Sabtu, 16 November 2013

Fanfiction: Green Tea


p.s:
aku sangat yakin, setiap orang akan dengan senang hati memasangkan Kris Wu dari EXO dengan green tea frappe, favoritnya. 

***

Apa orang ini gak bisa lebih lama lagi?
Aku melirik sebal ke arah lelaki yang berdiri di hadapanku. Lelaki yang sebaliknya, sama sekali tidak melihat--apalagi balik memerhatikan--keeksistensianku yang jelas-jelas sedang merutukinya. Oh, ayolah, orang ini sudah berdiri lima belas menit di barisan antrean, dan dia masih belum bisa memutuskan apa yang akan dipesannya? Gosh, memangnya dia pikir ini coffee shop milik ayahnya, apa?
Tolong dicatat, coffee shop ini milik ayahku, tahu. Bukan ayahnya.
Okay, sebenarnya aku pun sama sekali tidak ingin ada di sini, di kedai kopi milik Ayah, yang khusus untuk hari ini ditinggal tiga pekerjanya sehubungan dengan Mid-Day Autumn. Aku lebih memilih tidur seharian di rumah tanpa ada gangguan, dibanding harus berkutat sebagai barista dadakan, whose work won’t be given, even, a little damn from Dad. Sebagus apapun hasil kreasiku membuat para pengunjung keluar dari kedai ini dengan wajah sumringah, Ayah akan tetap menganggap kalau aku masih harus banyak belajar untuk meneruskan usahanya. Lagipula memangnya sinkron ya tiga orang pekerja dewasa digantikan oleh satu orang gadis yang bahkan belum genap menginjak 19 tahun?
Tapi tunggu. Satu catatan lagi, aku juga sama sekali tidak mau meneruskan usaha Ayah yang--well, katanya--dibangun dari nol besar, sampai sebesar ini. Ya, walaupun memang tidak sebesar Starbucks, setidaknya ini jauh lebih besar dari warung kopi di pinggir jalan.
“Masih belum tahu pesanan Anda, Pak?” Mulai gerah, akhirnya aku angkat bicara. Kata-kata terakhirku pada laki-laki ini adalah, ‘Anda mau pesan apa?’ sekitar sepuluh lima lalu, yang kemudian dijawabnya dengan ‘Tunggu sebentar.’. Yeah, sebentar.
Laki-laki itu menoleh ke arahku. Akhirnya, ke arahku. Alhasil, secara mental aku melakukan tarian kemenangan karena berhasil membuatnya memusatkan perhatian pada gadis yang sedari tadi menunggunya untuk mengatakan sesuatu. “Pak? Memangnya aku kelihatan setua itu?”
Mendengar jawaban non-formalnya yang jauh dari ekspektasi, aku mengerutkan kening dalam-dalam. Sedikit ragu, aku memerhatikan wajah dan profil lawan bicaraku dengan lebih saksama.
Tidak terlalu tua, sih. Mungkin dia ada di tahun yang sama denganku. Mungkin. “Memang itu yang harus saya katakan terhadap pelanggan.” Sebisa mungkin kuatur nada suaraku agar tetap terdengar sopan dan welcome. Meski yang ada, aku yang ingin menggosokkan keset bertuliskan welcome ke wajah lelaki ini.
Ia hanya mengangkat bahu, seolah pembicaraan ini sama sekali tidak penting dan tidak layak untuk dilanjutkan. “Aku bingung harus pesan apa. Mungkin kau menyarankan sesuatu?”
Aku memajukan sedikit wajahku, dan menunjukkan wajah tak berekspresi. “Maksud Anda--“
“Oh, please.” Menyela omonganku, ia mengibaskan satu tangannya tepat di atas mesin kasir yang sedari tadi menjadi pemisah di antara kami. “Stop ber-Anda-Saya, karena aku yakin aku sedang tidak bicara dengan seorang dosen kolot di kampus. Letakan formalitas itu jauh-jauh, Nona.”
Menaikkan kedua alis, aku hanya mengangguk-angguk paham, sembari sedikit melirik ke arah belakang pemuda tersebut. Kurasa aku perlu bersyukur karena tidak ada pengunjung lain yang ada di baris antrean. Atau tidak juga? Mengingat itu berarti aku tidak punya alasan untuk mengusir pelanggan yang satu ini? “Okay, kalau begitu jenis kopi apa yang kau suka?” Sebisa mungkin kuladeni orang gila di hadapanku.
“Aku?” Ia menunjuk dirinya sendiri, seolah mempertanyakan apakah aku bertanya padanya, atau pada orang lain–yang entah siapa. “Aku tidak suka kopi.”
Sedikit ternganga, tanpa sadar wajahku semakin dekat pada wajah miliknya--bisa jadi saraf pengendalian wajahku sedikit terganggu, atau apapun itu, karena secara refleks aku akan memajukan wajah jika ada sesuatu yang kurasa kurang kerasan.
Jadi…
Jenis orang gila apa yang datang ke coffee shop ini, Tuhan? Apa ini hukuman buatku karena tadi pagi telat bangun untuk melaksanakan ibadah?
Kalau tidak ada pengunjung lain di dalam sini, maka aku pasti sudah meloncat ke atas Si Lelaki untuk kemudian memberinya sedikit bagian pikiranku tentangnya, dengan cara yang tidak terlalu bersahabat.
   “Kalau kau tidak menyukai kopi, maka sudah sangat jelas kau salah untuk datang ke tempat ini. Di depan jelas tertera ‘Bi Coffee’, bukan?”
“Tapi aku ingin memesan sesuatu di sini dan–hey, apakah ini caramu memuaskan keinginan pelanggan?”
Ambigu. Lain kali mungkin aku akan pura-pura mati supaya Ayah tidak menyuruhku menjaga kedainya. Ya, akan kulakukan.
Menarik napas agak dalam dan mengembuskannya dengan perlahan, aku kembali menatap Pelanggan-di-Kedai-Kopi-yang-Tidak-Menyukai-Kopi tepat di maniknya. “Bagaimana kalau green tea?”
Si Pemuda balik menatapku sama intensnya, seolah menyiratkan tantangan. Uh, kelihatannya aku terlalu berlebihan. Sebenarnya ia menatapku dengan pandangan biasa. Hanya saja, kedua alisnya yang tebal membuat tatapannya lebih tajam, bak berusaha menelanjangi pikiran orang yang ditatapnya.
Hey, kenapa aku malah memerhatikan alisnya?
“Aku rasa green tea cocok untuk orang yang tidak menyukai kopi tapi malah datang ke kedai kopi.” Kembali, aku berusaha meyakinkannya. Habis ia tidak juga menunjukkan reaksi barang secuil.
“Boleh, kalau begitu. Green tea ukuran tall satu.”
Akhirnya…
“Baik. Green tea tall satu. Apa ada yang lain?”
Bukannya menjawab, ia malah tertawa kecil. Suaranya yang dalam ikut bergetar.
Pertama, apa yang lucu?
Kedua, kenapa tawanya terdengar…uh, alluring?
Ketiga, bagaimana bisa wajahnya yang di awal terlihat sedikit menyeramkan begitu berbeda begitu ia tertawa? Entahlah, seolah seseorang menaruh lampu kecil di tengah-tengah akuarium yang gelap. Memang tawa yang kecil, tapi mampu membuat seluruh bagian wajahnya yang semula temaram jadi lebih terang.
Dan keempat, kenapa aku kembali memerhatikannya?
Yeah. Sial.
“Terpesona, Nona?”
Impuls, aku menggelengkan kepala satu kali. Mengenyahkan apapun yang membuat pikiranku berkelana ke barat, ke timur, kemudian kembali lagi ke barat.
Apa ia bilang? Terpesona?
“A-Apa ada yang ingin dipesan lagi?” Mengabaikan pertanyaannya, aku mengutak-atik mesin kasir, sok sibuk.
Lagi, ia tertawa. Namun sekarang lebih pelan. Apa mungkin ia mencium gelagat salah tingkahku? “Jika memesan satu minuman saja butuh dua puluh menit, menurutmu bagaimana dengan tambahan pesanan lain? Mungkin aku butuh seharian penuh untuk itu.”
Aku menggigit bagian dalam pipiku, berusaha tidak terbawa suasana yang makin lama makin nyaman. Aku pun selekas mungkin menyebut harga minuman yang dipesannya.
Ia kemudian mengeluarkan beberapa lembar uang dari dalam dompet. Dan sebelum menyerahkannya padaku, untuk kesekian kali bundaran legam miliknya menatap milikku dengan jenis piercing gaze. Tapi piercing gaze yang lembut. Ah, mana ada jenis tatapan galak yang lembut? Mungkin tatapan yang--
“Kris.” Mendadak suaranya berpendar. Terpilin udara di sekitar kami, hingga akhirnya mampu ditangkap telingaku. Pikiranku kembali pada objek di hadapanku. Kris? Kris apa? “Namaku Kris. Kris Wu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar