Aku tidak bisa menjadi satu
dengannya.
Karena kami, aku dan dia, berputar
pada poros yang sama.
Kami koaksial.
Tidak saling melengkapi.
Atau saling memberi arti.
***
Aku tidak pernah melihat dia
sebelumnya.
Sebelum dia muncul di hadapanku. Tepatnya,
di acara seminar WWF beberapa waktu silam.
Waktu itu
dia datang terlambat, sehingga menyita perhatian orang banyak termasuk aku.
Tinggi badannya yang di atas rata-rata, rambut legamnya yang dibiarkan
berantakan namun tetap terlihat–ehem–sensual, dan wajahnya yang, walaupun
bukan wajah tertampan yang pernah kulihat, akan membuatmu dua kali menengok
begitu dia melintas, membuat orang lain di dalam ruangan seminar berbisik satu
sama lain.
Terkecuali
aku.
Karena percaya atau tidak, saat itu aku terlalu sibuk mengikuti setiap pergerakan yang dibuatnya. Kurasa profilnya menyimpan magnet yang memiliki kutub berlawanan dengan kutub pandanganku.
Karena percaya atau tidak, saat itu aku terlalu sibuk mengikuti setiap pergerakan yang dibuatnya. Kurasa profilnya menyimpan magnet yang memiliki kutub berlawanan dengan kutub pandanganku.
"Maaf,
saya telat. Masih bisa ikut, 'kan?" Tanyanya
pada pembicara, dalam suara yang amat-sangat rendah namun masih dapat terdengar
olehku. Sepadan dengan wajahnya yang terlihat seperti tetanggaku ketika ia
marah saat anak-anak kompleks terus menekan bel rumahnya yang unik karena
berbentuk kepala rusa–dingin dan malas.
"Tentu."
Si Pembicara yang kebetulan seorang perempuan menjawab kurang
acuh. Sepertinya hanya ia satu-satunya wanita yang tidak mengacuhkan
lelaki-dengan-suara-rendah itu.
Si Suara
Rendah kemudian mengedarkan pandangannya ke arah kursi peserta. Tatapannya
berkeliaran, mencari spasi untuk tempatnya duduk.
Dan, voila! Bolehkah
aku bersyukur karena hanya kursi di sebelahku yang tak bertuan?
Tanpa
dikomando, dia berjalan ke arahku–ke sebelahku lebih tepatnya. Semakin
mendekat, aku semakin kesulitan bersikap biasa. Konyol
memang. Tapi dengan sok menjaga imej, aku memfokuskan konsentrasiku
pada Si Pembicara yang mulai kembali bercuap.
Begitu
suara kursi diduduki terdengar, impuls aku menoleh ke arahnya. Dan pandanganku
disambut wajah Si Pemuda yang tersenyum--walau belum bisa dikualifikasikan
sebagai senyum, karena ia hanya sekedar mengangkat kedua ujung bibir tanpa ada
kerlingan senyum terefleksi pada irisnya.
"Keganggu,
ya? Sorry."
Waktu itu aku cepat menggeleng. "Nggak
kok. Lo gak ganggu."
"Syukur deh."
Tak
disadari, aku terus menatap lawan pembicaraku. Gee, salahkan
syaraf otakku yang kemungkinan besar njelimet karena
mengalami goncangan dadakan.
"Concern sama
binatang juga?"
Pertanyaannya
mengempaskan pemikiranku yang sedang berkelana ke alam bawah sadar. Terima kasih sudah bertanya lebih dulu, Tuan.
"Yeah, begitulah. Lo juga pasti. Karena gak mungkin lo ada di sini kalau nggak ada empati sama binatang."
"Yeah, begitulah. Lo juga pasti. Karena gak mungkin lo ada di sini kalau nggak ada empati sama binatang."
Ia
tersenyum, lagi. Namun kini jenis senyum yang memperlihatkan deretan gigi dan
sedikit bagian gusi kemerahannya.
Aneh,
tapi tanpa alasan yang jelas, aku menyukai gummy
smile kepunyaan Si Pemuda. Senyum
itu dapat membuat ekspresi wajahnya berubah. Lebih
bersahabat dan membuatku ingin terus-menerus melihatnya. Alhasil,
anggapanku semula tentang sosoknya yang dingin kemudian berubah total.
Panggil
aku gila. Tapi sejak saat itu secara mental kudeklarasikan; he's my
crush.
***
Kevin Wu
berdiri di seberang jalan.
Tangannya
melambai-lambai, meminta atensi yang sebenarnya sudah dia dapatkan. Menunggu traffic
light menemaramkan warna hijau dan menggantinya dengan merah, dia
mengambil ponsel dari saku levi's-nya.
Beberapa
detik setelah Kevin meletakan kembali ponselnya pada tempat semula, sekarang
giliran aku yang mengambil ponsel karena benda tersebut bergetar dua kali;
menandakan ada pesan masuk.
Tunggu gue. Bisa kita mampir dulu ke Starbucks, huh?
Jadi tadi
dia mengirimiku pesan?
Kuputuskan
untuk tidak membalas pesan Kevin, dan bergeser beberapa langkah menuju tempat
yang tidak terlalu ramai sembari menunggu. Sebenarnya
aku tidak sengaja bertemu dengan Kevin. Hari ini
jadwalku adalah kelas pagi dan berakhir pada pukul 11. Sementara Kevin tidak
ada kuliah, dan ini adalah waktunya pergi ke sebuah restoran sebelah Starbucks
di pusat kota, tempatnya bekerja paruh waktu.
Lucunya,
ternyata aku dan Kevin berada dalam kampus yang sama, meski fakultas yang kami
ambil berbeda. Tapi itu bukan hal aneh sebenarnya. Di kampus
yang lebih dari sekedar luas tidak mungkin aku pernah memerhatikan seluruh
mahasiswa atau mahasiswi satu-persatu. Termasuk
memerhatikan Kevin Wu yang fakultasnya cukup jauh dengan fakultasku.
Dua bulan
lima belas hari berlalu semenjak perkenalan pertamaku dengan Kevin Wu, orang
yang dulu kusebut sebagai 'Si Pemuda' dan 'orang-yang-bersuara-rendah'.
Komunikasi kami berlanjut dengan saling bertukar email, hingga nomor ponsel. Pembicaraan
yang semula itu-itu saja--umumnya dulu kami selalu menyertakan topik
WWF–sekarang berkembang menjadi banyak hal, sampai rasanya selalu ada bahan
obrolan tiap kami bersua.
Saat ia memperkenalkan namanya, aku
sedikit menyernyit. Marga 'Wu' bukan nama yang umum digunakan atau sering
kudengar, dan jelas-jelas berbau oriental. Tapi aku sama sekali tidak melihat
sedikitpun gurat keturunan Cina dalam sosoknya. Atau bahkan aksen Mandarin yang
semestinya ia tunjukkan.Tapi peduli apa aku tentang dialek dalam obrolannya? Atau
rasa ketimuran yang dimilikinya? Atau bahkan bagaimana cara ia memandang orang
lain: terlihat seperti meremehkan, walau aku tahu maksudnya tidak seperti itu.
Dalam kurun waktu 75 hari aku merasa seperti telah mengenal Kevin selama 7,5
tahun. Berlebihan? Baiklah, mungkin sedikit.
Ada
banyak hal yang terasa familiar tentangnya--meski aku tidak paham bagaimana aku
bisa merasakan hal macam itu. Caranya menyerukan namaku, gummy smile-nya yang
sejauh ini jadi senyum favoritku, sebuah bekas tindikan di daun telinga
kanannya yang tidak mau ia akui, atau cara kedua alisnya yang menarik perhatian
bertaut saat ada sesuatu yang tidak sesuai dengan ekspektasinya; semuanya
terasa familiar. Dan aku sedikit curiga apakah di kehidupan sebelumnya aku
memiliki sesuatu yang berhubungan dengan Kevin?
Tapi di
atas itu semua, ada yang menjadi prioritas utama. Yaitu
kehadiran Kevin Wu itu sendiri.
"Ehem."
Kontan
aku mendongak saat suara dehaman yang sudah sering kudengar menyeruak. Kevin
sudah berdiri di hadapanku, mengintimidasi tinggi badanku dengan miliknya.
"Pagi-pagi
udah ngelamun aja." Kevin menjentikkan telunjuk dan jari
tengahnya ke keningku yang telanjang.
"Siapa
yang ngelamun," Kilahku, menolak pengakuan bahwa sebenarnya aku memang
sedang mengawang, dengan dirinya sebagai objek lamunan. "lagian sekarang
udah siang, tau."
Ia
mengangguk, walau tak terlalu mengindahkan jawabanku. "Green tea di
Starbucks?"
"Uh-uh."
Aku sengaja mnggeleng terpatah. "Hari ini jadwal untuk bierock dan bossche
bol di D'Pastrie. Starbucks mah besok-besok lagi aja.
Duit gue seret nih."
Aku mulai
berjalan, sembari memastikan kalau Kevin ikut menginjak setiap jejak yang
kutinggalkan.
"Tapi
'kan gue ngajak lo ke Starbucks. Bukan ke D'Pastrie." Dengan bagin
belakang kepalaku, dapat kulihat kerutan di kening Kevin yang membuat kedua
alis tebalnya makin menukik.
"Lusa
kemarin kita baru dari sana, Vin."
Kini
langkah Kevin menyejajariku. Mudah baginya, mengingat dua langkahku sama dengan
satu langkahnya. "Lagi-lagi gue yang ngalah."
Terus
berjalan, aku menyempatkan diri menoleh dan melayangkan tatapan semanis yang
kubisa. "My treat, deh."
"Katanya
duit seret. Dasar."
Sebagai
jawaban, aku cuma terkikik tanpa memberi barang sesekon lirikan padanya.
***
Kevin pecinta green tea. Dia tidak
terlalu menyukai kopi, tapi selalu mengajakku pergi ke Starbucks pada hari-hari
kerjanya di restoran.
Kevin juga menyukai hujan. Berbanding terbalik denganku. Menurutku, hujan adalah kumpulan anugerah dari Tuhan, yang sayangnya mengakibatkan kebisingan dan kesusahan: tidak bisa pergi ke mana-mana tanpa terhindar dari lembabnya air alam itu. Sedangkan menurut Kevin, hujan itu menyenangkan. Karena akan mempermudahnya untuk terlelap. Ah, apa aku sudah memberitahu kalau Kevin adalah heavy sleeper?
Kevin juga menyukai hujan. Berbanding terbalik denganku. Menurutku, hujan adalah kumpulan anugerah dari Tuhan, yang sayangnya mengakibatkan kebisingan dan kesusahan: tidak bisa pergi ke mana-mana tanpa terhindar dari lembabnya air alam itu. Sedangkan menurut Kevin, hujan itu menyenangkan. Karena akan mempermudahnya untuk terlelap. Ah, apa aku sudah memberitahu kalau Kevin adalah heavy sleeper?
Hari ini
hujan. Aku dan Kevin terjebak di Starbucks tempat kami biasa
menghabiskan waktu. Kebetulan, restoran tempat Kevin bekerja untuk hari ini
tutup, sehingga ia tidak perlu khawatir Si Pemilik Restoran akan memotong
bayarannya karena telat datang–uh, dia bilang dia suka hujan, tapi enggan untuk
berbasah kuyup untuk beranjak menuju tempat kerjanya, benar-benar tidak
konsisten.
"Vin,"
Aku memecah keheningan yang menyelimuti kami selama lima menit terakhir. Kevin
sedang terlalu asyik memandangi titik-titik air hujan yang menabrak dinding
kaca, dan tenggelam dalam derai ketipak-ketipuk yang mengalun, menciptakan
ketukan harmonis.
"Hm?"
Tanyanya, tanpa mengalihkan pandangan dari luar Starbucks.
Mau tak mau aku ikut memandangi objek pandang Kevin: berjubel orang sedang
berteduh di seberang jalan, sementara jalanan sendiri agak lengang, karena para
pemilik kendaraan bermotor terlalu sayang membiarkan alat transportasi mereka
diciumi air hasil kondensasi tersebut.
"Kenapa
sih lo ngerokok?"
Apa yang
kutanyakan sekiranya menarik perhatian Kevin. Buktinya, fokus Kevin teralihkan
padaku.
Sebelum
menjawab, jemarinya bergerak perlahan, menggerayangi cangkir berisikan hot
latteccino yang tidak seperti biasanya ia pesan.
"Maksudnya?"
"Ya,
sayang aja," Aku ikut menyesap Italian espresso, yang sudah
dituangkan satu sachet penuh gula, milikku. "sayang banget lo ngerokok.
Orang ngerokok itu egois. Masa' nyuruh
orang lain ngisep asap
rokok juga."
Kedua
manik Kevin terkunci dengan tatapanku. Warna hazelnut yang kelamaan berpendar,
membuatku jadi ingin membeli cadburry black forrest secara tetiba. "Pernah
denger quotes-nya Lana Del Rey?"
Berpikir
sejenak, aku berusaha mengingat pernahkah kudengar selentingan quote dari
pemilik bibir keriting itu.
Perlahan,
aku menggeleng. Penasaran dengan apa yang akan Kevin katakan selanjutnya. Umh,
terkadang dia memang banyak kejutan.
"’Merokok
memang buruk. Tapi alasan yang membuatku merokok jauh lebih
buruk’." Kevin mengutip quotes yang kuyakini dideklarasikan oleh Lana Del Rey, yang tadi ia sebutkan, dan memiringkan kepalanya kurang dari 30 derajat. Apakah ini hanya pengelihatanku saja tapi ia terlihat menyunggingkan senyum
juga miring dan sarat akan makna.
"Seorang Lana Del Rey yang seksinya mana ada aja bilang gitu."
"Ih, dasar cowok." Aku
memutar bola mata risih.
Residu senyum di bibir Kevin masih
terlihat. Beberapa detik kemudian ia membuka mulut, pasti hendak mengatakan
sesuatu. Namun urung karena ia kembali mengatupkan indera pembicaranya.
"Apa?"
Kini giliran aku yang memiringkan kepala.
Kevin
menarik napas sekali. Cukup panjang untuk respirasi normal. "Apa hal terburuk yang pernah
terjadi sama lo?"
"Hal
terburuk?" Kuulang pertanyaan Kevin.
"Yeah,"
Ia menaik-turunkan kedua alisnya. "yang menurut lo paling buruk dari semua
kejadian buruk yang pernah lo alami."
Mengais
memori di setiap sudut frontalisku, aku meraba-raba ingatan yang terburuk yang
pernah kurasakan.
Tidak
punya uang tersisa padahal masih tanggal muda? Dimarahi
dosen karena kerap mengganggunya dengan pertanyaan-pertanyaan bodoh? Lupa
menjilid makalah yang sudah tempo hari selesai padahal deadline-nya jatuh pada
hari itu? Atau-
"Orang
tua gue cerai." Tanpa sadar aku menggumam. Berhasil
menggenggam ingatan terburuk yang kupunya. Ingatan
yang sebenarnya tidak layak jadi ingatan, karena hanya menambah beban.
"Orang
tua lo...?" Kevin tidak melanjutkan pertanyaannya.
Sadar kalau Kevin mendengar gumamanku, aku langsung mendongak dan
menemui sorot tatapan Kevin. "Hu'uh." Aku hanya mampu mengangkat
bahu.
"Sorry." Ia berkata, sama pelannya
dengan jawabanku tadi.
"Biasa
aja, kali." Kupaksakan
untuk tertawa, meski pasti terdengar hambar. "Cuma cerai ini kok. Gak
lebih."
Ia
tersenyum kecil. "Gue juga anak broken home
kok."
"Hah?" Refleks, aku membelalakan mata, meneriakkan 'lo serius' melalui gelombang
elektromagnetikn berupa sorot tatap.
"Tapi
itu bukan sesuatu yang penting," Cepat-cepat ia menambahkan. "boleh
gue tau kenapa orang tua lo cerai?"
Sekali
lagi, pertanyaan yang tidak terduga.
Aku
yakin–sangat yakin–Kevin sebenarnya bukan tipikal orang yang usil dengan
masalah orang lain. Juga, aku sendiripun tidak terlalu keberatan untuk
menceritakan masalah yang seyogianya sudah malas untuk kuungkit. Meski aku
ingin bertanya lebih lanjut tentang orang tua Kevin, aku mengurungkannya. Ia bisa
bercerita nanti, saat ia memang ingin melakukannya.
"Masalah
ekonomi. Gue juga gak tau–dan gak mau tau–detailnya. Yang
jelas, itu alasan mereka untuk bercerai."
Kevin tidak bereaksi. Tidak ada
anggukan yang menandakan kejelasan, gelengan yang menunjukkan simpati, atau
kata-kata yang menyuarakan penghiburan. Setidaknya
ini adalah respon terbaik. Aku tidak mau orang-orang menghujamiku
dengan rasa kasihan atau sebagainya begitu aku selesai menceritakan masalah
ini. Toh bercerai bukan berarti mereka benar-benar pergi dari
hidupku, 'kan?
"Lo sendiri," Aku memajukan
kepala, sehingga mampu menatap Kevin dengan sangat jelas. Aku perlu tahu hal serupa, yang dirasakan Kevin. "apa hal
terburuk dalam hidup lo?"
Lawan bicaraku ikut-ikutan memajukan wajahnya. Gosh. Wajah kami berjarak
beberapa senti-mili, dan aku tidak bisa untuk tidak tersipu. "Kalau
gue bilang hal terburuk yang pernah terjadi dalam hidup gue, gue takut lo nanti
ngejauh dari gue."
Sedikit
terkejut, aku mengembalikan posisiku seperti semula: bersandar pada sofa.
Memangnya hal buruk seperti apa yang terjadi pada Kevin sampai ia takut aku
akan menjauhinya? "Ya ampun, Vin. Gak bakal, lah. Emangnya hal terburuk
itu apa? Lo pernah jadi bandar narkoba? Pernah jadi penculik gadis-gadis di
bawah umur? Lo mantan copet di terminal?"
Tidak ada
tawa terkuar, maupun decakan kesal diberikan Kevin. Meski aku
juga tidak mengharapkan keduanya.
"Serius
deh, Vin. Gue jadi penasaran. Jujur
aja. Gue juga udah jujur kan sama lo." Aku berusaha meyakinkan Kevin
dengan melembutkan nada suaraku. Apapun itu masa lalunya, yang jelas
aku harus tahu. Kevin sudah terlanjur menyebutkan
sepercik hal terburuk dalam hidupnya dan aku tidak mau ditinggalkan dalam
keadaan penasaran.
"Tapi
janji ya lo gak akan jadi jauh sama gue?" Tanyanya mirip keponakanku yang
berusia 5 tahun.
Buru-buru aku mengangguk. Terlalu bersemangat dengan fakta baru yang akan segera kuterima. "Gue janji, Kapten."
Buru-buru aku mengangguk. Terlalu bersemangat dengan fakta baru yang akan segera kuterima. "Gue janji, Kapten."
Kevin
kembali mendesah. Desahan yang sama seperti sebelumnya: panjang dan dalam. Ini
hanya membuatku semakin dicekik rasa penasaran. Memang sebegitu buruknya kah
hal yang akan ia beritahu padaku?
Mendadak,
terselip sedikit rasa ketidakingintahuan.
Bagaimana
kalau ternyata hal yang akan Kevin jelaskan itu lebih buruk dari sekedar buruk?
Bagaimana kalau itu akan mengubah cara pandangku padanya? Bagaimana kalau
ternyata penjelasan Kevin hanya akan membuatku ingin berjarak dengannya?
Bagaimana kalau-
"Hal
terburuk dalam hidup gue," Kevin menggantung ucapannya sekaligus
menginterupsi pertanyaan-pertanyaan yang melintas dalam pikiranku. Ia
menghujaniku dengan tatapan khas miliknya yang intens pun merojok sampai ke
bagian terdalam tubuh. Seolah hanya aku objek yang bisa ia lihat saat ini.
Tanpa
sadar aku menelan ludah.
"adalah
ketika gue gak lagi mempunyai perasaan untuk makhluk bertitel perempuan."
***
Kevin Wu.
Aku baru mengenalnya kurang dari
setahun.
Dimulai dari seminar WWF, berlanjut
ke beragam sudut di kota tempat kami tinggal.
Dan pada
bulan keempat lebih tujuh belas hari, ia memberitahuku rahasia terbesar dalam
hidupnya. Rahasia yang sama sekali tidak pernah kusangka ia miliki. Rahasia
yang pada awalnya kukira akan mengubah keseluruhan pandanganku tentang lelaki
paling tinggi yang pernah jadi temanku ini. Rahasia yang, entah karena apa,
membuatnya tetap terlihat sama di mataku meski seharusnya tidak.
Orientasi
seksual bukan sesuatu yang akrab denganku. Bahkan mungkin, ini kali pertama
untukku berhadapan dengan masalah semacam ini.
Sore itu, di kedai Starbucks sebelah restoran tempat Kevin bekerja, ia membeberkannya. Membeberkan apa yang sebetulnya tak ingin kuketahui, dan saat itu kusesali karena mengetahuinya.
Sore itu, di kedai Starbucks sebelah restoran tempat Kevin bekerja, ia membeberkannya. Membeberkan apa yang sebetulnya tak ingin kuketahui, dan saat itu kusesali karena mengetahuinya.
"Lo...."
Aku tidak bisa melanjutkan kata-kataku. Semua yang ada dalam pikiranku; siapa
lelaki di hadapanku, di mana kami berada, dan tektek bengek lainnya seolah
berevaporasi, bersama dengan air laut yang sudah bertransformasi menjadi hujan
yang hingga sekarang masih setia menjadi penonton melalui dinding kaca.
Tuhan,
apa yang harus aku katakan? Yang dikatakannya itu hanya sekedar lelucon atau
memang kenyataan?
"Yeah."
Kevin tertawa, namun kepahitan terasa bergema dalam tawanya. "Gue lebih
suka barista cowok dibanding yang cewek di pojok sana."
Aku tak
perlu menoleh untuk melihat apa yang dimaksud Kevin.
Dan aku
juga tak ingin menoleh untuk membuktikan pernyataan yang tengah bergumul di
kepalaku: Man, he is–my oh-so-crush–a gay!
"Hey,"
Ia menyikutku dengan kelembutan dalam suaranya. "jangan diem gitu, dong.
Omongin sesuatu kek. Tuhkan gue bilang apa, lo pasti jadi pengen ngejauh dari
gue."
Seharusnya
aku memang bersuara, mengatakan sesuatu yang bisa meyakinkannya kalau tidak ada
barang setitikpun yang berubah mengenai Kevin di mataku.
"Gue..."
Aku menggigit bibir bawah, menyalurkan rasa bingungku pada sesuatu yang
setidaknya tidak akan membuatku kelimpungan. "Gue bingung, Vin. Gue gak
nyangka. Gue kaget." Ujarku tanpa menatap Kevin.
Kevin
menyentuh ujung daguku dengan telunjuknya. Memaksaku mendongak dan menatapnya,
tepat di iris yang selalu sukses membuatku menggeretakan gigi. "Sorry. Tapi
gue rasa lo perlu tau tentang ini. Gue tahu lo suka sama gue."
Ada yang
tahu hari ini hari apa? Kenapa kelihatannya banyak kejutan yang kudapat walau
sekarang bukan ulang tahunku.
"Apaan
sih Vin." Aku tak
mengindahkan kata-kata Kevin. Maaf maaf saja, tapi aku tidak mau membiarkan
fakta bahwa aku menyukai Kevin menamparku, tepat di wajah.
"Well, itu
baru hipotesis gue. Sejak awal kita ketemu, pertemuan-pertemuan di Starbucks,
di depan kampus kita, dan pertemuan lainnya, gue rasa itu bisa jadi bukti yang
cukup." Kevin menyeringai tipis. Seringai yang kusukai, meski kadang
terlihat menyebalkan.
Aku menyipitkan mata. Mengaburkan
pandanganku bersama visualisasi Kevin. Membuatnya
dikelilingi bayangan hitam.
Apa mungkin aku harus berhenti berpura-pura?
Apa mungkin aku harus berhenti berpura-pura?
Sebelum
menjawab, helaan napas mendahului. Make it classy, and not slutty.
"Oke, gue berhenti berpura-pura." Jawabku,
seolah itu bukan sesuatu yang besar. Walau sebenarnya aku ingin pergi dan
bersembunyi di kolong kasur sampai millenium baru datang. "Gue...suka
lo." Sambungku, sedikit ragu.
Aku mengharapkan jawaban, entah itu sekedar 'oh' atau apapun itu, dari Kevin. Tapi bukannya menjawab, ia tetap menatapku. Dan aku merasa ditelanjangi dengan tatapannya.
Aku mengharapkan jawaban, entah itu sekedar 'oh' atau apapun itu, dari Kevin. Tapi bukannya menjawab, ia tetap menatapku. Dan aku merasa ditelanjangi dengan tatapannya.
Oh,
mungkin lebih dari sekedar ditelanjangi. Karena sekarang aku merasa Kevin
tengah menyorotkan sinar gamma yang berfrekuensi lebih dari sepuluh pangkat
duapuluh Hertz tepat ke tiap inci bagian tubuhku.
"Jangan."
Sahut Kevin pendek.
Aku mengerutkan kening dan menatap Kevin bingung. Jangan? Jangan apa?
Aku mengerutkan kening dan menatap Kevin bingung. Jangan? Jangan apa?
"Jangan
suka gue." Bak mampu membaca pemikiranku, ia melanjutkan ucapannya.
Ini
adalah pertama kalinya pembicaraan antara aku dan Kevin menyertakan topik
'kami' di dalamnya. Sedikit canggung, tapi aku rasa ini memang perlu dilakukan;
pertama untuk mencegahku berharap secara berlebih, dan kedua, agar aku tidak
menyalahartikan segala treat Kevin
selama ini.
Uh,
kenapa segala sesuatunya bersubjek padaku?
"Kenapa?"
Hanya itu yang mampu aku tanyakan.
Inginnya sih aku meluapkan segala hal yang mengganjal yang merengek minta dikeluarkan. Tapi menurutku ini bukan saat yang tepat untuk terburu-buru.
Inginnya sih aku meluapkan segala hal yang mengganjal yang merengek minta dikeluarkan. Tapi menurutku ini bukan saat yang tepat untuk terburu-buru.
"Karena,"
Terdiam sejenak, Kevin menelan saliva, dan aku harap-harap cemas menunggu apa
yang akan dikatakannya. "gue gak mau bikin lo sakit hati. Buat apa lo
tetep suka sama orang yang gak akan mungkin suka sama lo?"
O-oh.
Dalam
waktu satu persejuta sekon, mendadak aku merasa dadaku ditimpa sekumpulan
binaragawan yang rutin berlatih di gym samping kost-anku.
'Buat apa
lo tetep suka sama orang yang gak akan mungkin suka sama lo?'
Pertanyaan
itu secara otomatis menggema berulang-ulang di kepalaku. Bagai suara teriakan Tarzan di dalam gua.
Apa ini yang dinamakan penolakan? Seorang perempuan, ditolak lelaki? Oh, pride.
Bahkan aku ditolak sebelum genap mengatakan sepuluh kata? Apakah rasanya ditolak itu memang seperti ini–bingung, malu, kecewa, dan segala perasaan buruk yang pernah aku dengar, ditempa jadi satu–?
Bahkan aku ditolak sebelum genap mengatakan sepuluh kata? Apakah rasanya ditolak itu memang seperti ini–bingung, malu, kecewa, dan segala perasaan buruk yang pernah aku dengar, ditempa jadi satu–?
Terlalu
banya pertanyaan berkecamuk. Urgensi untuk menelan bulat-bulat
Kevin di hadapanku pun harus mati-matian kuhentikan.
"Gue
gak minta lo untuk balik suka sama gue kok."
"Jangan
naif. Mana bisa lo bertahan suka sama seseorang tanpa berharap perasaan lo
dibalas?" Kata-kata itu meluncur dengan ringannya.
Kembali, aku menggigit bibir. Seketika
aku menyesali diriku yang memaksa Kevin untuk menceritakan hal terburuk dalam
hidupnya. Menyesali kenapa aku harus menjawab pertanyaan yang sama sebelumnya.
