Rabu, 27 Juli 2016

Hyperbolized Non-Fiction: Sibuk

         
Source




                Semua orang yang sedang sibuk menyebalkan. Sungguh, menyebalkan.

         Satu kali, aku mendatangimu. Dan ternyata bukan hanya aku yang ingin bertemu dengan kamu—seluruh orang sepertinya secara tetiba memiliki pemikiran yang sama denganku. Hari itu, aku terlalu menggebu, karena mau.


 

                Dan kamu, sibuk. Terlalu banyak yang menghampiri, sampai sepertinya tak tahu mana yang harus dijadikan nomor satu.

                Saat kukira kesempatanku untuk bertemu dengan kamu telah datang, ketika kita telah berhadapan, dengan nada jengkel kamu berujar, “Silakan ambil tempat di belakang.”. Aku seketika terenyak. Kamu tahu, padahal kamu bukan Donald Trump, tapi waktu itu wajahmu terlihat menyenangkan untuk ditendang.

                “Oh, tunggu dulu?! Bukannya aku yang lebih dulu datang?!” Tapi aku tidak menyuarakannya. Aku terlalu malu—karena kamu lebih memilih orang lain untuk didahulukan. Bukan aku, yang jelas-jelas sudah ada lebih awal!

Maka aku berbalik. Meski enggan, pergi. Namun lebih tak mau menunggu lagi. Bukan masalah waktu, tapi mengenai harga diri.

*

Kedua kali, aku mencoba lagi. Masih sama, ternyata. Kamu tetap seperti itu; sibuk dan kelihatan bosan.

Mungkin kali ini aku beruntung? Karena ternyata, usahaku tidak sia-sia seperti kali terakhir. Kamu memang tak berkata-kata dengan lembut—cenderung seperti mesin yang usang. Apa yang kamu katakan padaku pun sama seperti apa yang kamu bilang kepada yang lainnya.

Aku meminta sesuatu, dan kamu hanya menggumam. Aku pun menunggu. Bayangan perihal apa yang akan kudapat bahkan sudah dapat kurasa. Gila, kalau harus jujur. Tapi aku memang sangat menginginkannya!

Tapi...

Ternyata aku, lagi-lagi, salah.

Setelah menunggu, kamu memang memberikannya padaku. Akan tetapi, sungguh, ini bukanlah apa yang kuinginkan—dan bayanganku rasakan. Apakah aku terlalu berharap? Apakah, kupikir, karena aku telah menunggu lebih lama, apa yang akan kudapat sesuai dengan harapanku? Apakah teori Manajemen Keuangan: high risk, high return perlu dipertanyakan lagi keabsahannya?

Ternyata, lagi-lagi aku harus meredam rasa kecewa yang sebetulnya menyalak. Aku mengatakan. “Loh, kupikir kamu akan memberikan yang lain?”

Dan kamu menjawab, “Itu berbeda.”

Lagi. Aku memang tidak pulang dengan tangan kosong—hey, aku menggenggam apa yang kamu berikan, harus kuakui. Tapi bukanlah apa yang aku inginkan.

Namun sesuatu yang lebih mengerikan baru terjadi: rasa senang semu yang diempas. Sudah semu, kemudian jatuh. Apa ada yang lebih menyedihkan lagi?

*

Kamu tahu, kalau aku belum menyerahh?

Panggil aku keras kepala, sebab ini akan menjadi ketiga kalinya aku coba melempar dadu. Berharap jumlah bulatan yang keluar adalah enam.

Dari jauh, kuperhatikan, kamu tak sedang sibuk. Bahkan tidak ada seorang lain pun bersamamu! Serta dari jauh juga, sudah kukulum senyum seolah dua kali denganmu yang telah kulewati dengan dengus kesal tak terjadi. Ah, mungkin ini saatnya!

Kembali, tak bisa kuhentikan, bayangan tentang menerima sesuatu yang kuinginkan darimu berhamburan. Dibias tiap langkah yang melenggang.

Semakin dekat, semakin dekat. Dan kemudian kita kembali berdekatan. Kamu tengah melakukan sesuatu dengan sebungkus Oreo vanilla. Memisahkan antara krim vanilla dengan dua biskuit yang mengapitnya, kah?

“Permisi,” Ujarku, kemudian.

Kamu tak kelihatan menjawab. Aku menunggu—haruskah aku menuliskan seribu kata tunggu hingga kamu memberi apa yang aku mau?—namun kamu masih belum menunjukan kesadaranmu tentang keberadaanku.

“Permisi, Mas.” Kataku mengulang.

Akhirnya kamu menoleh. Segeralah kamu meninggalkan apapun yang sedang kamu lakukan itu. “Iya, Mbak?” Tanyamu sembari menghampiri.

Dan kamu, tersenyum. Meski kecil. Dan kusadari, aku membalas senyum itu. Bukan sekadar formalitas. Tapi inilah pertama kali dari tiga pertemuan kita, ujung matamu mengerling. “Saya mau crepe banana dengan chocolate ice cream. Kulitnya yang soft aja ya, Mas.”

Kamu mengetik sesuatu. Dan secara mengejutkan, bertanya. “Gak pakai tambahan topping lain?”

Aku tidak mau. Sudah tiga kali datang ke sini untuk apa yang tadi baru kukatakan, tentu aku tak ingin mengganti pesananku. “Memang kalau pakai topping lain ada apa aja?” Secara mengejutkan aku bertanya. Ya, terkadang memang lidahmu memiliki kemampuan gerak yang lebih cepat dari sel-sel otak.

“Ya, macam-macam, Mbak. Ada silverqueen, oreo, di situ pokoknya.” Kamu menunjuk daftar menu yang memperlihatkan daftar topping. Aku pura-pura tertarik dan mengamati. Meski pada akhirnya berkata, “Ah, itu aja deh, Mas.”

“Oke, Mbak.” Kamu menyebutkan jumlah harga yang harus kukeluarkan. Usai menerima kembalian, aku menunggu di pinggir stand.

Ternyata betul. Orang-orang sering berkelakar, “ah, ketiga kalinya dapet piring cantik lo!”. Kalau begitu, mana piring cantikku?

Bahkan untuk sesuatu yang harus kubayar, dan jumlahnya dapat langsung kupenuhi, pun, aku tak bisa langsung mendapatkannya. Kali pertama, setelah cukup lama mengantre, aku—yang telah membayangkan crepe pisang dengan es krim cokelat—diperintahkan untuk kembali mengantre. Mungkin kamu tidak melihatku, Mas? Padahal aku datang lebih dahulu dibandingkan mereka yang kamu utamakan.

Kali kedua, aku mendapat pesanan yang salah. Kupikir kamu mengerti begitu kukatakan, “Saya mau chocolate banana”? Ternyata tidak. Justru, kamu malah menyerahkan crepe yang sudah ternodai butir-butir chocochips secara tak beraturan. Padahal aku sudah mengira kalau kali itu akan kudapatkan si es-krim-cokelat-dan-pisang. Namun ternyata salah. Kelihatannya memang hanya makanan, tapi percayalah: harapan—sekecil apapun itu—yang seketika runtuh adalah salah satu hal terburuk setelah penipuan oleh online shop.

Dan kali ketiga—

“Ini, Mbak.”

Aku secara sengaja membuyarkan seluruh lamunanku, dan menerima sodoran crepe darimu. Lagi, kamu tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Hal yang tidak akan dilakukan dalam keadaan sibuk.

Benar, bukan? Menjadi sibuk itu menyebalkan, sebab hal-hal detail jadi terlupakan. Seperti intonasi yang menyenangkan untuk didengar, irama suara, senyum yang bisa membuat kedua mata mengecil, anggukan kepala, bahkan ucapan sesederhana “terima kasih” bisa tak diacuhkan. Hal-hal detail yang membuat orang lain merasa dihargai dan dianggap keberadaannya. Hal-hal detail yang jika dilakukan, tak akan merenggut seluruh waktu dari dua-puluh empat jam yang dimiliki.

Dan percayalah, menjadi sibuk membuatmu lupa  potong kuku!