p.s:
terinspirasi dari Kris EXO.
***
Aku
tidak ingin ada di sini.
Beberapa
kali aku merasa hidungku sangat gatal. Beberapa kali aku mengambil napas agak
keras. Beberapa kali aku menutupi hidungku dengan buku catatan kemerahan di
tangan. Dan beberapa kali itu juga puluhan pasang mata di dalam ruangan seminar
ini menatap tepat ke arahku—akibat suara hirupan napasku yang tidak bisa
dibilang biasa—dengan pandangan sama; tajam dan mengintimidasi. Sementara aku,
sebagai tokoh utama, hanya bisa menunduk dan menyembunyikan wajahku sedalam
mungkin.
Tidak
ada yang bisa menyaingi kesialanku hari ini. Uh, bahkan Si Bryan The Bad Luck.
Bayangkan saja. Sekarang, dalam keadaanku yang sedang tidak terlalu baik karena
flu dan pening yang menjalar sampai ke ubun-ubun, aku harus terjebak di antara
ratusan anak manusia di dalam sebuah ballroom dengan tulisan ‘How To Pass The
Pastry’ di bagian muka ruangan. Ini semua karena kakakku yang semestinya berada
di sini—Demi Tuhan, bukan aku—karena mendapat satu undangan istimewa dari
tempat kerjanya, dari salah satu restoran terkenal di pusat kota.
Dan
entah bagaimana plot jelasnya, sekarang malah aku yang harus bergelut dengan
berbagai macam tulisan berisi tektek-bengek tentang pastry. Yang dapat aku
ingat hanya ancaman kakakku, yang mengatakan kalau aku tidak mau
menggantikannya datang ke acara ini, maka tidak akan ada makan malam untuk tiga
hari ke depan—ini sudah sering dilakukannya. Ayolah, tidak ada makan malam
untuk tiga hari adalah kata lain dari kematian. Padahal aku sudah menunjukkan
wajah paling memelas yang aku punya, tapi kakakku masih tidak memberikan
sedikitpun belas kasihannya. Betapa aku
sangat mengaguminya.
“…
Ah, bagaimana? Apakah kalian sudah mencatat bahan-bahan untuk membuatnya?”
Aku
melirik ke arah Si Pembicara di depan ruangan seminar—dengan sempurna, ia
mengempaskan semua pemikiranku yang sedang melayang tak menentu dengan
pertanyaan konyolnya. Tolong, siapa yang mau repot-repot menulis bahan untuk
sebuah pastry? Walau aku memang seminar adalah tempat yang biasa digunakan
untuk hal seperti ini, aku hanya heran, apakah orang itu tidak mengenal kata
internet?
Aku
mendengus, risih.
Ah,
bagus sekali. Dengan bodohnya aku melupakan fakta atas apa yang sedang terjadi
dengan hidung ini. Sesuatu terasa mengalir pada rongga hidungku. Crap. Cepat-cepat, aku—lagi—menarik
napas keras-keras, hingga menimbulkan sebuah bunyi yang…menjijikan. Sungguh,
ampunilah kakakku, Tuhan.
Tapi
setidaknya, ini lebih baik daripada membiarkan sesuatu itu turun bebas dari rongga hidungku. Bukankah begitu?
“Umh,
Nona?”
Bisa
kurasakan sebuah suara yang cukup dalam membuat membran timpani kiriku
bervibrasi. Sedikit, aku menoleh ke arah datangnya suara itu.
Seorang
pria—dia belum terlalu tua sepertinya—, uh tidak, maksudku pemuda, yang duduk
di sebelah kiri kursiku kini sedang menatap tepat ke irisku. Jika diibaratkan
sedang memanah, hujaman tatapannya mendapat nilai sempurna. Oh ya, apakah aku
sudah mengatakan kalau tatapannya itu dalam—sedalam suaranya—?
“Ya?”
Jawabku sekenanya. Lelaki ini memiliki pandangan yang membuatmu bisa lupa
siapa, apa, dan sedang berada di mana kamu sekarang.
“Bisakah
kamu berhenti menarik napas keras-keras? Juga, berhenti menutupi hidungmu
dengan buku catatan itu?”
Mendengar
rentetan kata miliknya, kedua alisku secara impuls menyatu. Lihat siapa yang
bicara? Siapa memangnya laki-laki ini sampai memberiku sebuah perintah?
“Maksudmu?”
Ia
menghela napas pelan. “Aku tahu ini kurang sopan, tapi jujur, sejak awal aku
duduk di sebelahmu, semua sikapmu sepanjang seminar ini menggangguku.”
Secara
mental, aku sudah jatuh terjungkal dari kursi. Apa? Mengganggunya? “Aku
mengganggumu? Maafkan aku,tapi aku rasa aku tidak melakukan satu hal pun yang
aneh terhadapmu. Lagipula, jika memang kamu terganggu, kamu bisa pindah dari
sini. Masih banyak kursi kosong, bukan?” Aku mengibaskan tanganku, menyentakkan
pembicaraan, dan apapun yang akan dikatakannya.
Lelaki
itu kembali menghela napas. Dan secara tidak jelas, aku bisa melihatnya memutar
bola mata. Apa-apaan ini? Sangat tidak santun.
Aku
mendecakkan lidah dan mengembalikan fokus ke Si Pembicara. Bahkan, walaupun
paras pemuda di sebelahku ini jauh lebih nyaman dipandang daripada Si
Pembicara, aku akan lebih memilih untuk memusatkan perhatian pada orang yang
kusebutkan kedua, yang sekarang tengah asyik bercuap tentang sejarah sebuah
kudapan asal Italia. Setidaknya Si Pembicara tidak mengatakan apapun soal
ganggu-mengganggu.
Mendadak,
aku merasakan sesuatu jatuh di atas pangkuanku. Terkejut, aku langsung menoleh
ke arah—yang kalau bukan dia, maka siapa lagi?—Si Pemuda. Tanpa melihat apa
yang diberikannya, aku membuka mulut, bersiap untuk menyerangnya dengan
runtutan kata. Tapi ternyata ia lebih cepat. Ia memotong perkataanku, bahkan
tanpa aku sempat mulai bicara. “Gunakan sapu tangan itu.” Dagunya menunjuk ke
arah pangkuanku. Dan secara otomatis, aku mengikuti arah gerakan dagunya.
Sebuah
sapu tangan putih.
Well,
apa maksudnya? Apa ia pikir aku tidak memiliki sapu tangan? Oke, mungkin
sekarang aku tidak membawa satupun sapu tanganku, tapi aku bersumpah aku punya
satu kotak penuh sapu tangan dengan berbagai warna dan renda. “Aku tahu kamu
punya sapu tangan, tapi apa gunanya itu kalau sekarang kamu tidak membawanya?”
Ia berucap, seolah membaca pikiranku.
Perlahan,
aku mendongak. Dan manikku kembali disambut oleh iris kecokelatan milik lawan
pembicarku ini. Lagi, aku seolah tenggelam dalam menebak apa yang ada di dalam
iris itu, hingga mampu membuat tatapan yang sebegitu dalamnya.
Tanpa
sadar, intensitas kalor di tubuhku meningkat, menimbulkan panas yang membua
seluruh cairan tubuh makin mencair, bahkan mungkin akan menguap. Pening di
kepalaku banyak berkurang, dan sedikit meninggalkan bekas. Termasuk sesuatu yang sedari tadi mengganggu
indera penciumanku. Aku tidak lagi merasa ada cairan yang mendesak minta
dikeluarkan dari dalam hidung. Ada sesuatu yang lain, yang meminta untuk
dikeluarkan. Hanya saja ini datangnya dari bagian perutku, yang aku tidak tahu
apa itu.
“Nona,
mengucapkan terima kasih jauh lebih baik dibandingkan menatapku seperti itu.” Sebelah
alis tebal miliknya naik. Beberapa detik setelah terlibat dalam stare war, ia segera menoleh ke depan, tanpa mengatakan
apa-apa lagi. Meninggalkan aku yang masih nyaman dengan wajah pilon seperti
ini.
Ah, apa yang aku
lakukan? Aku menggeleng cepat, menyentakkan pemikiranku yang
entah sudah berapa kali untuk hari ini, melayang. Dan dengan sangat perlahan,
aku menunduk. Memerhatikan apa yang diberikan Si Pemuda. Ujung telunjukku
menyentuh sapu tangan tersebut. Hingga akhirnya buku-buku jariku tiba pada
sebuah alur jahitan yang terdapat di bagian ujung benda itu. Alur jahitan
berwarna keemasan, yang cukup kontras dengan warna dasarnya. Alur jahitan yang
bukan hanya sekedar jahitan, tapi membentuk kata;
The Dragon.
***
“…Baiklah
calon patisserie terbaik di dunia, perjumpaan untuk hari ini, saya rasa cukup
sampai di sini. Besok acara ini masih akan diselenggarakan, tentunya dengan
tema yang berbeda. Besok kita akan berjumpa dengan kudapan dari Timur Tengah.
Siapa yang tidak sabar dengan kudapan jenis ini?” Si Pembicara menaikkan
sebelah tangannya, mirip seperti guru taman kanak-kanak yang meminta jawaban
muridnya.
Riuh
sahutan memenuhi ruangan untuk beberapa saat, membuat Si Pembicara seolah jadi
orang paling bahagia karena atensi yang diterimanya. Apapun itu, aku sekarang
ingin cepat pulang dan juga—
Tiba-tiba
kursi di sebelahku berderik. Kursi Si
Pemuda. Kursi milik The Dragon—bagaimana
aku memanggilnya setelah menemukan jahitan dengan kata serupa di sapu tangan
miliknya. Refleks aku menoleh ke arah kiri, dan menemukan profil The Dragon yang sudah berdiri, dan
mengambil langkah menuju ke luar ruangan.
Tunggu
dulu. Kalau ia pergi sekarang, maka bagaimana dengan sapu tangan ini?
Tanpa
memedulikan acara yang belum berakhir secara resmi, aku mengikuti arah pergi The Dragon. Sambil menggumamkan kata
‘permisi’ dan ‘maaf’, aku berusaha menerobos barisan kaki yang seolah membentuk
ranjau.
Begitu
berada di luar ruangan, mataku langsung bergerak mencari sosok lelaki itu. Aku
rasa, aku baru menyadari kalau ia memiliki postur kaki yang panjang—terbukti
dari seberapa cepat ia mampu mengambil langkah dalam waktu sebentar. Tapi nasib
masih berpihak ke padaku, karena ternyata aku masih mampu melihat punggung The Dragon. Ah, I got you, Boy!
Sambil
setengah berlari, aku berusaha mengejar The
Dragon. Lima meter, tiga meter, satu meter. Dan akhirnya…
“Hey!”
Agak keras, aku menepuk pundak lelaki itu. Karena tidak terlalu memerhatikan
jarak antara aku dan dia, tanpa bisa dikendalikan, tubuhku menabrak
punggungnya.
Beruntung,
berkat posturnya yang ternyata jauh lebih tinggi dari perkiraanku sebelumnya,
aku tidak terjatuh dan berakhir dalam posisi yang sering muncul dalam cerita
roman picisan. “Apa ini bentuk rasa terima kasihmu, Nona?” Suaranya masih sama:
dalam dan tak acuh. Ia berbalik, tidak begitu memusingkan tubuhku yang sedikit
terdorong karena pergerakannya.
“Uh,
b-bukan begitu,” Aku meringis, dan aku tahu ini bukan saat yang tepat untuk
terlihat konyol. Tapi sial bagi hormon pengendalian ekspresiku. “Aku
mengikutimu karena ingin mengembalikan ini.” Sedikit ragu, aku menyodorkan
benda miliknya, yang beberapa jam lalu ia berikan.
Pandangan
The Dragon mengikuti pergerakan
tanganku. Kalau tadi hanya sebelah alisnya yang terangkat, kini kedua alis yang
mengingatkanku pada angry bird itu
terangkat. “Maksudmu, aku harus membawa pulang sesuatu yang baru saja kau pakai?”
Bingung,
aku mengerutkan kening. Apa maksudnya ia—oh, oh. Aku paham. Mendengus kecil, aku
menatap The Dragon kesal. “Aku belum
menggunakannya, kok. Lagipula, secara
mendadak flu-ku lenyap begitu saja. Jadi, keadaan sapu tangan ini masih sama
seperti saat kamu memberikannya padaku.” Aku masih menyodorkan sapu tangannya,
dan ia masih bergeming. Posisi ini tetap sama selama beberapa saat, hingga aku
merasa suasana di luar mulai ramai karena dipenuhi orang-orang yang baru ke
luar dari dalam ruang seminar. Tidak, kami tidak bisa dilihat orang dalam
keadaan janggal seperti ini. “T-tapi kalau kamu ragu, aku bisa mencucinya.”
Menyerah, aku pun menarik kembali tanganku dan memasukkan sapu tangannya ke
dalam saku celana. “Apakah besok kamu akan datang lagi…ke sini?”
The Dragon
sedikit mengangkat kepalanya. Untuk kali ketiga dalam hari ini, pandangan
miliknya mengunci milikku. Jarak kami terlalu dekat—setidaknya itu
menurutku—sampai aku bisa melihat rambut kecokelatannya, yang senada dengan
maniknya, tertata tak beraturan. Apakah memang potongan rambutnya seperti itu?
Atau memang ia tidak menyisir rambutnya secara tuntas? “Memang apa hubungannya
denganmu?”
Tersentak,
aku mengerjap beberapa kali. Ah, benar. Aku masih dalam pembicaraan dengan
laki-laki di hadapanku ini. “Tentu saja berhubungan. Kalau jawabanmu iya, maka
besok aku akan mengembalikan sapu tangan ini. Kalau tidak, kita bisa berjumpa
kali lain.:
Si
pemilik sapu tangan mengangguk-angguk kecil. “Kalau begitu, besok aku tidak
akan datang ke sini.”
Terpengarah
dengan jawabannya, aku memiringkan kepalaku seolah memastikan. “Jadi bagaimana
cara aku mengembalikan sapu tanganmu?”
Entah
salah melihat, atau aku memang benar-benar melihat, ia menyeringai tipis.
Seringai yang mirip dengan salah satu pemain watak yang memainkan peran sebagai
tokoh flamboyan di salah satu acara televisi.
Dalam
hitungan detik, jarak antara aku dan The
Dragon semakin terpangkas. Aku merasa semakin kecil, dan semakin sesak
napas. Dalam jarak yang bisa dibilang lebih dari sekedar dekat, bisa kulihat
alis tebal milik pemuda ini benar-benar tebal. Dan pada bagian kanannya, ada
tiga guratan yang membuat susunan rambut itu terlihat seperti baru dicakar
kucing. Apakah ia sengaja membuat alisnya
seperti itu? Dan sekali lagi, di luar kesadaranku, aku mengerutkan kening akibat
pemikiran yang melayang karena The Dragon.
“Kalau
begitu,” Ia kembali bersuara, membuatku kembali memfokuskan diri padanya. “berikan
aku nomor ponselmu. Nanti akan kuberi tahu di mana kita akan bertemu.
Bagaimana?”
Dalam
keadaan terperanjat, kontan kedua mataku melebar. A-apa? “N-nomor ponselku?”
Oh, God. Ke mana perginya
flu dan pening yang sedari kemarin bersemayam di tubuhku?
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar