin menyeringai tipis. Seringai yang kusukai, meski kadang terlihat menyebalkan.
Aku menyipitkan mata. Mengaburkan pandanganku bersama visualisasi Kevin. Membuatnya dikelilingi bayangan hitam.
Apa mungkin aku harus berhenti berpura-pura?
Sebelum menjawab, helaan napas mendahului. Make it classy, and not slutty. "Oke, gue berhenti berpura-pura." Jawabku, seolah itu bukan sesuatu yang besar. Walau sebenarnya aku ingin pergi dan bersembunyi di kolong kasur sampai millenium baru datang. "Gue...suka lo." Sambungku, sedikit ragu.
Aku mengharapkan jawaban, entah itu sekedar 'oh' atau apapun itu, dari Kevin. Tapi bukannya menjawab, ia tetap menatapku. Dan aku merasa ditelanjangi dengan tatapannya.
Oh, mungkin lebih dari sekedar ditelanjangi. Karena sekarang aku merasa Kevin tengah menyorotkan sinar gamma yang berfrekuensi lebih dari sepuluh pangkat duapuluh Hertz tepat ke tiap inci bagian tubuhku.
"Jangan." Sahut Kevin pendek.
Aku mengerutkan kening dan menatap Kevin bingung. Jangan? Jangan apa?
"Jangan suka gue." Bak mampu membaca pemikiranku, ia melanjutkan ucapannya.
Ini adalah pertama kalinya pembicaraan antara aku dan Kevin menyertakan topik 'kami' di dalamnya. Sedikit canggung, tapi aku rasa ini memang perlu dilakukan; pertama untuk mencegahku berharap secara berlebih, dan kedua, agar aku tidak menyalahartikan segala treat Kevin selama ini.
Uh, kenapa segala sesuatunya bersubjek padaku?
"Kenapa?" Hanya itu yang mampu aku tanyakan.
Inginnya sih aku meluapkan segala hal yang mengganjal yang merengek minta dikeluarkan. Tapi menurutku ini bukan saat yang tepat untuk terburu-buru.
"Karena," Terdiam sejenak, Kevin menelan saliva, dan aku harap-harap cemas menunggu apa yang akan dikatakannya. "gue gak mau bikin lo sakit hati. Buat apa lo tetep suka sama orang yang gak akan mungkin suka sama lo?"
O-oh.
Dalam waktu satu persejuta sekon, mendadak aku merasa dadaku ditimpa sekumpulan binaragawan yang rutin berlatih di gym samping kost-anku.
'Buat apa lo tetep suka sama orang yang gak akan mungkin suka sama lo?'
Pertanyaan itu secara otomatis menggema berulang-ulang di kepalaku. Bagai suara teriakan Tarzan di dalam gua.
Apa ini yang dinamakan penolakan? Seorang perempuan, ditolak lelaki? Oh, pride. 
Bahkan aku ditolak sebelum genap mengatakan sepuluh kata? Apakah rasanya ditolak itu memang seperti inibingung, malu, kecewa, dan segala perasaan buruk yang pernah aku dengar, ditempa jadi satu?
Terlalu banya pertanyaan berkecamuk. Urgensi untuk menelan bulat-bulat Kevin di hadapanku pun harus mati-matian kuhentikan.
"Gue gak minta lo untuk balik suka sama gue kok."
"Jangan naif. Mana bisa lo bertahan suka sama seseorang tanpa berharap perasaan lo dibalas?" Kata-kata itu meluncur dengan ringannya.
Kembali, aku menggigit bibir. Seketika aku menyesali diriku yang memaksa Kevin untuk menceritakan hal terburuk dalam hidupnya. Menyesali kenapa aku harus menjawab pertanyaan yang sama sebelumnya. Dan menyesali pertemuanku dengan Kevin empat bulan lalu.
"Bukan maksud gue untuk kasar," Mendadak jemariku terasa berat. Dan ketika kulirik, ternyata jari-jari panjang Kevin sudah tersampir di atasnya. Rasa hangat akibat kontak tersebut menjalar sampai ke bagian abdomen. Tapi sungguh, sekarang tidak ada waktu untuk tersipu. Maka dari itu, dengan lembut kugerakan telapak tanganku, menjauhi buku jemarinya. "gue cuma gak mau bikin orang yang mulai terasa penting buat gue jadi sakit hati."
Sweet talker. Bagaimana bisa dalam waktu empat bulan seseorang menjelma menjadi sosok yang penting di hidupmu?
Walau akselerasi degup jantungku sedikit meningkat karena ucapannya, aku berusaha mengenyahkan percikan rasa senang itu. There's no time for this, Girl.
"Jadi?" Tanyaku, tak jelas mempertanyakan apa. "gue harus berhenti suka sama lo?"
Rasanya aku seperti baru mengunyah melinjo mentah dan meludah beberapa sekon setelahnya. Kata-kata yang kurasa pahit, namun memang harus aku keluarkan.
"Mungkin."
"Kasih gue kepastian." Aku memutar bola mata mendengar jawabannya yang tidak memuaskan.
"Gue udah kasih lo kepastian," Ia melenguh, bingung. Terdengar sama bingungnya denganku. "gue udah bilang kalau gue gak akan mungkin suka sama lo. Apa harus gue bilang dengan jelas kalau gue gak tertarik sama perempuan?"
Caranya mengucapkan kalimat terakhir membuatku secara mental terjerembab dan mencium lantai Starbucks. Rasanya seperti ada seseorang yang mengambil paksa tulang betis juga keringmu, sehingga kaki pun terasa lemas dan yang ingin kamu lakukan hanya berbaring.
"Gimana kalau gue gak bisa berhenti suka sama lo?" Jika tadi Kevin yang berkelakuan seperti anak kecil, kini giliranku yang melakukannya. Siapapun tahu perasaan seseorang akan sulit berubah secepat kedipan mata.
Kevin menghela napas keras-keras, dan menyapukan jemari pada rambutnya secara asal. Membiarkan tatanannya berubah jadi sedikit berantakan.
Mengapa jadi dia yang terlihat frustasi? Semestinya aku yang sekarang menjambak sejumput rambutku karena baru saja dihadiahi fakta bahwa gebetanku...uh, begitulah.
"Oke, kalau gitu jangan." Ia menurunkan kembali tangannya seperti semula.
"Jangan dan jangan. Apa lo baru belajar kata itu?" Aku tak bisa untuk tidak berkomentar.
Tadi dia bilang aku tidak diperbolehkan menyukainya. Tapi begitu kutanyakan apa yang harus kulakukan, dia melarangku berhenti menyimpan rasa padanya.
Is he that kind of bi-polar or what?
"Kalau lo gak bisa berhenti suka sama gue, maka jangan berhenti suka sama gue."
"Yeah, memangnya lo pikir perasaan gue macam saluran televisi yang bisa diatur seenak jidat?"
Kevin tersenyum mendengar komentarku yang kesekian. Namun senyumnya hanya bertahan satu detik.
Ia kemudian berdeham sebelum melanjutkan, "tapi coba berusaha, bikin gue suka sama lo."
Seiring dengan pungkasan kata Kevin, aku bisa merasakan seseorang sepertinya sudah menendang duniaku. Membuatnya penyok, dan terjungkir ke segala arah.
Juga membiarkannya terlempar dari orbit kewarasan.
Ini gila. Sangat gila.

-satu-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar