Jumat, 16 Agustus 2013

Original Fiction: OP-11


            Tubuh semampai gadis itu terbujur, kaku. Tak ada deru napas—bahkan yang terlembut sekalipun—juga pergerakan, apalagi daya.

Hanya ada seorang lelaki, yang sekedar mampu mematung di hadapan tubuh itu. Tatapan malasnya menelusuri setiap inci dan setiap lekuk yang dimiliki makhluk hidup tapi tak hidup tersebut.

Perlahan, ia menurunkan tubuh, dan menyejajarkan tempurungnya dengan tubuh tak bernyawa tadi. Kini sebersit penyesalan tersirat dalam manik miliknya. Meski hanya berupa kilatan cepat, dan muncul sepersekian sekon.

“Maafkan aku,” Sambil berbisik, ujung jari Si Pria menyentuh lembut pelipis gadis itu. “Tapi aku harus melakukan ini.”

Dengan mantab, ia mengeluarkan sesuatu dari sebuah tas hitam besar di sampingnya. Sesuatu yang berkilat, walau berada di dalam ruangan remang. Sesuatu yang lancip pada ujungnya, dan mempunyai daun pegangan pada ujung yang lain.

“May,” Ada helaan napas yang tercipta, sebelum ia melanjutkan. “aku tidak akan pernah melupakanmu, juga apa yang akan kamu berikan padaku,”

Tanpa terganggu untuk tetap menatap gadis itu, ia membersihkan ujung lancip benda yang baru saja diambilnya, dengan cairan dari botol yang bertuliskan ‘alkohol’. Tidak butuh waktu lama baginya untuk menyelesaikan itu, karena Si Pria sudah mengembalikan fokusnya pada objek semula.

Kini tatapannya sudah melembut sempurna. Dan tanpa tergesa, ia menunduk, memangkas jarak di antara mereka, dan menyapukan lembut bibirnya pada pipi pucat milik Si Gadis. “Terima kasih, May.” Ujarnya, masih dengan berbisik.

***

....dan sekarang kita berpindah ke kabar duka. Seorang gadis ditemukan tergeletak tak bernyawa di sebuah jalan di pinggiran kota dalam keadaan mengenaskan. Gadis tanpa identitas ini kehilangan beberapa organ bagian dalam tubuhnya. Rasya, saksi sekaligus wanita yang menemukan gadis ini menyatakan, bahwa ia merasa curiga karena melihat…”

“Uh, mengerikan.” Seorang gadis menggelengkan kepalanya, prihatin. Telinganya masih menangkap baik-baik setiap suara yang dihasilkan radio di dekatnya. Setiap kata yang dilontarkan oleh penyiar ditanggapinya dengan heboh. “Si Naga kembali lagi, Al.”

Gadis lain yang diajak bicara hanya mengangkat bahu, tak terlalu acuh. Ia berjalan mendekati meja kasir—yang terletak di sebelah gadis pertama—dan mengecek satu atau dua hal. “Entahlah, Rim. Tapi kurasa kamu benar.”

“Menurutmu polisi kota ini bodoh semua, tidak?” Gadis pertama, yang mengenakan name tag bertuliskan ‘Arimbi’ mengangkat kedua alisnya, meminta atensi lebih. “Masa’ menangkap satu orang penjahat saja susahnya minta ampun? Uh, lagipula, ini bukan kali yang pertama, bukan? Sudah ada sekitar…” Arimbi memainkan jarinya, seolah menghitung. “satu…dua…tiga…empat…” Ia berhenti sejenak. “Oh Tuhan, Al, sudah ada empat korban dengan jenis pembunuhan yang sama. Keempatnya perempuan, dan pasti ditemukan dalam kondisi kehilangan organ bagian dalam tubuhnya.”

Gadis yang dipanggil Al itu hanya mengangguk kecil, masih belum tertarik dengan pembicaraan yang dibawa teman kerjanya. “Kalau begitu, lebih baik kamu ikut berusaha menangkap si penjahat.”

Arimbi memicingkan matanya ke arah Al, dan mendengus kesal karena mendapat respon yang tidak sesuai ekspektasi. “Kalau aku tidak perlu berkutat dengan semua pastry dan minuman di sini, atau bahkan mesin kasir yang sangat ingin aku bobol isinya itu, pasti aku sudah melakukannya. Percayalah.”

Al tertawa kecil. Menyadari sikapnya, ia kemudian bersandar pada meja kasir, dan menatap Arimbi yang masih mendengarkan radio dengan saksama. “Aku percaya. Tapi percaya juga padaku, kalau bekerja di sini akan jauh lebih menyenangkan daripada harus susah payah menangkap penjahat berdarah dingin itu. Maksudku, pasti polisi sudah mengerahkan semua personilnya untuk menangkap orang yang kamu sebut ‘Si Naga itu sejak kasus pertama, dan bahkan mereka saja belum berhasil menemukannya,” Al menyentuh pipi Arimbi dengan ujung telunjuknya, membuat Arimbi sedikit terlonjak. “dan di sini ada seorang gadis yang sedang berada di awal usia 24-nya ingin ikut membantu menyelesaikan masalah itu? Uh, aku bahkan curiga kamu malah akan mengacaukan pencariannya.”

Arimbi menoleh, dan melayangkan tatapan yang sarat akan protes pada Al. Tapi alih-alih menjawab, Arimbi malah menghela napas keras. Membuat poni yang jatuh bebas di keningnya, sedikit tertiup. “Menurutmu Si Naga itu orangnya bagaimana, Al?”

“Apakah memang namanya Naga?” Al mengerutkan kening, balas menjawab dengan pertanyaan.

Yang diajak bicara hanya menggeleng pelan. “Tidak. Aku sengaja memberi nama itu. Mengingat bagaimana kejam dan menyeramkannya ia karena membunuh, dan mengambil organ-organ dalam semua korbannya—korban perempuannya.”

“Tapi Naga terlalu keren.” Berpikir, Al menggigit bibir bawahnya pelan. “Kenapa tidak Si Kambing, atau Si Kodok? Ah, Si Kecoak mungkin lebih bagus untuk mendeskripsikan pembunuh itu.”

“Alexandria,” Dengan pelan Arimbi memukul lengan Al. “Serius, jawab dulu pertanyaanku. Menurutmu, bagaimana tampilan fisik Si Naga?”

“Memangnya penting ya?” Jawabnya, sambil mendecakkan lidah.

Tapi kontra dengan jawabannya, Al malah terlihat berandai-andai, dan benar-benar berusaha membayangkan bagaimana rupa Si Naga. “Hmm,” Al menggumam pelan. “Dalam bayanganku, ia mempunyai wajah tampan, juga berkharisma. Mungkin tipikal casanova.”

Sedikit kaget dengan jawaban yang dilontarkan Al, kedua alis Arimbi bertaut, memperlihatkan keheranan. “Bagaimana bisa seorang pembunuh terlihat berkharisma?”

“Ayolah, semua korbannya perempuan. Secara tidak langsung, itu menunjukkan bagaimana Si Naga punya pesona yang mampu mengikat para perempuan itu.” Lagi, ia mengangkat bahu. “Kalau Si Naga punya wajah yang tidak terlalu ‘menjual’, mana mungkin perempuan-perempuan itu akan mau mengenalnya?”

Taken aback, kedua manik Arimbi melebar. “Analisis yang bagus.” Sambil tertawa, ia bertepuk tangan. “Aku jadi curiga, mungkin kamu yang harusnya menjadi penangkap Si Naga.”

Al balik tertawa, dan mengibaskan tangannya. “Terima kasih, terima kasih. Tapi untungnya aku sudah punya pekerjaan yang sangat baik di sini.”

“Aku baru mendengar ada orang yang menyebut pekerjaan sebagai pelayan adalah pekerjaan yang baik.” Berbeda dengan reaksi awalnya, sekarang Arimbi menunjukkan wajah tidak percayanya.

“Kamu akan mengerti kalau kamu jadi aku, Rim. Aku sudah lama ingin bekerja di sini, di De Supreme.” Al tersenyum lembut. “Dan pekerjaan paling baik adalah pekerjaan yang sesuai dengan keinginanmu. Tidak peduli jenis pekerjaan apa itu, selama kamu menyukainya, pasti akan terasa menyenangkan. Bukankah begitu?”

***

“Kesibukan hari ini tidak terlalu melelahkan.” Arimbi meregangkan otot-otot tangannya, dengan menggerakannya ke atas dan ke bawah.

Suasana jalanan di depan toko pastry tempat mereka bekerja tidak terlalu sibuk. Padahal biasanya, lepas malam begini adalah waktu yang paling memusingkan jika ingin pergi berkeliling kota. Karena di manapun berada, terjebak di antara lautan manusia adalah hal yang mudah terjadi.

“Yeah.” Al mengangguk setuju. “Dan itu sedikit aneh.”

“Mungkin orang-orang takut ke luar rumah karena Si Naga?” Arimbi menoleh ke arah Al, dan mendapati sahabatnya itu hanya bisa menunjukkan ekspresi tidak percayanya.

“Selalu menghubungkan segala sesuatu dengan Si Naga. Aku rasa, aku perlu mereparasi otakmu agar terbebas dari pemikiran tentang manusia itu.”

“Habis aku terlalu penasaran.”

“Curiousity killed the cat, Rim.”

            Bibir Arimbi seketika membentuk garis tipis, seolah menyerah dengan perkataan Alexandria.

            “Sudahlah, lebih baik kita singkirkan topik itu. Sekarang kamu pulang, kemudian cuci kaki dan tanganmu, gosok gigi, dan tidur. Sampai berjumpa besok!” Al melambaikan tangannya, walau sama sekali belum memiliki jarak dengan Arimbi.

            “Sebegitu inginnya kah kamu cepat-cepat berpisah denganku?” Arimbi menggembungkan kedua pipinya, dan menatap Al dengan pandangan terluka yang disengaja.

            “Bukan begitu, Rim.” Al tidak bisa untuk tidak tertawa. “Hanya saja, lebih baik kamu pulang lebih awal. Aku yakin besok akan jadi hari yang melelahkan.”

“Uh, pintar berkilah.” Arimbi mencibir. “Tapi baiklah, Al. Kamu juga. Hati-hati di jalan.” Kini giliran Arimbi yang melambai. Ia kemudian segera berbalik, dan mengambil cepat langkahnya lebar-lebar. Seolah takut akan ada yang mendahului.

            Al tersenyum lebar, dan sekali lagi melambaikan tangan walaupun Arimbi tidak sedang melihat ke arahnya. Lima detik, sepuluh detik, Al masih bergeming pada posisinya. Ia belum juga mengambil satu langkahpun, walaupun Arimbi sudah berjalan semakin jauh—bahkan profilnya sudah mengecil, hingga akhirnya hilang dari jangkauan pandang.

            Sebenarnya Al sedikit khawatir. Semakin Arimbi banyak membicarakan Si Naga, semakin juga dirinya termakan isu itu. Meskipun Arimbi lebih tua satu tahun darinya, terkadang ia bisa jadi bertahun-tahun lebih muda karena sikapnya yang seperti itu; kekanakkan. Dan itu bisa jadi hal yang berbahaya.

            “Bodoh. Ini bukan saatnya khawatir pada wanita yang sebentar lagi menikah.” Al menggumam, dan tertawa kecil.

Setelah berusaha meyakinkan diri kalau semua akan baik-baik saja, Al akhirnya berjalan menuju arah yang berlawanan dengan milik Arimbi. Meninggalkan tempatnya semula berdiri, tanpa sepenuhnya meninggalkan rasa khawatir yang tadi menginvasi.


 Meski sebenarnya, Alexandria tidak perlu juga merasa khawatir terhadap orang lain—apakah ia melupakan fakta kalau ia juga seorang perempuan? Karena bisa jadi hal yang ditakutkannya akan terjadi pada Arimbi itu, malah menghampirinya, dan mendekat ke arahnya.
Who will know?




****