Rabu, 12 Desember 2012

Minyi Quotes Enam

"Menutup telinga bukan hal yang tepat dilakukan jika kamu mendengar suara sumbang. Tapi bicaralah--kalau perlu berteriak--lebih keras dari suara sumbang itu, agar kamu tidak mendengarnya lagi."

Selasa, 11 Desember 2012

Original Fiction: The Matter


“Oh astaga…berapa lama gadis ini tidak makan? Kakinya benar-benar… Pinggangnya…” Suara kertas beradu terdengar seperti backsound saat kubolak-balik lembar demi lembar majalah di meja kantin.
“Lihatlah, El! Lihat gadis ini. Bagaimana bisa tulang rusuknya begitu jelas terlihat. Aih, menggelikan. Jatuhnya jadi tidak seksi.” Kugelengkan kepala. Prihatin dengan model di halaman terakhir majalah yang baru saja kulihat. Hanya demi sebuah photoshoot, dia rela menurunkan hampir seperempat berat badannya—menurut keterangan di dalam majalah itu—dan sekarang dia benar-benar terlihat seperti potongan tulang hidup.
“Bisakah berhenti membahas ukuran tubuh?” Elle terdengar sedikit menggeram.
Aku menoleh ke arahnya. Menatap Elle dengan tatapan ‘apa-maksudmu-bicara-begitu-?’ “Bukankah biasanya kau yang paling senang membicarakan tentang ‘kira-kira porsi makan model ini berapa kalori per hari, ya?’ atau ‘bagaimana cara model ini mendapatkan pakaian yang berukuran sangat amat tidak manusiawi ini’? Ada apa, El?”
“Aku…aku hanya tidak ingin membahasnya. Sedang tidak ingin, Audrey.”
Masih kutatap Elle. Begitu intens, hingga—mungkin—ia merasa jengah, dan balik menatapku. “Kau sedang dalam masa periodemu? Atau ada sesuatu yang membuat mood-mu tidak baik hari ini? Kau bisa ceritakan padaku.” Aku berdeham sebentar. “Sejak pagi kulihat kau menekuk wajah—dan jujur saja, itu membuatku ingin menyetrika wajahmu. Dan menambahkan pelembut di atasnya.”
Elle tidak bisa untuk tidak tersenyum. Sorot matanya seolah mengatakan sesuatu padaku. Namun sayangnya, aku sama sekali tidak mengerti.
“Katakan saja.” Ujarku pelan-pelan. Berusaha membaca ekspresinya yang terlalu absurd.
“Emh…begini. Oh Ya Tuhan, aku bingung akan memulai dari mana,” Elle menggelengkan kepalanya cepat. “Begini. Hngg. Jawab pertanyaanku dengan jujur, Drey.”
“Selagi kejujuran itu tidak menyakitkan, kupastikan aku berkata jujur.”
“Tidak, Audrey. Aku membutuhkan jawaban yang jujur. Sekalipun jawabanmu nanti akan semenyakitkan apapun itu, jujur, ya?” Pintanya.
Aku terpaksa mengangguk kecil. Jujur saja, aku bukan tipe orang frontal yang berani berkata blak-blakan. Walaupun aku juga bukan tipikal penjilat yang mengangkat slogan ‘apa-saja-asal-anda-senang’ tinggi-tinggi. Aku lebih senang menyesuaikan jawabanku dengan keadaan.
“Audrey, apakah aku……..” Elle  mengambangkan ucapannya. Membuatku ingin melempar sepatuku ke wajahnya saat itu juga.
“Kau…..apa?” Tanyaku tidak sabar.
“Apakah aku….gendut?”
Dan dapat kurasakan saat itu rotasi bumi berubah arah. Kehidupan manusia musnah, dan mammoth kembali hidup.

(Cerita 1)

Monolog Satu: Survive-nya Remaja.


Mulanya, aku memang naif. Tidak bisa—atau lebih tepatnya tidak mau—mengakui kalau popularitas itu nyata keberadaannya. Namun seiring waktu berjalan, kini aku paham, bagaimana semua ini memang berjalan seperti seharusnya. Maksudku, ayolah, ada spasi besar yang membatasi antara mereka, yang menggenggam kepopuleran, dengan kami, yang hanya dapat melihat dari jauh bagaimana cara mereka menggenggam kepopuleran itu. Siapa yang tidak mau populer? Jangan harap akan ada yang mengacungkan tangan, atau berbaris paling depan untuk mengiyakan pertanyaan ini.
            Aku berpikir, apa yang bisa membedakan kami? Oke, pertama pastinya wajah. Catat itu. Terlalu munafik untuk tidak mengakui, kalau kamu bisa menjadi populer dengan wajah good-looking. Kedua? Cara bergaul. Itu pasti. Jangan harap kamu akan melihat seorang yang populer akan berjalan dengan wajah menunduk, atau makan bekal di siang dengan malu-malu. Ketiga? Entahlah. I have no idea. Keempat? Kelima? Keenam? Mungkin sebaiknya kusimpan semua angka itu dalam kotak, dan melemparnya sehingga aku tidak akan berpikir tentang hal bodoh semacam ini.
            Tapi—hey, ayolah. Aku baru menyadari kalau semua yang dilakukan oleh orang-orang—baik itu si populer atau bukan—adalah cara dia untuk tetap bertahan. Maksudku, ini semacam bentuk survive. Orang populer tidak akan bisa mengerti bagaimana cara bertahan di dalam ruang lingkup kesederhanaan, dan begitu juga sebaliknya. Orang yang tidak populer tidak akan mau menjadi populer. Oke, mungkin bukan ‘tidak mau’. Tapi ‘tidak akan bisa’.
            Pada dasarnya, semua orang ingin jadi populer. Ingin banyak dikenal, dan dianggap. Tapi tidak semua orang mampu bertahan dalam ruang lingkup seperti itu. Dan orang-orang yang tidak bisa bertahan itu bukanlah loser. Mereka punya cara sendiri untuk tetap bertahan—dan merasa nyaman.
            So, intinya kita sama. Kita—aku yang tidak populer, dan kamu yang iya—sama-sama punya cara tersendiri untuk bertahan dan dianggap. Intinya? Jadilah diri sendiri. Karena saat kamu jadi dirimu sendiri, kamu akan bisa 'terlihat' sebagaimana kamu apa adanya.