Senin, 14 November 2016

Bad, Good Things Happen.

Hal baik terjadi. Hal buruk tak bisa dihindari.

Mengenyahkan rasa kesal setelah hal kurang baik menimpa memang tak mudah:

 

ketika episode terakhir drama yang telah kamu ikuti sejak episode pertama ternyata mengecewakan;

hujan lebat menyapamu tepat di depan gerbang saat kamu mengira semua hal akan berjalan lancar;

uang kembalian yang kamu dapat dari kasir minimarket lusuh, sobek sana-sini;

kendaraan bermotor yang membunyikan klakson keras-keras dan ditujukan kepada kendaraan yang sedang kamu tumpangi;

orang-orang salah mengeja namamu;

makanan dalam kemasan yang sempat terlupakan, dan saat teringat ternyata telah melewati waktu kedaluwarsanya;

bentuk telur mata sapi buatanmu yang tak beraturan;

hingga seseorang yang masuk ke dalam kamarmu tanpa mengetuk pintu atau bersuara terlebih dahulu.


Tapi kamu bisa melakukannya.

Sebab masih banyak hal lain yang secara tak sadar membuatmu mengulum senyum:


ketika kamu bisa mendapatkan barang yang kamu butuhkan di minimarket, yang hanya tinggal tersisa satu;

penjaja makanan di pinggir jalan yang memberikan bonus tambahan ke dalam porsi pesananmu;

memasuki kamar yang sudah dalam keadaan rapi setelah beraktivitas di luar seharian;

menemukan bolpoin favorit yang kamu pikir telah lenyap tak jelas rimbanya;

melihat seorang lelaki setengah abad yang berada di dalam toko pernak-pernik serba merah muda untuk mencari ikat rambut bagi anak gadisnya;

menemukan selembar uang terselip di dalam saku celana jeans-mu;

mengetahui tim sepak bola kesukaanmu menang dengan skor terpaut jauh;

mempunyai seseorang, atau bahkan banyak orang, yang secara tulus ingin mendengar apa ceritamu hari ini.

 

Ada banyak lagi sebenarnya, yang tak mungkin aku sebutkan satu-persatu karena, ya, selalu ada batas untuk segala hal, bukan?


Jumat, 21 Oktober 2016

Tentang Takut

Ketika satu hari ketakutan itu datang, beriringanlah ia dengan sebaris pertanyaan.

Apa yang ditakutkan?

Setiap alasan berujung lancip. Seluruhnya terasa pagan. Semuanya melumpuhkan pesat logika.

Semula, ini tentang kenangan yang melinting hari-hari terdahulu.

Maka aku takut ketika kamu masih dengan baik mengingat tiap kelim seluruh memori. Meskipun tak ada yang berdigdaya hingga akhir selain Allah, kenangan lah yang terus bertahan sampai kamu memang tak lagi mampu mengaisnya.

Kemudian tentang jejak yang masih tertinggal. Atau sengaja ditinggalkan, karena dulu kamu pikir kenangan itu masih dapat dirajut. Masih bisa disambung. Walau kenyataannya tidak.

Maka aku ragu, perlukah aku mencucuh jejak yang sama? Akankah terasa sama? Mampukah menghapus jejak yang telah dibuat sebelumnya?
Dan rasa mengguruhkan bantahan. Jejak lama itu seluruhnya menentang hukum alam. Mereka tak makin aus ketika dihablur waktu. Membuat perasaan takut, sebab kamu akan kembali mengegah di tiap jejak itu, terasa wajar.

Satu lagi, perkara ujung jemari milik dirinya yang mampu menelusuri sulur nalarmu dengan baik.

Maka aku lara, saat tahu dimensi waktunya denganmu berlipat kali milik kita. Bagaimana telah istimewa tempatnya dalam ceritamu. Bagaimana kesederhanaan figurnya yang mengagumkan. Bagaimana ia selalu membuatku merasa kecil. Kerap bergema ketidakyakinan atas diriku sendiri, begitu namanya disebut.

Percayalah, hal tersebut menyebalkan. Perasaan tersebut memuakkan.

Namun belakangan ini, aku paham satu hal. Semuanya karena hati kecil ini mulai berkata,
"Rasa takut itu, kau yang buat. Maka cuma kau juga yang bisa menghilangkannya."

Entah berapa ratus kali orang sekitar menyambit sedihmu dengan kata-kata penyemangat. Tak kenal berapa kali kamu membaca rentetan kata-kata mutiara dalam buku self-help. Semua itu, kamu sendirilah yang bisa menentukan: takut atau tidak.

Aku sendirilah yang bisa.

 ***

The ending, was not supposed to end just like that, actually.
But I'm already standing at the edge of my conscious stage; I'm way so sleepy zzzzZzzzzzZzzzzZZZ.

Minggu, 09 Oktober 2016

The Lie.



I just could care less about the fact that I'm just that drop-dead ugly whenever I'm crying. Dang ya, John Legend you're obviously lying by saying "even when you're crying you're beautiful too"
Er, wait. Or it's only referring to your wife, John? Okay, whatever. This post won't be given a 'Dear John' title too so I'll just pass it now.

Rabu, 27 Juli 2016

Hyperbolized Non-Fiction: Sibuk

         
Source




                Semua orang yang sedang sibuk menyebalkan. Sungguh, menyebalkan.

         Satu kali, aku mendatangimu. Dan ternyata bukan hanya aku yang ingin bertemu dengan kamu—seluruh orang sepertinya secara tetiba memiliki pemikiran yang sama denganku. Hari itu, aku terlalu menggebu, karena mau.


 

                Dan kamu, sibuk. Terlalu banyak yang menghampiri, sampai sepertinya tak tahu mana yang harus dijadikan nomor satu.

                Saat kukira kesempatanku untuk bertemu dengan kamu telah datang, ketika kita telah berhadapan, dengan nada jengkel kamu berujar, “Silakan ambil tempat di belakang.”. Aku seketika terenyak. Kamu tahu, padahal kamu bukan Donald Trump, tapi waktu itu wajahmu terlihat menyenangkan untuk ditendang.

                “Oh, tunggu dulu?! Bukannya aku yang lebih dulu datang?!” Tapi aku tidak menyuarakannya. Aku terlalu malu—karena kamu lebih memilih orang lain untuk didahulukan. Bukan aku, yang jelas-jelas sudah ada lebih awal!

Maka aku berbalik. Meski enggan, pergi. Namun lebih tak mau menunggu lagi. Bukan masalah waktu, tapi mengenai harga diri.

*

Kedua kali, aku mencoba lagi. Masih sama, ternyata. Kamu tetap seperti itu; sibuk dan kelihatan bosan.

Mungkin kali ini aku beruntung? Karena ternyata, usahaku tidak sia-sia seperti kali terakhir. Kamu memang tak berkata-kata dengan lembut—cenderung seperti mesin yang usang. Apa yang kamu katakan padaku pun sama seperti apa yang kamu bilang kepada yang lainnya.

Aku meminta sesuatu, dan kamu hanya menggumam. Aku pun menunggu. Bayangan perihal apa yang akan kudapat bahkan sudah dapat kurasa. Gila, kalau harus jujur. Tapi aku memang sangat menginginkannya!

Tapi...

Ternyata aku, lagi-lagi, salah.

Setelah menunggu, kamu memang memberikannya padaku. Akan tetapi, sungguh, ini bukanlah apa yang kuinginkan—dan bayanganku rasakan. Apakah aku terlalu berharap? Apakah, kupikir, karena aku telah menunggu lebih lama, apa yang akan kudapat sesuai dengan harapanku? Apakah teori Manajemen Keuangan: high risk, high return perlu dipertanyakan lagi keabsahannya?

Ternyata, lagi-lagi aku harus meredam rasa kecewa yang sebetulnya menyalak. Aku mengatakan. “Loh, kupikir kamu akan memberikan yang lain?”

Dan kamu menjawab, “Itu berbeda.”

Lagi. Aku memang tidak pulang dengan tangan kosong—hey, aku menggenggam apa yang kamu berikan, harus kuakui. Tapi bukanlah apa yang aku inginkan.

Namun sesuatu yang lebih mengerikan baru terjadi: rasa senang semu yang diempas. Sudah semu, kemudian jatuh. Apa ada yang lebih menyedihkan lagi?

*

Kamu tahu, kalau aku belum menyerahh?

Panggil aku keras kepala, sebab ini akan menjadi ketiga kalinya aku coba melempar dadu. Berharap jumlah bulatan yang keluar adalah enam.

Dari jauh, kuperhatikan, kamu tak sedang sibuk. Bahkan tidak ada seorang lain pun bersamamu! Serta dari jauh juga, sudah kukulum senyum seolah dua kali denganmu yang telah kulewati dengan dengus kesal tak terjadi. Ah, mungkin ini saatnya!

Kembali, tak bisa kuhentikan, bayangan tentang menerima sesuatu yang kuinginkan darimu berhamburan. Dibias tiap langkah yang melenggang.

Semakin dekat, semakin dekat. Dan kemudian kita kembali berdekatan. Kamu tengah melakukan sesuatu dengan sebungkus Oreo vanilla. Memisahkan antara krim vanilla dengan dua biskuit yang mengapitnya, kah?

“Permisi,” Ujarku, kemudian.

Kamu tak kelihatan menjawab. Aku menunggu—haruskah aku menuliskan seribu kata tunggu hingga kamu memberi apa yang aku mau?—namun kamu masih belum menunjukan kesadaranmu tentang keberadaanku.

“Permisi, Mas.” Kataku mengulang.

Akhirnya kamu menoleh. Segeralah kamu meninggalkan apapun yang sedang kamu lakukan itu. “Iya, Mbak?” Tanyamu sembari menghampiri.

Dan kamu, tersenyum. Meski kecil. Dan kusadari, aku membalas senyum itu. Bukan sekadar formalitas. Tapi inilah pertama kali dari tiga pertemuan kita, ujung matamu mengerling. “Saya mau crepe banana dengan chocolate ice cream. Kulitnya yang soft aja ya, Mas.”

Kamu mengetik sesuatu. Dan secara mengejutkan, bertanya. “Gak pakai tambahan topping lain?”

Aku tidak mau. Sudah tiga kali datang ke sini untuk apa yang tadi baru kukatakan, tentu aku tak ingin mengganti pesananku. “Memang kalau pakai topping lain ada apa aja?” Secara mengejutkan aku bertanya. Ya, terkadang memang lidahmu memiliki kemampuan gerak yang lebih cepat dari sel-sel otak.

“Ya, macam-macam, Mbak. Ada silverqueen, oreo, di situ pokoknya.” Kamu menunjuk daftar menu yang memperlihatkan daftar topping. Aku pura-pura tertarik dan mengamati. Meski pada akhirnya berkata, “Ah, itu aja deh, Mas.”

“Oke, Mbak.” Kamu menyebutkan jumlah harga yang harus kukeluarkan. Usai menerima kembalian, aku menunggu di pinggir stand.

Ternyata betul. Orang-orang sering berkelakar, “ah, ketiga kalinya dapet piring cantik lo!”. Kalau begitu, mana piring cantikku?

Bahkan untuk sesuatu yang harus kubayar, dan jumlahnya dapat langsung kupenuhi, pun, aku tak bisa langsung mendapatkannya. Kali pertama, setelah cukup lama mengantre, aku—yang telah membayangkan crepe pisang dengan es krim cokelat—diperintahkan untuk kembali mengantre. Mungkin kamu tidak melihatku, Mas? Padahal aku datang lebih dahulu dibandingkan mereka yang kamu utamakan.

Kali kedua, aku mendapat pesanan yang salah. Kupikir kamu mengerti begitu kukatakan, “Saya mau chocolate banana”? Ternyata tidak. Justru, kamu malah menyerahkan crepe yang sudah ternodai butir-butir chocochips secara tak beraturan. Padahal aku sudah mengira kalau kali itu akan kudapatkan si es-krim-cokelat-dan-pisang. Namun ternyata salah. Kelihatannya memang hanya makanan, tapi percayalah: harapan—sekecil apapun itu—yang seketika runtuh adalah salah satu hal terburuk setelah penipuan oleh online shop.

Dan kali ketiga—

“Ini, Mbak.”

Aku secara sengaja membuyarkan seluruh lamunanku, dan menerima sodoran crepe darimu. Lagi, kamu tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Hal yang tidak akan dilakukan dalam keadaan sibuk.

Benar, bukan? Menjadi sibuk itu menyebalkan, sebab hal-hal detail jadi terlupakan. Seperti intonasi yang menyenangkan untuk didengar, irama suara, senyum yang bisa membuat kedua mata mengecil, anggukan kepala, bahkan ucapan sesederhana “terima kasih” bisa tak diacuhkan. Hal-hal detail yang membuat orang lain merasa dihargai dan dianggap keberadaannya. Hal-hal detail yang jika dilakukan, tak akan merenggut seluruh waktu dari dua-puluh empat jam yang dimiliki.

Dan percayalah, menjadi sibuk membuatmu lupa  potong kuku!

Kamis, 21 April 2016

Dawn's Rants: This is What Happens When You Can't Sleep

I do not usually spare my time to write rants on this blog.

But this dawn is going to be an exception.

A short rants would not hurt anyone, would it?

 

"That's why you never need a cup of coffee.

Because you're the caffeine yourself."

Minggu, 27 Maret 2016

Video: Lyn's We Used to Love

So, actually, it's an old song (though I do not know the exact year of its release), but I've just discovered the music video.


I like, no, really like its story-line.


Go, watch it!


Lyn-We Used to Love

Jumat, 19 Februari 2016

Senin, 15 Februari 2016

Not Going to 'Caffeine' Myself!

Because everyone has their own taste for drink;
some might love iced, or hot coffee,
some might like tea, with or without sugar, 
and others are just fond of mineral water;
because they simply avoid the chance of being paralyzed 
by caffeine.
 *


I consider myself as the one who chooses mineral water.
I do not detest coffee nor do I dislike teaI used to have a dream to be having a side-job as a barista, in my own coffee shop and tea makes me at ease whenever I feel burdened!