p.s:
aku sangat yakin, setiap orang akan dengan senang hati memasangkan Kris Wu dari EXO dengan green tea frappe, favoritnya.
***
Apa
orang ini gak bisa lebih lama lagi?
Aku melirik sebal ke arah lelaki
yang berdiri di hadapanku. Lelaki yang sebaliknya, sama sekali tidak
melihat--apalagi balik memerhatikan--keeksistensianku yang jelas-jelas sedang
merutukinya. Oh, ayolah, orang ini sudah berdiri lima belas menit di barisan
antrean, dan dia masih belum bisa memutuskan apa yang akan dipesannya? Gosh, memangnya dia pikir ini coffee shop milik ayahnya, apa?
Tolong dicatat, coffee shop ini milik ayahku, tahu. Bukan ayahnya.
Okay,
sebenarnya aku pun sama sekali tidak ingin ada di sini, di kedai kopi milik
Ayah, yang khusus untuk hari ini ditinggal tiga pekerjanya sehubungan dengan
Mid-Day Autumn. Aku lebih memilih tidur seharian di rumah tanpa ada gangguan,
dibanding harus berkutat sebagai barista dadakan, whose work won’t be given, even, a little damn from Dad. Sebagus
apapun hasil kreasiku membuat para pengunjung keluar dari kedai ini dengan
wajah sumringah, Ayah akan tetap menganggap kalau aku masih harus banyak
belajar untuk meneruskan usahanya. Lagipula memangnya sinkron ya tiga orang
pekerja dewasa digantikan oleh satu orang gadis yang bahkan belum genap
menginjak 19 tahun?
Tapi tunggu. Satu catatan lagi, aku
juga sama sekali tidak mau meneruskan usaha Ayah yang--well, katanya--dibangun dari nol besar, sampai sebesar ini. Ya,
walaupun memang tidak sebesar Starbucks,
setidaknya ini jauh lebih besar dari warung kopi di pinggir jalan.
“Masih belum tahu pesanan Anda,
Pak?” Mulai gerah, akhirnya aku angkat bicara. Kata-kata terakhirku pada
laki-laki ini adalah, ‘Anda mau pesan apa?’ sekitar sepuluh lima lalu, yang
kemudian dijawabnya dengan ‘Tunggu sebentar.’. Yeah, sebentar.
Laki-laki itu menoleh ke arahku.
Akhirnya, ke arahku. Alhasil, secara
mental aku melakukan tarian kemenangan karena berhasil membuatnya memusatkan
perhatian pada gadis yang sedari tadi menunggunya untuk mengatakan sesuatu.
“Pak? Memangnya aku kelihatan setua itu?”
Mendengar jawaban non-formalnya yang
jauh dari ekspektasi, aku mengerutkan kening dalam-dalam. Sedikit ragu, aku
memerhatikan wajah dan profil lawan bicaraku dengan lebih saksama.
Tidak terlalu tua, sih. Mungkin dia ada di tahun yang sama
denganku. Mungkin. “Memang itu yang harus saya katakan terhadap pelanggan.”
Sebisa mungkin kuatur nada suaraku agar tetap terdengar sopan dan welcome. Meski yang ada, aku yang ingin
menggosokkan keset bertuliskan welcome ke
wajah lelaki ini.
Ia hanya mengangkat bahu, seolah
pembicaraan ini sama sekali tidak penting dan tidak layak untuk dilanjutkan. “Aku
bingung harus pesan apa. Mungkin kau menyarankan sesuatu?”
Aku memajukan sedikit wajahku, dan
menunjukkan wajah tak berekspresi. “Maksud Anda--“
“Oh, please.” Menyela omonganku, ia mengibaskan satu tangannya tepat di
atas mesin kasir yang sedari tadi menjadi pemisah di antara kami. “Stop
ber-Anda-Saya, karena aku yakin aku sedang tidak bicara dengan seorang dosen
kolot di kampus. Letakan formalitas itu jauh-jauh, Nona.”
Menaikkan kedua alis, aku hanya
mengangguk-angguk paham, sembari sedikit melirik ke arah belakang pemuda
tersebut. Kurasa aku perlu bersyukur karena tidak ada pengunjung lain yang ada
di baris antrean. Atau tidak juga? Mengingat itu berarti aku tidak punya alasan
untuk mengusir pelanggan yang satu ini? “Okay,
kalau begitu jenis kopi apa yang kau suka?” Sebisa mungkin kuladeni orang gila
di hadapanku.
“Aku?” Ia menunjuk dirinya sendiri,
seolah mempertanyakan apakah aku bertanya padanya, atau pada orang lain–yang
entah siapa. “Aku tidak suka kopi.”
Sedikit ternganga, tanpa sadar
wajahku semakin dekat pada wajah miliknya--bisa jadi saraf pengendalian wajahku
sedikit terganggu, atau apapun itu, karena secara refleks aku akan memajukan
wajah jika ada sesuatu yang kurasa kurang kerasan.
Jadi…
Jenis orang gila apa yang datang ke coffee shop ini, Tuhan? Apa ini hukuman
buatku karena tadi pagi telat bangun untuk melaksanakan ibadah?
Kalau tidak ada pengunjung lain di
dalam sini, maka aku pasti sudah meloncat ke atas Si Lelaki untuk kemudian
memberinya sedikit bagian pikiranku tentangnya, dengan cara yang tidak terlalu
bersahabat.
“Kalau kau tidak menyukai kopi, maka sudah
sangat jelas kau salah untuk datang ke tempat ini. Di depan jelas tertera ‘Bi Coffee’, bukan?”
“Tapi aku ingin memesan sesuatu di
sini dan–hey, apakah ini caramu memuaskan keinginan pelanggan?”
Ambigu. Lain kali mungkin aku akan pura-pura mati supaya Ayah
tidak menyuruhku menjaga kedainya. Ya, akan kulakukan.
Menarik napas agak dalam dan
mengembuskannya dengan perlahan, aku kembali menatap
Pelanggan-di-Kedai-Kopi-yang-Tidak-Menyukai-Kopi tepat di maniknya. “Bagaimana
kalau green tea?”
Si Pemuda balik menatapku sama
intensnya, seolah menyiratkan tantangan. Uh, kelihatannya aku terlalu
berlebihan. Sebenarnya ia menatapku dengan pandangan biasa. Hanya saja, kedua
alisnya yang tebal membuat tatapannya lebih tajam, bak berusaha menelanjangi
pikiran orang yang ditatapnya.
Hey, kenapa aku malah memerhatikan
alisnya?
“Aku rasa green
tea cocok untuk orang yang tidak menyukai kopi tapi malah datang ke kedai
kopi.” Kembali, aku berusaha meyakinkannya. Habis ia tidak juga menunjukkan
reaksi barang secuil.
“Boleh, kalau begitu. Green tea ukuran tall satu.”
Akhirnya…
“Baik. Green tea tall satu. Apa ada yang lain?”
Bukannya menjawab, ia malah tertawa
kecil. Suaranya yang dalam ikut bergetar.
Pertama, apa yang lucu?
Kedua, kenapa tawanya terdengar…uh, alluring?
Ketiga, bagaimana bisa wajahnya yang
di awal terlihat sedikit menyeramkan begitu berbeda begitu ia tertawa?
Entahlah, seolah seseorang menaruh lampu kecil di tengah-tengah akuarium yang
gelap. Memang tawa yang kecil, tapi mampu membuat seluruh bagian wajahnya yang
semula temaram jadi lebih terang.
Dan keempat, kenapa aku kembali
memerhatikannya?
Yeah. Sial.
“Terpesona, Nona?”
Impuls, aku menggelengkan kepala
satu kali. Mengenyahkan apapun yang membuat pikiranku berkelana ke barat, ke
timur, kemudian kembali lagi ke barat.
Apa ia bilang? Terpesona?
“A-Apa ada yang ingin dipesan lagi?”
Mengabaikan pertanyaannya, aku mengutak-atik mesin kasir, sok sibuk.
Lagi, ia tertawa. Namun sekarang
lebih pelan. Apa mungkin ia mencium gelagat salah tingkahku? “Jika memesan satu
minuman saja butuh dua puluh menit, menurutmu bagaimana dengan tambahan pesanan
lain? Mungkin aku butuh seharian penuh untuk itu.”
Aku menggigit bagian dalam pipiku,
berusaha tidak terbawa suasana yang makin lama makin nyaman. Aku pun selekas mungkin menyebut harga minuman yang
dipesannya.
Ia kemudian mengeluarkan beberapa lembar
uang dari dalam dompet. Dan sebelum menyerahkannya padaku, untuk kesekian kali
bundaran legam miliknya menatap milikku dengan jenis piercing gaze. Tapi piercing
gaze yang lembut. Ah, mana ada jenis tatapan galak yang lembut? Mungkin
tatapan yang--
“Kris.” Mendadak suaranya berpendar.
Terpilin udara di sekitar kami, hingga akhirnya mampu ditangkap telingaku.
Pikiranku kembali pada objek di hadapanku. Kris?
Kris apa? “Namaku Kris. Kris Wu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar