(inspired by Estée Lauder's lipstick and our beloved duizhang, EXO's Kris)
“Yang benar saja, Kris Wu?!”
Suho marah. Sangat marah. Kedua telapak tangannya berulang kali mengacak rambut,
kemudian mengusap wajah dengan kasar, dan diselipkan ke dalam saku celananya.
Secara teratur, pergerakan tangan Suho membentuk siklus yang sangat menyiratkan
jika dirinya sedang dalam keadaan tak baik .
“Bagaimana
mungkin cincinnya bisa hilang?!” Satu teriakan lagi dihasilkan Suho. Masih
dengan nada sebal yang terdengar jelas.
“Aku kan
tidak sengaja,” Akhirnya, objek amarah Suho pun menjawab. Kris Wu. Kris yang
terduduk dengan kedua tangan sebagai tumpuan kepala sama terlihat
menyedihkannya dengan Suho. Namun jenis tatapannya yang disorotkan keduanya
berbeda: Suho melayangkan pandangan penuh kekesalan, sedangkan milik Kris
adalah penyesalan. “lagipula ini hanya cincin, kan? Aku yakin kau bisa membeli
yang lebih baik daripada...”
Perkataan
Kris terhenti begitu Suho menoleh ke arahnya, dan menransferkan energi negatif.
Membuat Kris terdiskriminasi. Suho tidak pernah—atau mungkin jarang—memperlihatkan
kemarahannya. Dan jika ia sudah melakukannya, itu berarti sesuatu yang sangat salah telah terjadi.
“Oke,
maafkan aku. Maksudku, aku pasti akan mencari cincin itu. Sampai ketemu. Aku
janji.” Kris mengangguk keras-keras, dibarengi dengan kedua kelopak matanya
yang dibuka selebar yang ia bisa.
“Tentu saja
harus.” Suho melipat kedua tangannya di dada. “Pernikahanku akan dilaksanakan
tiga hari lagi. Dan aku tidak punya waktu untuk membeli cincin baru.”
Kris masih
setia dengan gerakannya—mengangguk dengan terpaksa. Yeah, apa yang bisa dilakukannya selain mengangguk? Yang terpenting
sekarang adalah ia, setidaknya, bisa meredam emosi Suho yang meledak-ledak.
“Jika kau
tidak bisa menemukan cincin itu kurang dari tiga hari,” Pria yang lebih muda
berjalan mendekati kursi yang diduduki Kris. Dengan tatapan menelanjangi bak
sinar X, ia melanjutkan. “maka kau harus mengganti uang cincin itu tiga kali
lipat. Mengerti?”
***
“Sial. Apa
semua orang yang hendak menikah jadi lebih sensitif?” Kris Wu membuka kaleng minuman
sodanya dengan asal. Ia masih tak habis pikir, Suho yang biasanya selalu
menahan emosi bisa jadi sebegitu kejam terhadap dirinya. Apalagi ini menyangkut
masalah uang—secara teknis membeli cincin harus menggunakan uang, bukan?—yang
biasanya tak pernah lelaki dengan jidat sempurna itu permasalahkan.
“Bukan
begitu, Kris,” Xi Luhan, yang sekitar sepuluh menit lalu baru tiba di apartment Kris, ikut membuka kaleng
minuman rasa apel miliknya. “kau sudah menghilangkan cincin pernikahan yang
tiga hari lagi akan Suho gunakan. Kau sudah diberi amanat untuk menjaga cincin
itu dengan baik. Tapi dengan cerobohnya, kau menyimpan cincin itu di saku
celanamu. Tentu saja dia akan marah. Karena kalau aku jadi dirinya, aku pun
akan melakukan hal yang sama.”
Kris
mendengus, dan meneguk isi kaleng cepat-cepat. Pikirannya masih melayang ke
saat dua jam lalu, di mana Suho mengancamnya harus mengganti uang cincin dengan
harga selangit sebanyak tiga kali lipat jika ia tak berhasil menemukan benda
berwarna perak tersebut. “Gila. Dari mana aku harus mendapat uang sebanyak
itu?” Tanpa sadar Kris menggumam, setelah kaleng yang ada di genggamannya
kosong.
“Kalau
begitu, carilah cincinnya sampai ketemu.” Luhan yang mendengar ucapan Kris
menimpali.
“Kau pikir
mencari cincin yang hilang di acara bachelor
party itu mudah?”
Kedua
indera pengelihatan Luhan melebar ketika mendengar kata ‘bachelor party’. “Ah, aku tahu!”
Pria yang
lebih jangkung menoleh ke arah Luhan, tak terlalu acuh. “Tahu apa? Tahu di mana
aku bisa meminjam uang untuk mengganti cincin Suho?”
“Bukan,
Bodoh.” Yang ditanya hanya mendelik. “Kau tadi bilang melalui telepon kalau ada
jejak lipstick pada bagian leher button-up putihmu?”
Berpikir
sejenak, Kris kemudian mengangguk. “Itu pasti bekas bibir salah seorang stripper yang tadi malam ada di acara
pesta lajangnya Suho. Kenapa memang?”
“Eww menjijikan. Apa yang semalam kau
lakukan dengan wanita stripper
itu?”
“Ia
memberitahuku beberapa resep masakan,” Kedua alis Kris naik dan senyum manis
merekah di bibirnya. “tentu saja dia menemaniku, Xi Luhan. Memang mau apa
lagi?” Senyuman Kris langsung tergantikan ekspresi menyernyit; seakan tak habis
pikir kenapa Luhan masih bertanya apa yang telah ia lakukan dengan seorang stripper tadi malam.
Luhan
mengangguk-angguk, mencoba mencerna informasi yang didapatnya. “Apa kau tahu
siapa saja stripper yang ada tadi
malam hadir? Kau tahu siapa namanya? Atau kalau perlu rumahnya?”
“Memangnya
kau pikir para stripper itu mengisi
absensi pada sebuah kertas? Kau kira ini acara seminar, huh?”
“Kau ingat
dengan siapa tadi malam kau...” Luhan
mengangkat telunjuk, dan mengarahkannya tepat ke wajah Kris. “begitulah. Ingat
tidak?”
Kembali,
Kris berusaha menyentuh semua ingatannya tadi malam. Dari mulai apa yang dia
lakukan, dengan siapa ia bersama, dan apa yang ia minum. “Ah, sial.” Kris
mendesis, membuat Luhan tahu kalau lelaki ini tak mampu meraba apa-apa dalam
otaknya. “Tadi malam, setelah aku minum satu gelas, aku langsung tak sadarkan
diri.” Dengan tatapan yang dibuat semenyesal mungkin, Kris memandang Luhan. “Bagaimana
ini?”
Pasrah, Xi
Luhan mendecak. “Kalau kau tahu kau adalah peminum yang buruk, lebih baik kau
tak perlu minum barang seteguk, tahu?”
“Lalu
menurutmu, aku harus minum sirup rasa strawberry
di saat semua orang menyesap alkohol?”
“Ya.” Luhan
hanya mengangkat bahu, seolah itu bukan sesuatu yang penting. “Kutanya kau sekali
lagi, dan jika kau menjawab dengan ketidaktahuan maka aku menyerah.”
Dengan
anggukan lemah Kris pun menjawab. Ia memasang indera pendengarannya baik-baik,
siap menerima apa yang akan Luhan tanyakan.
“Kau tahu
siapa yang membawa para stripper itu?”
“Chen...?”
Sedikit ragu, Kris menyipitkan matanya. “Kenapa? Kau mau mengundang para stripper itu juga? Untuk acara apa?
Jangan lupa mengundangku, okay?”
Tepat saat
itu, Luhan harus menahan keinginannya untuk mencabik habis pria kekanakan di
hadapannya. Tolong, tapi bagaimana bisa dalam keadaan genting seperti ini, ia
berkelakuan menyebalkan dan tak acuh? “Telepon Chen untuk datang ke sini,
sekarang. Dan tanyakan padanya, siapa-siapa saja stripper yang tadi malam ia undang. Dengan begitu kita bisa tahu
siapa saja wanita yang berkemungkinan menghabiskan malam bersamamu kemarin.”
Mengerjap
beberapa kali, Kris masih terdiam: terlihat masih belum paham dengan apa yang
Luhan katakan. “Jadi...aku harus?”
“Telepon Chen
sekarang juga! Oh, Tuhan.”
***
“Kalian
tahu ‘kan, aku sedang tidur siang?”
Chen, masih
dengan kelopak mata yang beberapa mili-senti lagi tertutup sempurna,
menodongkan bantal yang semula tergeletak di sofa ke arah Luhan, kemudian Kris.
“Kami butuh
bantuanmu, Kim Jongdae.” Luhan mengambil bantal yang ada di genggaman Chen.
Chen
sendiri hanya menyandarkan tubuh, dan menghela napas berat. “Apa? Kalian mau
apa?”
“Kau tahu
siapa saja stripper yang kau undang
tadi malam ke pesta lajang milik Suho?” Kris memajukan tubuhnya dan memandang
Chen skeptis. Ia sendiri tak yakin Chen akan mampu mengingat siapa-siapa saja
wanita yang ia hadirkan di bachelor party
kemarin.
“Tentu
saja,” Diinterupsi dengan menguap, Chen melanjutkan. “ada Kim JaeNa, Choi
MaeRi, dan Lee NaJung. Kenapa? Apa kau tertarik pada salah satu di antara
mereka? Uh, aku sendiri sih paling
menyukai Kim JaeNa; wajahnya memang tidak terlalu cantik, tapi dia punya—AW!”
Bantal
berbentuk bujur sangkar yang semula ada di tangan Luhan kini tanpa halangan
mendarat di pangkuan Chen, setelah sebelumnya mengantuk wajah pria itu. Kedua
mata Chen yang semula sudah tak berdaya mendadak terbuka lebar—sangat lebar.
“Ya, Xi
Luhan! Apa yang kau lakukan? Kau mau membuatku tersedak karena bantal itu?!”
“Memangnya
bantal itu bisa masuk ke dalam mulutmu bulat-bulat?!”
“Memang
tidak! Tapi jika bantal itu—“
“Hey, Xi
Luhan! Kim Jongdae! Kenapa kalian jadi membicarakan bantal?!” Kini Kris-lah
yang mengambil bantal tersebut dan mengapitnya dengan tulang paha; tak mengizinkan siapapun menjadikan bantal sebagai alasan untuk mengubah arah obrolan. “Chen, apa
kau tahu dengan siapa tadi malam aku bersama?” Kris mengembalikan topik
pembicaraan pada jalur yang seharusnya. Walau pada awalnya ia tak terlalu ambil
pusing dengan masalah stripper ini,
bayangan uang tiga kali lipat yang menghantuinya membuat ia berpikir tidak ada
salah mencoba mencari tahu.
“Mana
kutahu.” Chen yang masih kesal mengerutkan kening. “Memangnya kenapa?”
“Cincin
pernikaha milik Suho yang ia titipkan pada Kris hilang,” Papar Luhan. “Dan cincin
itu terakhir kali ada di saku celana Kris pada malam bachelor party.”
“Jadi
maksudmu, salah satu di antara stripper itu
adalah pencuri cincin Suho?”
“Kau
mengatakan kata ‘pencuri’ seolah-olah ini adalah kasus pencurian di Museum
Henley.” Komentar Kris. “Tapi, ya, kukira bisa dikatakan seperti itu. Memang
siapa lagi? Tidak mungkin yang mencuri salah satu dari aku, kau, Luhan, Suho—sangat
konyol—, Sehun, Chanyeol, Baekhyun, Lay, Tao, Kyungsoo, Kai atau Xiumin, bukan?”
Chen
menggumamkan kata ‘hm’, dan Luhan mengamini. Masing-masing tenggelam dalam
pemikiran, dan kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa saja terjadi.
“Kalau
begitu, aku minta alamat dan nomor telepon semua stripper yang kau undang. Akan kudatangi mereka satu-persatu untuk
memastikan hipotesis kita memang terbukti.”
Luhan dan
Chen saling bertatapan. Meski kerlingan pertidaksetujuan sedikit terpancar,
mereka tetap mengiyakan. Tak ada pilihan lain untuk dicoba. Bukankah begitu?
***
(1)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar