Minggu, 22 Desember 2013

Resensi '1Q84 Jilid 1'

1Q84 Jilid 1


           

Judul                           : 1Q84 Jilid 1
pengarang                    : Haruki Murakami
penerbit                       : PT Gramedia
tebal                            : 516 halaman
cetakan / tahun            : I / Mei2013
harga                           : 72.000 rupiah




Sekarang tahun 1Q84. Ini adalah dunia sejati, tak ada keraguan dalam hal itu. Tapi di dunia ini, ada dua bulan menggantung di langit. Di dunia ini, takdir dua manusia, Tengo dan Aomame berkelindan erat. Masing-masing dengan caranya sendiri, terlibat dalam sesuatu yang mengundang bahaya. Dan di dunia ini, tampaknya tak ada cara untuk menyelamatkan keduanya. Sesuatu yang dahsyat sedang bergerak.”



Sinopsis singkat:

            Terdiri atas 24 bab, Murakami memusatkan cerita pada dua manusia asal Jepang yang hidup di tahun 1984: Aomame dan Tengo.

Aomame adalah seorang wanita yang berada di akhir usia 20, dan Tengo merupakan lelaki di awal umur 30. Aomame dan Tengo adalah bentuk nyata dari kesendirian, juga kesepian. Keduanya sama-sama memiliki masa lalu tak menyenangkan, yang enggan mereka ingat. Masa lalu yang berkaitan dengan keluarga dan kebebasan.. Masa lalu yang membuat keduanya terhubung melalui benang merah tak kasatmata. Diawali sebuah ‘perkenalan’ kecil di sekolah dasar saat mereka berusia 10 tahun, ternyata perkenalan itu masih membekas di relung keduanya. Selama 20 tahun mereka saling merindu, namun tak bisa berdaya apa-apa.

Tetapi tanpa disadari, keganjilan yang tiba-tiba muncul pada dunia di mana Aomame dan Tengo tinggal membawa mereka kembali berada dalam jalur kereta yang sama. Jalur yang berbeda dari kehidupan sebelumnya, yang tidak dirasakan orang lain terkecuali mereka sendiri dan beberapa orang terpilih lainnya. Jalur yang membuat kesadaran dan logika jungkir balik. Jalur yang disebut Aomame dengan 1Q84. ‘Q’ yang melambangkan question mark, yang menandakan tanda tanya besar atas keanehan beruntun yang terjadi pada dunia tempatnya berada, di tahun 1984. Dan tanpa disadari, Tengo pun ternyata ambil bagian dalam keanehan tersebut. Membuat keduanya kembali harus bersua, demi meluruskan apa yang telah terjadi, pun mempersiapkan diri atas apa yang akan terjadi.

 

Judul yang unik, dan sampul yang menarik. Entah pengaruh nama Murakami yang tercetak pada cover atau memang sinopsis cerita yang cukup membuat penasaran, tanpa pikir panjang saya langsung tarik novel ini dari rak dan memutuskan untuk membacanya.

Haruki Murakami tidak pernah berhenti menyihir dengan sastra, dan sejarah. Kebudayaan Jepang yang ada pada tiap kelim frasanya selalu mampu membuat siapa saja yang membacanya terhanyut, meski pada awalnya tak setitikpun menaruh atensi pada negara di bagian Asia Timur ini. Deskripsi yang luar biasa, dan runutan rapi setiap peristiwa dapat dengan mudah menenggelamkan pembaca dalam arus cerita.

Banyak pelajaran, sejarah, informasi, dan hal-hal baru yang dapat diketahui seusai membaca ‘1Q84 Jilid 1’ ini. Terutama yang berhubungan dengan sejarah dan Jepang. Selain itu, bahasa Murakami selalu mengalir, dan perumpamaan yang digunakannya selalu tepat. Kemandirian dan kerja keras yang dilakukan oleh tokoh-tokoh utama akan membuat siapa saja yang membaca berpikir, ‘Iya ya, kalau aku begini, kenapa tidak melakukan ini...’ dan—percaya atau tidak—akan membuatmu melihat agama dari sisi yang lain. Melalui 1Q84 dapat ditangkap kalau kita menganut agama, itu bukan karena apa yang dijanjikan agama tersebut. Tapi karena kepercayaan, dan kesesuaian hati kita terhadap ajaran yang diberikan.

            Namun sayang sekali, saya kurang bisa merasakan emosi yang disalurkan para tokoh ketika mereka bercakap. Mungkin karena watak tiap tokoh dalam cerita ini memang tidak terlalu pandai mengekspresikan perasaannya, sehingga yang bisa saya tangkap kebanyakan hanya gerakan-gerakan fisik yang kurang sempurna mewakili perkataan mereka.

            Selebihnya, keseluruhan isi buku lebih dari sekadar ‘bagus’. Salah satu karya yang sangat-amat direkomendasikan untuk dibaca. Karena seperti tadi dikatakan, membaca ‘1Q84 Jilid 1’ bukan hanya membaca fiksi, namun sekaligus non-fiksi dan buku pelajaran sejarah. Atau bisa jadi ensiklopedia juga. Kebaikan apa yang kita bisa kita dapat dari buku ini, bergantung dari apa tujuan kita membacanya. Sesuai dengan ungkapan Aristoteles yang dikutip salah seorang tokoh, Komatsu, pada halaman 285 baris ke-27:

“segala kesenian dan segala penelitian, serta segala tindakan dan segala ikhtiar, dimaksudkan bertujuan untuk mencapai kebaikan. Oleh karena itu, benarlah apabila kebaikan dicanangkan sebagai tujuan dari segalanya.”

            Selain itu, sudah dipastikan hal pertama yang ingin dilakukan setelah membaca ‘1Q84 Jilid 1’ adalah membeli ‘1Q84 Jilid 2’, secepat mungkin.

***

Senin, 16 Desember 2013

Fanfiction: (Estée Lauder: Red Tango)

(inspired by Estée Lauder's lipstick and our beloved duizhang, EXO's Kris)

“Yang benar saja, Kris Wu?!”

            Suho marah. Sangat marah. Kedua telapak tangannya berulang kali mengacak rambut, kemudian mengusap wajah dengan kasar, dan diselipkan ke dalam saku celananya. Secara teratur, pergerakan tangan Suho membentuk siklus yang sangat menyiratkan jika dirinya sedang dalam keadaan tak baik .

            “Bagaimana mungkin cincinnya bisa hilang?!” Satu teriakan lagi dihasilkan Suho. Masih dengan nada sebal yang terdengar jelas.

            “Aku kan tidak sengaja,” Akhirnya, objek amarah Suho pun menjawab. Kris Wu. Kris yang terduduk dengan kedua tangan sebagai tumpuan kepala sama terlihat menyedihkannya dengan Suho. Namun jenis tatapannya yang disorotkan keduanya berbeda: Suho melayangkan pandangan penuh kekesalan, sedangkan milik Kris adalah penyesalan. “lagipula ini hanya cincin, kan? Aku yakin kau bisa membeli yang lebih baik daripada...”

            Perkataan Kris terhenti begitu Suho menoleh ke arahnya, dan menransferkan energi negatif. Membuat Kris terdiskriminasi. Suho tidak pernah—atau mungkin jarang—memperlihatkan kemarahannya. Dan jika ia sudah melakukannya, itu berarti sesuatu yang sangat salah telah terjadi.

            “Oke, maafkan aku. Maksudku, aku pasti akan mencari cincin itu. Sampai ketemu. Aku janji.” Kris mengangguk keras-keras, dibarengi dengan kedua kelopak matanya yang dibuka selebar yang ia bisa.

            “Tentu saja harus.” Suho melipat kedua tangannya di dada. “Pernikahanku akan dilaksanakan tiga hari lagi. Dan aku tidak punya waktu untuk membeli cincin baru.”

            Kris masih setia dengan gerakannya—mengangguk dengan terpaksa. Yeah, apa yang bisa dilakukannya selain mengangguk? Yang terpenting sekarang adalah ia, setidaknya, bisa meredam emosi Suho yang meledak-ledak.

            “Jika kau tidak bisa menemukan cincin itu kurang dari tiga hari,” Pria yang lebih muda berjalan mendekati kursi yang diduduki Kris. Dengan tatapan menelanjangi bak sinar X, ia melanjutkan. “maka kau harus mengganti uang cincin itu tiga kali lipat. Mengerti?”

