Sabtu, 16 November 2013

Fiction: The Dragon


p.s:
terinspirasi dari Kris EXO.
***  

           
Aku tidak ingin ada di sini.
Beberapa kali aku merasa hidungku sangat gatal. Beberapa kali aku mengambil napas agak keras. Beberapa kali aku menutupi hidungku dengan buku catatan kemerahan di tangan. Dan beberapa kali itu juga puluhan pasang mata di dalam ruangan seminar ini menatap tepat ke arahku—akibat suara hirupan napasku yang tidak bisa dibilang biasa—dengan pandangan sama; tajam dan mengintimidasi. Sementara aku, sebagai tokoh utama, hanya bisa menunduk dan menyembunyikan wajahku sedalam mungkin.
Tidak ada yang bisa menyaingi kesialanku hari ini. Uh, bahkan Si Bryan The Bad Luck. Bayangkan saja. Sekarang, dalam keadaanku yang sedang tidak terlalu baik karena flu dan pening yang menjalar sampai ke ubun-ubun, aku harus terjebak di antara ratusan anak manusia di dalam sebuah ballroom dengan tulisan ‘How To Pass The Pastry’ di bagian muka ruangan. Ini semua karena kakakku yang semestinya berada di sini—Demi Tuhan, bukan aku—karena mendapat satu undangan istimewa dari tempat kerjanya, dari salah satu restoran terkenal di pusat kota.
Dan entah bagaimana plot jelasnya, sekarang malah aku yang harus bergelut dengan berbagai macam tulisan berisi tektek-bengek tentang pastry. Yang dapat aku ingat hanya ancaman kakakku, yang mengatakan kalau aku tidak mau menggantikannya datang ke acara ini, maka tidak akan ada makan malam untuk tiga hari ke depan—ini sudah sering dilakukannya. Ayolah, tidak ada makan malam untuk tiga hari adalah kata lain dari kematian. Padahal aku sudah menunjukkan wajah paling memelas yang aku punya, tapi kakakku masih tidak memberikan sedikitpun belas kasihannya. Betapa aku sangat mengaguminya.
“… Ah, bagaimana? Apakah kalian sudah mencatat bahan-bahan untuk membuatnya?”
Aku melirik ke arah Si Pembicara di depan ruangan seminar—dengan sempurna, ia mengempaskan semua pemikiranku yang sedang melayang tak menentu dengan pertanyaan konyolnya. Tolong, siapa yang mau repot-repot menulis bahan untuk sebuah pastry? Walau aku memang seminar adalah tempat yang biasa digunakan untuk hal seperti ini, aku hanya heran, apakah orang itu tidak mengenal kata internet?
Aku mendengus, risih.
Ah, bagus sekali. Dengan bodohnya aku melupakan fakta atas apa yang sedang terjadi dengan hidung ini. Sesuatu terasa mengalir pada rongga hidungku. Crap. Cepat-cepat, aku—lagi—menarik napas keras-keras, hingga menimbulkan sebuah bunyi yang…menjijikan. Sungguh, ampunilah kakakku, Tuhan.
Tapi setidaknya, ini lebih baik daripada membiarkan sesuatu itu turun bebas dari rongga hidungku. Bukankah begitu?
“Umh, Nona?”
Bisa kurasakan sebuah suara yang cukup dalam membuat membran timpani kiriku bervibrasi. Sedikit, aku menoleh ke arah datangnya suara itu.
Seorang pria—dia belum terlalu tua sepertinya—, uh tidak, maksudku pemuda, yang duduk di sebelah kiri kursiku kini sedang menatap tepat ke irisku. Jika diibaratkan sedang memanah, hujaman tatapannya mendapat nilai sempurna. Oh ya, apakah aku sudah mengatakan kalau tatapannya itu dalam—sedalam suaranya—?
“Ya?” Jawabku sekenanya. Lelaki ini memiliki pandangan yang membuatmu bisa lupa siapa, apa, dan sedang berada di mana kamu sekarang.
“Bisakah kamu berhenti menarik napas keras-keras? Juga, berhenti menutupi hidungmu dengan buku catatan itu?”
Mendengar rentetan kata miliknya, kedua alisku secara impuls menyatu. Lihat siapa yang bicara? Siapa memangnya laki-laki ini sampai memberiku sebuah perintah? “Maksudmu?”
Ia menghela napas pelan. “Aku tahu ini kurang sopan, tapi jujur, sejak awal aku duduk di sebelahmu, semua sikapmu sepanjang seminar ini menggangguku.”
Secara mental, aku sudah jatuh terjungkal dari kursi. Apa? Mengganggunya? “Aku mengganggumu? Maafkan aku,tapi aku rasa aku tidak melakukan satu hal pun yang aneh terhadapmu. Lagipula, jika memang kamu terganggu, kamu bisa pindah dari sini. Masih banyak kursi kosong, bukan?” Aku mengibaskan tanganku, menyentakkan pembicaraan, dan apapun yang akan dikatakannya.
Lelaki itu kembali menghela napas. Dan secara tidak jelas, aku bisa melihatnya memutar bola mata. Apa-apaan ini? Sangat tidak santun.
Aku mendecakkan lidah dan mengembalikan fokus ke Si Pembicara. Bahkan, walaupun paras pemuda di sebelahku ini jauh lebih nyaman dipandang daripada Si Pembicara, aku akan lebih memilih untuk memusatkan perhatian pada orang yang kusebutkan kedua, yang sekarang tengah asyik bercuap tentang sejarah sebuah kudapan asal Italia. Setidaknya Si Pembicara tidak mengatakan apapun soal ganggu-mengganggu.
Mendadak, aku merasakan sesuatu jatuh di atas pangkuanku. Terkejut, aku langsung menoleh ke arah—yang kalau bukan dia, maka siapa lagi?—Si Pemuda. Tanpa melihat apa yang diberikannya, aku membuka mulut, bersiap untuk menyerangnya dengan runtutan kata. Tapi ternyata ia lebih cepat. Ia memotong perkataanku, bahkan tanpa aku sempat mulai bicara. “Gunakan sapu tangan itu.” Dagunya menunjuk ke arah pangkuanku. Dan secara otomatis, aku mengikuti arah gerakan dagunya.
Sebuah sapu tangan putih.
Well, apa maksudnya? Apa ia pikir aku tidak memiliki sapu tangan? Oke, mungkin sekarang aku tidak membawa satupun sapu tanganku, tapi aku bersumpah aku punya satu kotak penuh sapu tangan dengan berbagai warna dan renda. “Aku tahu kamu punya sapu tangan, tapi apa gunanya itu kalau sekarang kamu tidak membawanya?” Ia berucap, seolah membaca pikiranku.
Perlahan, aku mendongak. Dan manikku kembali disambut oleh iris kecokelatan milik lawan pembicarku ini. Lagi, aku seolah tenggelam dalam menebak apa yang ada di dalam iris itu, hingga mampu membuat tatapan yang sebegitu dalamnya.
Tanpa sadar, intensitas kalor di tubuhku meningkat, menimbulkan panas yang membua seluruh cairan tubuh makin mencair, bahkan mungkin akan menguap. Pening di kepalaku banyak berkurang, dan sedikit meninggalkan bekas. Termasuk sesuatu yang sedari tadi mengganggu indera penciumanku. Aku tidak lagi merasa ada cairan yang mendesak minta dikeluarkan dari dalam hidung. Ada sesuatu yang lain, yang meminta untuk dikeluarkan. Hanya saja ini datangnya dari bagian perutku, yang aku tidak tahu apa itu.
“Nona, mengucapkan terima kasih jauh lebih baik dibandingkan menatapku seperti itu.” Sebelah alis tebal miliknya naik. Beberapa detik setelah terlibat dalam stare war,  ia segera menoleh ke depan, tanpa mengatakan apa-apa lagi. Meninggalkan aku yang masih nyaman dengan wajah pilon seperti ini.
Ah, apa yang aku lakukan? Aku menggeleng cepat, menyentakkan pemikiranku yang entah sudah berapa kali untuk hari ini, melayang. Dan dengan sangat perlahan, aku menunduk. Memerhatikan apa yang diberikan Si Pemuda. Ujung telunjukku menyentuh sapu tangan tersebut. Hingga akhirnya buku-buku jariku tiba pada sebuah alur jahitan yang terdapat di bagian ujung benda itu. Alur jahitan berwarna keemasan, yang cukup kontras dengan warna dasarnya. Alur jahitan yang bukan hanya sekedar jahitan, tapi membentuk kata;
The Dragon.
***
“…Baiklah calon patisserie terbaik di dunia, perjumpaan untuk hari ini, saya rasa cukup sampai di sini. Besok acara ini masih akan diselenggarakan, tentunya dengan tema yang berbeda. Besok kita akan berjumpa dengan kudapan dari Timur Tengah. Siapa yang tidak sabar dengan kudapan jenis ini?” Si Pembicara menaikkan sebelah tangannya, mirip seperti guru taman kanak-kanak yang meminta jawaban muridnya.
Riuh sahutan memenuhi ruangan untuk beberapa saat, membuat Si Pembicara seolah jadi orang paling bahagia karena atensi yang diterimanya. Apapun itu, aku sekarang ingin cepat pulang dan juga—
Tiba-tiba kursi di sebelahku berderik. Kursi Si Pemuda. Kursi milik The Dragon—bagaimana aku memanggilnya setelah menemukan jahitan dengan kata serupa di sapu tangan miliknya. Refleks aku menoleh ke arah kiri, dan menemukan profil The Dragon yang sudah berdiri, dan mengambil langkah menuju ke luar ruangan.
Tunggu dulu. Kalau ia pergi sekarang, maka bagaimana dengan sapu tangan ini?
Tanpa memedulikan acara yang belum berakhir secara resmi, aku mengikuti arah pergi The Dragon. Sambil menggumamkan kata ‘permisi’ dan ‘maaf’, aku berusaha menerobos barisan kaki yang seolah membentuk ranjau.
Begitu berada di luar ruangan, mataku langsung bergerak mencari sosok lelaki itu. Aku rasa, aku baru menyadari kalau ia memiliki postur kaki yang panjang—terbukti dari seberapa cepat ia mampu mengambil langkah dalam waktu sebentar. Tapi nasib masih berpihak ke padaku, karena ternyata aku masih mampu melihat punggung The Dragon. Ah, I got you, Boy!
Sambil setengah berlari, aku berusaha mengejar The Dragon. Lima meter, tiga meter, satu meter. Dan akhirnya…
“Hey!” Agak keras, aku menepuk pundak lelaki itu. Karena tidak terlalu memerhatikan jarak antara aku dan dia, tanpa bisa dikendalikan, tubuhku menabrak punggungnya.
Beruntung, berkat posturnya yang ternyata jauh lebih tinggi dari perkiraanku sebelumnya, aku tidak terjatuh dan berakhir dalam posisi yang sering muncul dalam cerita roman picisan. “Apa ini bentuk rasa terima kasihmu, Nona?” Suaranya masih sama: dalam dan tak acuh. Ia berbalik, tidak begitu memusingkan tubuhku yang sedikit terdorong karena pergerakannya.
“Uh, b-bukan begitu,” Aku meringis, dan aku tahu ini bukan saat yang tepat untuk terlihat konyol. Tapi sial bagi hormon pengendalian ekspresiku. “Aku mengikutimu karena ingin mengembalikan ini.” Sedikit ragu, aku menyodorkan benda miliknya, yang beberapa jam lalu ia berikan.
Pandangan The Dragon mengikuti pergerakan tanganku. Kalau tadi hanya sebelah alisnya yang terangkat, kini kedua alis yang mengingatkanku pada angry bird itu terangkat. “Maksudmu, aku harus membawa pulang sesuatu yang baru saja kau pakai?”
Bingung, aku mengerutkan kening. Apa maksudnya ia—oh, oh. Aku paham. Mendengus kecil, aku menatap The Dragon kesal. “Aku belum menggunakannya, kok. Lagipula, secara mendadak flu-ku lenyap begitu saja. Jadi, keadaan sapu tangan ini masih sama seperti saat kamu memberikannya padaku.” Aku masih menyodorkan sapu tangannya, dan ia masih bergeming. Posisi ini tetap sama selama beberapa saat, hingga aku merasa suasana di luar mulai ramai karena dipenuhi orang-orang yang baru ke luar dari dalam ruang seminar. Tidak, kami tidak bisa dilihat orang dalam keadaan janggal seperti ini. “T-tapi kalau kamu ragu, aku bisa mencucinya.” Menyerah, aku pun menarik kembali tanganku dan memasukkan sapu tangannya ke dalam saku celana. “Apakah besok kamu akan datang lagi…ke sini?”
The Dragon sedikit mengangkat kepalanya. Untuk kali ketiga dalam hari ini, pandangan miliknya mengunci milikku. Jarak kami terlalu dekat—setidaknya itu menurutku—sampai aku bisa melihat rambut kecokelatannya, yang senada dengan maniknya, tertata tak beraturan. Apakah memang potongan rambutnya seperti itu? Atau memang ia tidak menyisir rambutnya secara tuntas? “Memang apa hubungannya denganmu?”
Tersentak, aku mengerjap beberapa kali. Ah, benar. Aku masih dalam pembicaraan dengan laki-laki di hadapanku ini. “Tentu saja berhubungan. Kalau jawabanmu iya, maka besok aku akan mengembalikan sapu tangan ini. Kalau tidak, kita bisa berjumpa kali lain.:
Si pemilik sapu tangan mengangguk-angguk kecil. “Kalau begitu, besok aku tidak akan datang ke sini.”
Terpengarah dengan jawabannya, aku memiringkan kepalaku seolah memastikan. “Jadi bagaimana cara aku mengembalikan sapu tanganmu?”
Entah salah melihat, atau aku memang benar-benar melihat, ia menyeringai tipis. Seringai yang mirip dengan salah satu pemain watak yang memainkan peran sebagai tokoh flamboyan di salah satu acara televisi.
Dalam hitungan detik, jarak antara aku dan The Dragon semakin terpangkas. Aku merasa semakin kecil, dan semakin sesak napas. Dalam jarak yang bisa dibilang lebih dari sekedar dekat, bisa kulihat alis tebal milik pemuda ini benar-benar tebal. Dan pada bagian kanannya, ada tiga guratan yang membuat susunan rambut itu terlihat seperti baru dicakar kucing. Apakah ia sengaja membuat alisnya seperti itu? Dan sekali lagi, di luar kesadaranku, aku mengerutkan kening akibat pemikiran yang melayang karena The Dragon.
“Kalau begitu,” Ia kembali bersuara, membuatku kembali memfokuskan diri padanya. “berikan aku nomor ponselmu. Nanti akan kuberi tahu di mana kita akan bertemu. Bagaimana?”
Dalam keadaan terperanjat, kontan kedua mataku melebar. A-apa? “N-nomor ponselku?”
Oh, God. Ke mana perginya flu dan pening yang sedari kemarin bersemayam di tubuhku?
***






           
           

Fanfiction: Green Tea


p.s:
aku sangat yakin, setiap orang akan dengan senang hati memasangkan Kris Wu dari EXO dengan green tea frappe, favoritnya. 

***

Apa orang ini gak bisa lebih lama lagi?
Aku melirik sebal ke arah lelaki yang berdiri di hadapanku. Lelaki yang sebaliknya, sama sekali tidak melihat--apalagi balik memerhatikan--keeksistensianku yang jelas-jelas sedang merutukinya. Oh, ayolah, orang ini sudah berdiri lima belas menit di barisan antrean, dan dia masih belum bisa memutuskan apa yang akan dipesannya? Gosh, memangnya dia pikir ini coffee shop milik ayahnya, apa?
Tolong dicatat, coffee shop ini milik ayahku, tahu. Bukan ayahnya.
Okay, sebenarnya aku pun sama sekali tidak ingin ada di sini, di kedai kopi milik Ayah, yang khusus untuk hari ini ditinggal tiga pekerjanya sehubungan dengan Mid-Day Autumn. Aku lebih memilih tidur seharian di rumah tanpa ada gangguan, dibanding harus berkutat sebagai barista dadakan, whose work won’t be given, even, a little damn from Dad. Sebagus apapun hasil kreasiku membuat para pengunjung keluar dari kedai ini dengan wajah sumringah, Ayah akan tetap menganggap kalau aku masih harus banyak belajar untuk meneruskan usahanya. Lagipula memangnya sinkron ya tiga orang pekerja dewasa digantikan oleh satu orang gadis yang bahkan belum genap menginjak 19 tahun?
Tapi tunggu. Satu catatan lagi, aku juga sama sekali tidak mau meneruskan usaha Ayah yang--well, katanya--dibangun dari nol besar, sampai sebesar ini. Ya, walaupun memang tidak sebesar Starbucks, setidaknya ini jauh lebih besar dari warung kopi di pinggir jalan.
“Masih belum tahu pesanan Anda, Pak?” Mulai gerah, akhirnya aku angkat bicara. Kata-kata terakhirku pada laki-laki ini adalah, ‘Anda mau pesan apa?’ sekitar sepuluh lima lalu, yang kemudian dijawabnya dengan ‘Tunggu sebentar.’. Yeah, sebentar.
Laki-laki itu menoleh ke arahku. Akhirnya, ke arahku. Alhasil, secara mental aku melakukan tarian kemenangan karena berhasil membuatnya memusatkan perhatian pada gadis yang sedari tadi menunggunya untuk mengatakan sesuatu. “Pak? Memangnya aku kelihatan setua itu?”
Mendengar jawaban non-formalnya yang jauh dari ekspektasi, aku mengerutkan kening dalam-dalam. Sedikit ragu, aku memerhatikan wajah dan profil lawan bicaraku dengan lebih saksama.
Tidak terlalu tua, sih. Mungkin dia ada di tahun yang sama denganku. Mungkin. “Memang itu yang harus saya katakan terhadap pelanggan.” Sebisa mungkin kuatur nada suaraku agar tetap terdengar sopan dan welcome. Meski yang ada, aku yang ingin menggosokkan keset bertuliskan welcome ke wajah lelaki ini.
Ia hanya mengangkat bahu, seolah pembicaraan ini sama sekali tidak penting dan tidak layak untuk dilanjutkan. “Aku bingung harus pesan apa. Mungkin kau menyarankan sesuatu?”
Aku memajukan sedikit wajahku, dan menunjukkan wajah tak berekspresi. “Maksud Anda--“
“Oh, please.” Menyela omonganku, ia mengibaskan satu tangannya tepat di atas mesin kasir yang sedari tadi menjadi pemisah di antara kami. “Stop ber-Anda-Saya, karena aku yakin aku sedang tidak bicara dengan seorang dosen kolot di kampus. Letakan formalitas itu jauh-jauh, Nona.”
Menaikkan kedua alis, aku hanya mengangguk-angguk paham, sembari sedikit melirik ke arah belakang pemuda tersebut. Kurasa aku perlu bersyukur karena tidak ada pengunjung lain yang ada di baris antrean. Atau tidak juga? Mengingat itu berarti aku tidak punya alasan untuk mengusir pelanggan yang satu ini? “Okay, kalau begitu jenis kopi apa yang kau suka?” Sebisa mungkin kuladeni orang gila di hadapanku.
“Aku?” Ia menunjuk dirinya sendiri, seolah mempertanyakan apakah aku bertanya padanya, atau pada orang lain–yang entah siapa. “Aku tidak suka kopi.”
Sedikit ternganga, tanpa sadar wajahku semakin dekat pada wajah miliknya--bisa jadi saraf pengendalian wajahku sedikit terganggu, atau apapun itu, karena secara refleks aku akan memajukan wajah jika ada sesuatu yang kurasa kurang kerasan.
Jadi…
Jenis orang gila apa yang datang ke coffee shop ini, Tuhan? Apa ini hukuman buatku karena tadi pagi telat bangun untuk melaksanakan ibadah?
Kalau tidak ada pengunjung lain di dalam sini, maka aku pasti sudah meloncat ke atas Si Lelaki untuk kemudian memberinya sedikit bagian pikiranku tentangnya, dengan cara yang tidak terlalu bersahabat.
   “Kalau kau tidak menyukai kopi, maka sudah sangat jelas kau salah untuk datang ke tempat ini. Di depan jelas tertera ‘Bi Coffee’, bukan?”
“Tapi aku ingin memesan sesuatu di sini dan–hey, apakah ini caramu memuaskan keinginan pelanggan?”
Ambigu. Lain kali mungkin aku akan pura-pura mati supaya Ayah tidak menyuruhku menjaga kedainya. Ya, akan kulakukan.
Menarik napas agak dalam dan mengembuskannya dengan perlahan, aku kembali menatap Pelanggan-di-Kedai-Kopi-yang-Tidak-Menyukai-Kopi tepat di maniknya. “Bagaimana kalau green tea?”
Si Pemuda balik menatapku sama intensnya, seolah menyiratkan tantangan. Uh, kelihatannya aku terlalu berlebihan. Sebenarnya ia menatapku dengan pandangan biasa. Hanya saja, kedua alisnya yang tebal membuat tatapannya lebih tajam, bak berusaha menelanjangi pikiran orang yang ditatapnya.
Hey, kenapa aku malah memerhatikan alisnya?
“Aku rasa green tea cocok untuk orang yang tidak menyukai kopi tapi malah datang ke kedai kopi.” Kembali, aku berusaha meyakinkannya. Habis ia tidak juga menunjukkan reaksi barang secuil.
“Boleh, kalau begitu. Green tea ukuran tall satu.”
Akhirnya…
“Baik. Green tea tall satu. Apa ada yang lain?”
Bukannya menjawab, ia malah tertawa kecil. Suaranya yang dalam ikut bergetar.
Pertama, apa yang lucu?
Kedua, kenapa tawanya terdengar…uh, alluring?
Ketiga, bagaimana bisa wajahnya yang di awal terlihat sedikit menyeramkan begitu berbeda begitu ia tertawa? Entahlah, seolah seseorang menaruh lampu kecil di tengah-tengah akuarium yang gelap. Memang tawa yang kecil, tapi mampu membuat seluruh bagian wajahnya yang semula temaram jadi lebih terang.
Dan keempat, kenapa aku kembali memerhatikannya?
Yeah. Sial.
“Terpesona, Nona?”
Impuls, aku menggelengkan kepala satu kali. Mengenyahkan apapun yang membuat pikiranku berkelana ke barat, ke timur, kemudian kembali lagi ke barat.
Apa ia bilang? Terpesona?
“A-Apa ada yang ingin dipesan lagi?” Mengabaikan pertanyaannya, aku mengutak-atik mesin kasir, sok sibuk.
Lagi, ia tertawa. Namun sekarang lebih pelan. Apa mungkin ia mencium gelagat salah tingkahku? “Jika memesan satu minuman saja butuh dua puluh menit, menurutmu bagaimana dengan tambahan pesanan lain? Mungkin aku butuh seharian penuh untuk itu.”
Aku menggigit bagian dalam pipiku, berusaha tidak terbawa suasana yang makin lama makin nyaman. Aku pun selekas mungkin menyebut harga minuman yang dipesannya.
Ia kemudian mengeluarkan beberapa lembar uang dari dalam dompet. Dan sebelum menyerahkannya padaku, untuk kesekian kali bundaran legam miliknya menatap milikku dengan jenis piercing gaze. Tapi piercing gaze yang lembut. Ah, mana ada jenis tatapan galak yang lembut? Mungkin tatapan yang--
“Kris.” Mendadak suaranya berpendar. Terpilin udara di sekitar kami, hingga akhirnya mampu ditangkap telingaku. Pikiranku kembali pada objek di hadapanku. Kris? Kris apa? “Namaku Kris. Kris Wu.”

Minggu, 10 November 2013

Rekomendasi Fanfiction! (I)

Ada yang suka baca fanfiction?
Same here!
But personally, I love reading fanfiction with EXO’s Kris as the main character *diskriminasi*
Eh tapi serius,terkadang ‘siapa’ pemeran utama dalam suatu fanfiction itu memengaruhi keseluruhan isi cerita, loh.
Contohnya, aku kurang suka kalau harus membaca fanfiction dengan pairing yaoi (sesama jenis) atau Kris dengan member girl group tertentu. Jadi membaca fanfiction juga ada kualifikasinya, ya.
Ah, tapi ternyata gak semua kpopers suka membaca fanfiction dan gak semua non-kpopers anti membaca fanfiction.
Karena sebenarnya, fanfiction itu cuma sekedar meminjam nama kpop-idol atau figur publik, dan isi cerita atau plot bergantung pada masing-masing penulis.
Dan sekarang, aku mau sedikit berbagi tentang beberapa fanfiction terbaik yang pernah kubaca (tentunya dengan karakter utama our duizhang; Kris aka Wu Yi Fan, dari boy group EXO!)
Here we go:
1.       Maybe Next Time (A “Bad Boy” Side Story) by kfanfiction on asianfanfics.com
Di sini, kita punya oh-so-real-Kris. Kris yang selalu digadang punya sifat asli dingin dan pendiam dan cuek dan apapun itu namanya ditunjukkan dengan jelas dalam plot. Buatku, ini adalah fanfiction terbaik yang pernah aku baca. Alurnya sederhana, tapi ‘ngena’. Benar-benar terasa nyata, dan (entah mungkin hanya aku) berasa jadi pemeran utama perempuannya. Salah satu alasan yang membuat fanfiction ini jadi favorit adalah sifat pemeran utama perempuan bernama Hyunsoo yang independen. Ibaratnya, emansipator perempuan banget, deh. Kalau kamu Kris-stan, maka wajib baca ini.

Quotes favorit: “I’m not flirtatious. But I’m hardly modest.”



2.       Sleepless by thecafewriter on asianfanfics.com
Kalau mau merasakan sensasi membaca fanfiction Kris dengan dirinya sebagai idol, maka diharuskan membaca ini. Sedikit berbau angst, lah. Apalagi di akhir. Tapi nggak klise. Plotnya ngena, terutama untuk kita sebagai fangirls. Sedikit bikin taken-aback karena fic ini mengingatkan kalau fans hanyalah fans, tapi bukan sekedar fans. But I had to hold back my tears while reading this.

Quotes Favorit: “Emotions have no logic, and they have no reason to be in need of it either.”
                                They’re people, not dolls that you can own.”

3.       Maid in Love by fan-atic on asianfanfics.com
Ini adalah salah satu fanfiction dengan ‘episode’ terbanyak yang pernah kubaca. Sembilan puluh chapters, man! Tapi yakin deh, kamu gak akan menyesal setelah membacanya. Memang sedikit klise, yaitu kisah cinta yang gak seharusnya terjadi. Dan, uh, gengsi Mas Kris di sini besar banget. Bikin sebal. Tapi kalau urusan romantisnya, ‘dapet’ sekali. Berkali-kali dibaca, fanfiction ini tetap bisa memberikan shivers buat aku.

Quotes Favorit: “Wo ai ni.” ;-p

4.       [EXO Valentines One-shots] 14th March: White Day by zeelei on asianfanfics.com
Pernah dengar White Day? Hari di mana saatnya laki-laki memberikan cokelat/permen/dan sejenisnya kepada perempuan yang sudah memberinya barang serupa di hari Valentine. Kris dalam fanfiction ini cocky abis. Agak berbeda dari tiga fanfiction sebelumnya. Super-duper smooth talker, dan gampang bikin meleleh. Sama seperti ‘Maybe Next Time’, aku suka tokoh utama perempuannya. Tanpa diketahui namanya, perempuan itu tahan banting meski kerap kena hujan gombalan dari Kris Wu. Sophisticated!

Quotes Favorit: “I’m about 6’1 but close to 6’2. Perfect for your height.”
                                “And I think you are really interesting.”



5.       Need by theboleroo on indofanfictkpop
Fanfiction Indonesia terbaik menurutku! Alurnya beda dari yang lain. A gay Kris. Yes. G-a-y! Tapi entah pada bagian yang mana, aku menemukan sesuatu yang romantis di dalam fanfiction ini.

Quotes Favorit: “Mereka memang tak saling mencintai, tapi mereka saling menghidupi dengan eksistensi masing-masing.