Jumat, 13 Juni 2014

Unwritten


“When a story reaches its end, then just let it be. There’s no way for you to re-write the plot, even if you’re just intending to change a wrong-typed word.”

Kevin

 


 

“When a story reaches its end, then just write the sequel. Work the unclear things—from the prequel—out. Make every written syllable worth reading. And write your best plot. Don’t leave anything behind.”

 Audrey

 

---

 Itu pilihanmu. Mau menulis cerita selanjutnya, atau merasa cukup dengan apa yang telah ada.

Senin, 02 Juni 2014

Lima Dua Puluh



            “Selamat siang, Selene.” Bima menyapaku, memamerkan deretan gigi, sekaligus mempertontonkan gusi kemerahan miliknya. Ia mengasongkan satu cup minuman—yang kuyakin ia dapat dari kedai kopi favorit kami, Spentbucks.

“Siang,” Jawabku, seraya menerima pemberiannya. Tanpa berpikir lebih jauh, kuseruput minuman berwarna hijau tersebut. “Green tea frappuccino, kesukaanmu.” Aku berujar setelah papilaku mendeteksi rasa teh hijau yang khas. Iseng, kulirik cup green tea berukuran tall itu. Pandanganku menangkap rentetan angka, dengan tulisan tangan yang tak bisa dikatakan indah. “Lima dua puluh. Simbol hati.” Kupicingkan mata. “Tulisanmu, kan? Apaan, tuh artinya?”

Bukannya menjawab, ia tersenyum lagi. Namun kini senyumnya lebih tenang. “Hari ini tanggal dua puluh di bulan Mei. Lima dua puluh.”

“Oh.” Mengangguk sekali, aku masih tak terlalu yakin dengan jawabannya. “Cuma itu?”

“Lima dua puluh,” Ia melanjutkan sembari menaikkan kedua alis tebalnya, dan menatapku penuh. “Mandarin's slang for I love you. People say that they have similar pronunciations. Well, I don't really care actually. 'Cause the thing is, wo ai ni, Sel.Senyum di wajahnya tak juga hilang. Justru kelembutan di tiap langgamnya makin kental terasa.

Ah, ia selalu bisa membuat hariku jungkir balik.

***

 

Inspired by our dearest Wu Yi Fan.

a.k.a Kris Wu.

Will we ever see you with your favorite green tea frappuccino, again?