***

            “Sial. Apa semua orang yang hendak menikah jadi lebih sensitif?” Kris Wu membuka kaleng minuman sodanya dengan asal. Ia masih tak habis pikir, Suho yang biasanya selalu menahan emosi bisa jadi sebegitu kejam terhadap dirinya. Apalagi ini menyangkut masalah uang—secara teknis membeli cincin harus menggunakan uang, bukan?—yang biasanya tak pernah lelaki dengan jidat sempurna itu permasalahkan.

            “Bukan begitu, Kris,” Xi Luhan, yang sekitar sepuluh menit lalu baru tiba di apartment Kris, ikut membuka kaleng minuman rasa apel miliknya. “kau sudah menghilangkan cincin pernikahan yang tiga hari lagi akan Suho gunakan. Kau sudah diberi amanat untuk menjaga cincin itu dengan baik. Tapi dengan cerobohnya, kau menyimpan cincin itu di saku celanamu. Tentu saja dia akan marah. Karena kalau aku jadi dirinya, aku pun akan melakukan hal yang sama.”

            Kris mendengus, dan meneguk isi kaleng cepat-cepat. Pikirannya masih melayang ke saat dua jam lalu, di mana Suho mengancamnya harus mengganti uang cincin dengan harga selangit sebanyak tiga kali lipat jika ia tak berhasil menemukan benda berwarna perak tersebut. “Gila. Dari mana aku harus mendapat uang sebanyak itu?” Tanpa sadar Kris menggumam, setelah kaleng yang ada di genggamannya kosong.

            “Kalau begitu, carilah cincinnya sampai ketemu.” Luhan yang mendengar ucapan Kris menimpali.

            “Kau pikir mencari cincin yang hilang di acara bachelor party itu mudah?”

            Kedua indera pengelihatan Luhan melebar ketika mendengar kata ‘bachelor party’. “Ah, aku tahu!”

            Pria yang lebih jangkung menoleh ke arah Luhan, tak terlalu acuh. “Tahu apa? Tahu di mana aku bisa meminjam uang untuk mengganti cincin Suho?”

            “Bukan, Bodoh.” Yang ditanya hanya mendelik. “Kau tadi bilang melalui telepon kalau ada jejak lipstick pada bagian leher button-up putihmu?”

            Berpikir sejenak, Kris kemudian mengangguk. “Itu pasti bekas bibir salah seorang stripper yang tadi malam ada di acara pesta lajangnya Suho. Kenapa memang?”

            Eww menjijikan. Apa yang semalam kau lakukan dengan wanita stripper itu?”

            “Ia memberitahuku beberapa resep masakan,” Kedua alis Kris naik dan senyum manis merekah di bibirnya. “tentu saja dia menemaniku, Xi Luhan. Memang mau apa lagi?” Senyuman Kris langsung tergantikan ekspresi menyernyit; seakan tak habis pikir kenapa Luhan masih bertanya apa yang telah ia lakukan dengan seorang stripper tadi malam.

            Luhan mengangguk-angguk, mencoba mencerna informasi yang didapatnya. “Apa kau tahu siapa saja stripper yang ada tadi malam hadir? Kau tahu siapa namanya? Atau kalau perlu rumahnya?”

            “Memangnya kau pikir para stripper itu mengisi absensi pada sebuah kertas? Kau kira ini acara seminar, huh?”

            “Kau ingat dengan siapa tadi malam kau...” Luhan mengangkat telunjuk, dan mengarahkannya tepat ke wajah Kris. “begitulah. Ingat tidak?”

            Kembali, Kris berusaha menyentuh semua ingatannya tadi malam. Dari mulai apa yang dia lakukan, dengan siapa ia bersama, dan apa yang ia minum. “Ah, sial.” Kris mendesis, membuat Luhan tahu kalau lelaki ini tak mampu meraba apa-apa dalam otaknya. “Tadi malam, setelah aku minum satu gelas, aku langsung tak sadarkan diri.” Dengan tatapan yang dibuat semenyesal mungkin, Kris memandang Luhan. “Bagaimana ini?”

            Pasrah, Xi Luhan mendecak. “Kalau kau tahu kau adalah peminum yang buruk, lebih baik kau tak perlu minum barang seteguk, tahu?”

            “Lalu menurutmu, aku harus minum sirup rasa strawberry di saat semua orang menyesap alkohol?”

            “Ya.” Luhan hanya mengangkat bahu, seolah itu bukan sesuatu yang penting. “Kutanya kau sekali lagi, dan jika kau menjawab dengan ketidaktahuan maka aku menyerah.”

            Dengan anggukan lemah Kris pun menjawab. Ia memasang indera pendengarannya baik-baik, siap menerima apa yang akan Luhan tanyakan.

            “Kau tahu siapa yang membawa para stripper itu?”

            “Chen...?” Sedikit ragu, Kris menyipitkan matanya. “Kenapa? Kau mau mengundang para stripper itu juga? Untuk acara apa? Jangan lupa mengundangku, okay?”

            Tepat saat itu, Luhan harus menahan keinginannya untuk mencabik habis pria kekanakan di hadapannya. Tolong, tapi bagaimana bisa dalam keadaan genting seperti ini, ia berkelakuan menyebalkan dan tak acuh? “Telepon Chen untuk datang ke sini, sekarang. Dan tanyakan padanya, siapa-siapa saja stripper yang tadi malam ia undang. Dengan begitu kita bisa tahu siapa saja wanita yang berkemungkinan menghabiskan malam bersamamu kemarin.”

            Mengerjap beberapa kali, Kris masih terdiam: terlihat masih belum paham dengan apa yang Luhan katakan. “Jadi...aku harus?”

            “Telepon Chen sekarang juga! Oh, Tuhan.”

***

            “Kalian tahu ‘kan, aku sedang tidur siang?”

            Chen, masih dengan kelopak mata yang beberapa mili-senti lagi tertutup sempurna, menodongkan bantal yang semula tergeletak di sofa ke arah Luhan, kemudian Kris.

            “Kami butuh bantuanmu, Kim Jongdae.” Luhan mengambil bantal yang ada di genggaman Chen.

            Chen sendiri hanya menyandarkan tubuh, dan menghela napas berat. “Apa? Kalian mau apa?”

            “Kau tahu siapa saja stripper yang kau undang tadi malam ke pesta lajang milik Suho?” Kris memajukan tubuhnya dan memandang Chen skeptis. Ia sendiri tak yakin Chen akan mampu mengingat siapa-siapa saja wanita yang ia hadirkan di bachelor party kemarin.

            “Tentu saja,” Diinterupsi dengan menguap, Chen melanjutkan. “ada Kim JaeNa, Choi MaeRi, dan Lee NaJung. Kenapa? Apa kau tertarik pada salah satu di antara mereka? Uh, aku sendiri sih paling menyukai Kim JaeNa; wajahnya memang tidak terlalu cantik, tapi dia punya—AW!”

            Bantal berbentuk bujur sangkar yang semula ada di tangan Luhan kini tanpa halangan mendarat di pangkuan Chen, setelah sebelumnya mengantuk wajah pria itu. Kedua mata Chen yang semula sudah tak berdaya mendadak terbuka lebar—sangat lebar.

            “Ya, Xi Luhan! Apa yang kau lakukan? Kau mau membuatku tersedak karena bantal itu?!”

            “Memangnya bantal itu bisa masuk ke dalam mulutmu bulat-bulat?!”

            “Memang tidak! Tapi jika bantal itu—“

            “Hey, Xi Luhan! Kim Jongdae! Kenapa kalian jadi membicarakan bantal?!” Kini Kris-lah yang mengambil bantal tersebut dan mengapitnya dengan tulang paha; tak mengizinkan siapapun menjadikan bantal sebagai alasan untuk mengubah arah obrolan. “Chen, apa kau tahu dengan siapa tadi malam aku bersama?” Kris mengembalikan topik pembicaraan pada jalur yang seharusnya. Walau pada awalnya ia tak terlalu ambil pusing dengan masalah stripper ini, bayangan uang tiga kali lipat yang menghantuinya membuat ia berpikir tidak ada salah mencoba mencari tahu.

            “Mana kutahu.” Chen yang masih kesal mengerutkan kening. “Memangnya kenapa?”

            “Cincin pernikaha milik Suho yang ia titipkan pada Kris hilang,” Papar Luhan. “Dan cincin itu terakhir kali ada di saku celana Kris pada malam bachelor party.”

            “Jadi maksudmu, salah satu di antara stripper itu adalah pencuri cincin Suho?”

        “Kau mengatakan kata ‘pencuri’ seolah-olah ini adalah kasus pencurian di Museum Henley.” Komentar Kris. “Tapi, ya, kukira bisa dikatakan seperti itu. Memang siapa lagi? Tidak mungkin yang mencuri salah satu dari aku, kau, Luhan, Suho—sangat konyol—, Sehun, Chanyeol, Baekhyun, Lay, Tao, Kyungsoo, Kai atau Xiumin, bukan?”

         Chen menggumamkan kata ‘hm’, dan Luhan mengamini. Masing-masing tenggelam dalam pemikiran, dan kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa saja terjadi.

            “Kalau begitu, aku minta alamat dan nomor telepon semua stripper yang kau undang. Akan kudatangi mereka satu-persatu untuk memastikan hipotesis kita memang terbukti.”

            Luhan dan Chen saling bertatapan. Meski kerlingan pertidaksetujuan sedikit terpancar, mereka tetap mengiyakan. Tak ada pilihan lain untuk dicoba. Bukankah begitu?

***

(1)

Sabtu, 16 November 2013

Fiction: The Dragon


p.s:
terinspirasi dari Kris EXO.
***  

           
Aku tidak ingin ada di sini.
Beberapa kali aku merasa hidungku sangat gatal. Beberapa kali aku mengambil napas agak keras. Beberapa kali aku menutupi hidungku dengan buku catatan kemerahan di tangan. Dan beberapa kali itu juga puluhan pasang mata di dalam ruangan seminar ini menatap tepat ke arahku—akibat suara hirupan napasku yang tidak bisa dibilang biasa—dengan pandangan sama; tajam dan mengintimidasi. Sementara aku, sebagai tokoh utama, hanya bisa menunduk dan menyembunyikan wajahku sedalam mungkin.
Tidak ada yang bisa menyaingi kesialanku hari ini. Uh, bahkan Si Bryan The Bad Luck. Bayangkan saja. Sekarang, dalam keadaanku yang sedang tidak terlalu baik karena flu dan pening yang menjalar sampai ke ubun-ubun, aku harus terjebak di antara ratusan anak manusia di dalam sebuah ballroom dengan tulisan ‘How To Pass The Pastry’ di bagian muka ruangan. Ini semua karena kakakku yang semestinya berada di sini—Demi Tuhan, bukan aku—karena mendapat satu undangan istimewa dari tempat kerjanya, dari salah satu restoran terkenal di pusat kota.
Dan entah bagaimana plot jelasnya, sekarang malah aku yang harus bergelut dengan berbagai macam tulisan berisi tektek-bengek tentang pastry. Yang dapat aku ingat hanya ancaman kakakku, yang mengatakan kalau aku tidak mau menggantikannya datang ke acara ini, maka tidak akan ada makan malam untuk tiga hari ke depan—ini sudah sering dilakukannya. Ayolah, tidak ada makan malam untuk tiga hari adalah kata lain dari kematian. Padahal aku sudah menunjukkan wajah paling memelas yang aku punya, tapi kakakku masih tidak memberikan sedikitpun belas kasihannya. Betapa aku sangat mengaguminya.
“… Ah, bagaimana? Apakah kalian sudah mencatat bahan-bahan untuk membuatnya?”
Aku melirik ke arah Si Pembicara di depan ruangan seminar—dengan sempurna, ia mengempaskan semua pemikiranku yang sedang melayang tak menentu dengan pertanyaan konyolnya. Tolong, siapa yang mau repot-repot menulis bahan untuk sebuah pastry? Walau aku memang seminar adalah tempat yang biasa digunakan untuk hal seperti ini, aku hanya heran, apakah orang itu tidak mengenal kata internet?
Aku mendengus, risih.
Ah, bagus sekali. Dengan bodohnya aku melupakan fakta atas apa yang sedang terjadi dengan hidung ini. Sesuatu terasa mengalir pada rongga hidungku. Crap. Cepat-cepat, aku—lagi—menarik napas keras-keras, hingga menimbulkan sebuah bunyi yang…menjijikan. Sungguh, ampunilah kakakku, Tuhan.
Tapi setidaknya, ini lebih baik daripada membiarkan sesuatu itu turun bebas dari rongga hidungku. Bukankah begitu?
“Umh, Nona?”
Bisa kurasakan sebuah suara yang cukup dalam membuat membran timpani kiriku bervibrasi. Sedikit, aku menoleh ke arah datangnya suara itu.
Seorang pria—dia belum terlalu tua sepertinya—, uh tidak, maksudku pemuda, yang duduk di sebelah kiri kursiku kini sedang menatap tepat ke irisku. Jika diibaratkan sedang memanah, hujaman tatapannya mendapat nilai sempurna. Oh ya, apakah aku sudah mengatakan kalau tatapannya itu dalam—sedalam suaranya—?
“Ya?” Jawabku sekenanya. Lelaki ini memiliki pandangan yang membuatmu bisa lupa siapa, apa, dan sedang berada di mana kamu sekarang.
“Bisakah kamu berhenti menarik napas keras-keras? Juga, berhenti menutupi hidungmu dengan buku catatan itu?”
Mendengar rentetan kata miliknya, kedua alisku secara impuls menyatu. Lihat siapa yang bicara? Siapa memangnya laki-laki ini sampai memberiku sebuah perintah? “Maksudmu?”
Ia menghela napas pelan. “Aku tahu ini kurang sopan, tapi jujur, sejak awal aku duduk di sebelahmu, semua sikapmu sepanjang seminar ini menggangguku.”
Secara mental, aku sudah jatuh terjungkal dari kursi. Apa? Mengganggunya? “Aku mengganggumu? Maafkan aku,tapi aku rasa aku tidak melakukan satu hal pun yang aneh terhadapmu. Lagipula, jika memang kamu terganggu, kamu bisa pindah dari sini. Masih banyak kursi kosong, bukan?” Aku mengibaskan tanganku, menyentakkan pembicaraan, dan apapun yang akan dikatakannya.
Lelaki itu kembali menghela napas. Dan secara tidak jelas, aku bisa melihatnya memutar bola mata. Apa-apaan ini? Sangat tidak santun.
Aku mendecakkan lidah dan mengembalikan fokus ke Si Pembicara. Bahkan, walaupun paras pemuda di sebelahku ini jauh lebih nyaman dipandang daripada Si Pembicara, aku akan lebih memilih untuk memusatkan perhatian pada orang yang kusebutkan kedua, yang sekarang tengah asyik bercuap tentang sejarah sebuah kudapan asal Italia. Setidaknya Si Pembicara tidak mengatakan apapun soal ganggu-mengganggu.
Mendadak, aku merasakan sesuatu jatuh di atas pangkuanku. Terkejut, aku langsung menoleh ke arah—yang kalau bukan dia, maka siapa lagi?—Si Pemuda. Tanpa melihat apa yang diberikannya, aku membuka mulut, bersiap untuk menyerangnya dengan runtutan kata. Tapi ternyata ia lebih cepat. Ia memotong perkataanku, bahkan tanpa aku sempat mulai bicara. “Gunakan sapu tangan itu.” Dagunya menunjuk ke arah pangkuanku. Dan secara otomatis, aku mengikuti arah gerakan dagunya.
Sebuah sapu tangan putih.
Well, apa maksudnya? Apa ia pikir aku tidak memiliki sapu tangan? Oke, mungkin sekarang aku tidak membawa satupun sapu tanganku, tapi aku bersumpah aku punya satu kotak penuh sapu tangan dengan berbagai warna dan renda. “Aku tahu kamu punya sapu tangan, tapi apa gunanya itu kalau sekarang kamu tidak membawanya?” Ia berucap, seolah membaca pikiranku.
Perlahan, aku mendongak. Dan manikku kembali disambut oleh iris kecokelatan milik lawan pembicarku ini. Lagi, aku seolah tenggelam dalam menebak apa yang ada di dalam iris itu, hingga mampu membuat tatapan yang sebegitu dalamnya.
Tanpa sadar, intensitas kalor di tubuhku meningkat, menimbulkan panas yang membua seluruh cairan tubuh makin mencair, bahkan mungkin akan menguap. Pening di kepalaku banyak berkurang, dan sedikit meninggalkan bekas. Termasuk sesuatu yang sedari tadi mengganggu indera penciumanku. Aku tidak lagi merasa ada cairan yang mendesak minta dikeluarkan dari dalam hidung. Ada sesuatu yang lain, yang meminta untuk dikeluarkan. Hanya saja ini datangnya dari bagian perutku, yang aku tidak tahu apa itu.
“Nona, mengucapkan terima kasih jauh lebih baik dibandingkan menatapku seperti itu.” Sebelah alis tebal miliknya naik. Beberapa detik setelah terlibat dalam stare war,  ia segera menoleh ke depan, tanpa mengatakan apa-apa lagi. Meninggalkan aku yang masih nyaman dengan wajah pilon seperti ini.
Ah, apa yang aku lakukan? Aku menggeleng cepat, menyentakkan pemikiranku yang entah sudah berapa kali untuk hari ini, melayang. Dan dengan sangat perlahan, aku menunduk. Memerhatikan apa yang diberikan Si Pemuda. Ujung telunjukku menyentuh sapu tangan tersebut. Hingga akhirnya buku-buku jariku tiba pada sebuah alur jahitan yang terdapat di bagian ujung benda itu. Alur jahitan berwarna keemasan, yang cukup kontras dengan warna dasarnya. Alur jahitan yang bukan hanya sekedar jahitan, tapi membentuk kata;
The Dragon.
***
“…Baiklah calon patisserie terbaik di dunia, perjumpaan untuk hari ini, saya rasa cukup sampai di sini. Besok acara ini masih akan diselenggarakan, tentunya dengan tema yang berbeda. Besok kita akan berjumpa dengan kudapan dari Timur Tengah. Siapa yang tidak sabar dengan kudapan jenis ini?” Si Pembicara menaikkan sebelah tangannya, mirip seperti guru taman kanak-kanak yang meminta jawaban muridnya.
Riuh sahutan memenuhi ruangan untuk beberapa saat, membuat Si Pembicara seolah jadi orang paling bahagia karena atensi yang diterimanya. Apapun itu, aku sekarang ingin cepat pulang dan juga—
Tiba-tiba kursi di sebelahku berderik. Kursi Si Pemuda. Kursi milik The Dragon—bagaimana aku memanggilnya setelah menemukan jahitan dengan kata serupa di sapu tangan miliknya. Refleks aku menoleh ke arah kiri, dan menemukan profil The Dragon yang sudah berdiri, dan mengambil langkah menuju ke luar ruangan.
Tunggu dulu. Kalau ia pergi sekarang, maka bagaimana dengan sapu tangan ini?
Tanpa memedulikan acara yang belum berakhir secara resmi, aku mengikuti arah pergi The Dragon. Sambil menggumamkan kata ‘permisi’ dan ‘maaf’, aku berusaha menerobos barisan kaki yang seolah membentuk ranjau.
Begitu berada di luar ruangan, mataku langsung bergerak mencari sosok lelaki itu. Aku rasa, aku baru menyadari kalau ia memiliki postur kaki yang panjang—terbukti dari seberapa cepat ia mampu mengambil langkah dalam waktu sebentar. Tapi nasib masih berpihak ke padaku, karena ternyata aku masih mampu melihat punggung The Dragon. Ah, I got you, Boy!
Sambil setengah berlari, aku berusaha mengejar The Dragon. Lima meter, tiga meter, satu meter. Dan akhirnya…
“Hey!” Agak keras, aku menepuk pundak lelaki itu. Karena tidak terlalu memerhatikan jarak antara aku dan dia, tanpa bisa dikendalikan, tubuhku menabrak punggungnya.
Beruntung, berkat posturnya yang ternyata jauh lebih tinggi dari perkiraanku sebelumnya, aku tidak terjatuh dan berakhir dalam posisi yang sering muncul dalam cerita roman picisan. “Apa ini bentuk rasa terima kasihmu, Nona?” Suaranya masih sama: dalam dan tak acuh. Ia berbalik, tidak begitu memusingkan tubuhku yang sedikit terdorong karena pergerakannya.
“Uh, b-bukan begitu,” Aku meringis, dan aku tahu ini bukan saat yang tepat untuk terlihat konyol. Tapi sial bagi hormon pengendalian ekspresiku. “Aku mengikutimu karena ingin mengembalikan ini.” Sedikit ragu, aku menyodorkan benda miliknya, yang beberapa jam lalu ia berikan.
Pandangan The Dragon mengikuti pergerakan tanganku. Kalau tadi hanya sebelah alisnya yang terangkat, kini kedua alis yang mengingatkanku pada angry bird itu terangkat. “Maksudmu, aku harus membawa pulang sesuatu yang baru saja kau pakai?”
Bingung, aku mengerutkan kening. Apa maksudnya ia—oh, oh. Aku paham. Mendengus kecil, aku menatap The Dragon kesal. “Aku belum menggunakannya, kok. Lagipula, secara mendadak flu-ku lenyap begitu saja. Jadi, keadaan sapu tangan ini masih sama seperti saat kamu memberikannya padaku.” Aku masih menyodorkan sapu tangannya, dan ia masih bergeming. Posisi ini tetap sama selama beberapa saat, hingga aku merasa suasana di luar mulai ramai karena dipenuhi orang-orang yang baru ke luar dari dalam ruang seminar. Tidak, kami tidak bisa dilihat orang dalam keadaan janggal seperti ini. “T-tapi kalau kamu ragu, aku bisa mencucinya.” Menyerah, aku pun menarik kembali tanganku dan memasukkan sapu tangannya ke dalam saku celana. “Apakah besok kamu akan datang lagi…ke sini?”
The Dragon sedikit mengangkat kepalanya. Untuk kali ketiga dalam hari ini, pandangan miliknya mengunci milikku. Jarak kami terlalu dekat—setidaknya itu menurutku—sampai aku bisa melihat rambut kecokelatannya, yang senada dengan maniknya, tertata tak beraturan. Apakah memang potongan rambutnya seperti itu? Atau memang ia tidak menyisir rambutnya secara tuntas? “Memang apa hubungannya denganmu?”
Tersentak, aku mengerjap beberapa kali. Ah, benar. Aku masih dalam pembicaraan dengan laki-laki di hadapanku ini. “Tentu saja berhubungan. Kalau jawabanmu iya, maka besok aku akan mengembalikan sapu tangan ini. Kalau tidak, kita bisa berjumpa kali lain.:
Si pemilik sapu tangan mengangguk-angguk kecil. “Kalau begitu, besok aku tidak akan datang ke sini.”
Terpengarah dengan jawabannya, aku memiringkan kepalaku seolah memastikan. “Jadi bagaimana cara aku mengembalikan sapu tanganmu?”
Entah salah melihat, atau aku memang benar-benar melihat, ia menyeringai tipis. Seringai yang mirip dengan salah satu pemain watak yang memainkan peran sebagai tokoh flamboyan di salah satu acara televisi.
Dalam hitungan detik, jarak antara aku dan The Dragon semakin terpangkas. Aku merasa semakin kecil, dan semakin sesak napas. Dalam jarak yang bisa dibilang lebih dari sekedar dekat, bisa kulihat alis tebal milik pemuda ini benar-benar tebal. Dan pada bagian kanannya, ada tiga guratan yang membuat susunan rambut itu terlihat seperti baru dicakar kucing. Apakah ia sengaja membuat alisnya seperti itu? Dan sekali lagi, di luar kesadaranku, aku mengerutkan kening akibat pemikiran yang melayang karena The Dragon.
“Kalau begitu,” Ia kembali bersuara, membuatku kembali memfokuskan diri padanya. “berikan aku nomor ponselmu. Nanti akan kuberi tahu di mana kita akan bertemu. Bagaimana?”
Dalam keadaan terperanjat, kontan kedua mataku melebar. A-apa? “N-nomor ponselku?”
Oh, God. Ke mana perginya flu dan pening yang sedari kemarin bersemayam di tubuhku?
***