Dan menyesali pertemuanku dengan Kevin empat bulan lalu.
"Bukan maksud gue untuk
kasar," Mendadak jemariku terasa berat. Dan ketika kulirik, ternyata jari-jari
panjang Kevin sudah tersampir di atasnya. Rasa hangat akibat kontak tersebut
menjalar sampai ke bagian abdomen. Tapi sungguh, sekarang tidak ada waktu untuk tersipu. Maka dari itu,
dengan lembut kugerakan telapak tanganku, menjauhi buku jemarinya. "gue
cuma gak mau bikin orang yang mulai terasa penting buat gue jadi sakit
hati."
Sweet talker. Bagaimana
bisa dalam waktu empat bulan seseorang menjelma menjadi sosok yang penting di
hidupmu?
Walau
akselerasi degup jantungku sedikit meningkat karena ucapannya, aku berusaha
mengenyahkan percikan rasa senang itu. There's no time for this, Girl.
"Jadi?"
Tanyaku, tak jelas mempertanyakan apa. "gue harus berhenti suka sama
lo?"
Rasanya aku seperti baru mengunyah melinjo mentah dan meludah beberapa sekon setelahnya. Kata-kata yang kurasa pahit, namun memang harus aku keluarkan.
Rasanya aku seperti baru mengunyah melinjo mentah dan meludah beberapa sekon setelahnya. Kata-kata yang kurasa pahit, namun memang harus aku keluarkan.
"Mungkin."
"Kasih
gue kepastian." Aku memutar bola mata mendengar
jawabannya yang tidak memuaskan.
"Gue
udah kasih lo kepastian," Ia melenguh, bingung. Terdengar sama bingungnya
denganku. "gue udah bilang kalau gue gak akan mungkin suka sama lo. Apa
harus gue bilang dengan jelas kalau gue gak tertarik sama perempuan?"
Caranya
mengucapkan kalimat terakhir membuatku secara mental terjerembab dan mencium
lantai Starbucks. Rasanya seperti ada seseorang yang mengambil paksa tulang
betis juga keringmu, sehingga kaki pun terasa lemas dan yang ingin kamu lakukan
hanya berbaring.
"Gimana
kalau gue gak bisa berhenti suka sama lo?" Jika tadi Kevin yang
berkelakuan seperti anak kecil, kini giliranku yang melakukannya. Siapapun tahu
perasaan seseorang akan sulit berubah secepat kedipan mata.
Kevin
menghela napas keras-keras, dan menyapukan jemari pada rambutnya secara asal. Membiarkan
tatanannya berubah jadi sedikit berantakan.
Mengapa
jadi dia yang terlihat frustasi? Semestinya aku yang sekarang
menjambak sejumput rambutku karena baru saja dihadiahi fakta bahwa
gebetanku...uh, begitulah.
"Oke,
kalau gitu jangan." Ia menurunkan kembali tangannya
seperti semula.
"Jangan dan jangan. Apa lo baru belajar kata itu?" Aku tak bisa untuk
tidak berkomentar.
Tadi dia
bilang aku tidak diperbolehkan menyukainya. Tapi begitu kutanyakan apa yang
harus kulakukan, dia melarangku berhenti menyimpan rasa padanya.
Is he that kind of bi-polar or what?
Is he that kind of bi-polar or what?
"Kalau
lo gak bisa berhenti suka sama gue, maka jangan berhenti suka sama gue."
"Yeah, memangnya lo pikir
perasaan gue macam saluran televisi yang bisa diatur seenak jidat?"
Kevin tersenyum mendengar komentarku yang kesekian. Namun senyumnya hanya bertahan satu detik.
Kevin tersenyum mendengar komentarku yang kesekian. Namun senyumnya hanya bertahan satu detik.
Ia
kemudian berdeham sebelum melanjutkan, "tapi coba berusaha, bikin gue suka
sama lo."
Seiring
dengan pungkasan kata Kevin, aku bisa merasakan seseorang sepertinya
sudah menendang duniaku. Membuatnya penyok, dan terjungkir
ke segala arah.
Juga
membiarkannya terlempar dari orbit kewarasan.
Ini gila. Sangat gila.
Ini gila. Sangat gila.
-satu-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar