Selasa, 23 April 2013

Yookyung, Still Our Spring Fairy (Her Departure from APink)


Dear Hong Yookyung...


Maybe you're not as noticed as Eunji and Naeun.


















Maybe people thought you're not that gorgeous, but for me, you're the true beauty of Korean.





















You're the only who could speak english well.
















Played piano amazingly.












And you were that classic fairy.
















Although you've gone, and not here any longer,
Pinkpanda's infinite love always will be with you.




Good luck and take care of yourself, Hong Yookyung! Still one of seven spring fairies<3



Minggu, 21 April 2013

Scandalized; Scandal Band

First, I was about 'ewww' for seeing jrock band or anything such. But, now it's all different.
Well, life.

Rabu, 10 April 2013

Original Fiction: Macchiato


 [bagian yang bergaris miring untuk kejadian yang sudah lewat:-)]         

              Dengan satu macchiato setiap hari, satu ucapan terimakasih tanpa senyum selalu aku dapat.
            “Terima kasih. Jangan datang lagi besok, kalau bisa.” Sasazaki Huki menyerahkan satu cup ukuran besar macchiato dengan campuran kayu manis padaku dari balik meja kasirnya.
Aku tersenyum. Tapi Huki tidak. Ia malah mengerutkan keningnya, dan menatapku dengan pandangan enyahlah-sekarang-juga-dari-hadapanku.
***
            Dengan motif susu yang berbeda pada setiap macchiato buatan Huki, aku bisa tahu apa yang gadis itu tengah rasakan. Ia terlalu jujur. Yang dibutuhkannya hanya secangkir kopi, dan di situlah perasaannya diungkapkan.
             “Boneka beruang untuk hari ini?” Aku mengerutkan dahi begitu menerima macchiato pada hari Rabu di pertengahan Desember yang bersalju. Seattle memang sangat buruk untuk urusan salju. Tapi untungnya ratusan—bahkan ribuan—kedai kopi selalu tersedia duapuluh empat jam nonstop untuk membantumu membunuh dingin. Termasuk kedai kopi ini. Kedai kopi milik Sasazaki Huki.
            “Aku menemukan sebongkah salju mengristal di kasurku tadi pagi. Dan, entah mengapa, hal itu membuat perasaanku baik sepanjang hari ini.” Huki jarang tersenyum padaku. Tapi sekarang ia melakukannya. Senyum yang sangat lebar sampai menunjukkan sebuah cekungan kecil di pipinya.
            “Padahal kemarin kamu baru menggambar tengkorak dengan lidah terjulur di macchiato-ku. Kalau bisa kutebak, pasti kemarin adalah hari yang tidak terlalu baik untukmu.”
            Gadis Jepang di hadapanku ini mendengus sambil menaikkan sebelah bahunya. Bagaimana bisa senyum lebar yang beberapa detik lalu ada mendadak hilang? Well, pemain emosi yang hebat. “Terkadang sesuatu yang membunuh paling cepat adalah rasa ke-sok-tahuanmu.”
            Aku tidak bisa untuk tidak terkekeh. Tiga tahun menjadi pelanggan setianya bukan waktu yang sebentar. Rasa sarkasme pada diri Huki sangat kental, dan untungnya aku sudah kebal. “Tapi aku yakin apa yang aku perkirakan itu benar.”
            Huki memandangku beberapa saat. Kemudian ia mendesah dan nada suaranya meresah. “Adikku di Jepang sana menjual semua koleksi manga Sailor Moon-ku ke tukang loak. Dan uangnya dia gunakan untuk menghadiri acara fanmeet band Scandal. Benar-benar keterlaluan, bukan? Memangnya dia pikir aku mengumpulkan semua manga itu satu malam saja? Aku langsung—“
            Dan pada saat seperti ini, aku bisa melihat bagaimana Huki yang sebenarnya berbicara—meremas ujung celemeknya saat masuk pada bagian cerita yang mengesalkan, menyipitkan matanya yang sudah sipit saat menceritakan sesuatu yang membingungkan, dan tertawa kecil saat menceritakan saat-saat yang baginya menyenangkan.
***
            Ternyata macchiato dan pepero adalah perpaduan yang bagus. Macchiato melembutkan pepero yang keras, dan memberikan rasa pahit yang membungkus manisnya pepero secara rapi. Mungkin ini bisa dianalogikan seperti aku dan Huki. Tapi tidak jelas siapa yang menjadi pepero-nya, dan siapa yang diibaratkan sebagai macchiato.
            “Selamat hari pepero!” Huki menyerahkan sebuah kantung plastik bening dengan tiga buah kue stick di dalamnya, begitu aku mendekati meja kasir untuk memesan satu cup caramel macchiato.
            “Pepero?” Walaupun tidak mengerti apa yang dimaksud Huki, aku tetap mengambil kantung plastik yang disodorkannya. Apapun itu, aku harap ini bisa dimakan—dan gratis.
            “Belum pernah dengar tentang pepero dan hari pepero?” Alis kanan Huki naik dan memandangku dengan tatapan menyudutkan. “Demi Tuhan, Russ. Ini namanya diskriminasi. Orang-orang Timur begitu bersemangat mempelajari setiap detail kebudayaan Barat, tapi sayangnya orang-orang Barat tidak menaruh sedikitpun perhatian terhadap kebudayaan dan segala sesuatu tentang kami.”
            Aku membuka ikatan pita pada ujung kantung plastik yang tadi diberikan Huki, dan bertanya tanpa mengalihkan pandangan. “Jadi pepero itu adalah?” Tidak kuacuhkan kuliah singkat gadis itu.
            “Kue stick yang sedang kamu pegang. Kami menyebutnya pepero. Dan tepat pada hari ini, 11 November, adalah hari pepero. Sebenarnya hari pepero ini  kebudayaan yang terkenal dari Korea. Dan kebetulan Ibuku memiliki darah Korea. Jadi kurasa tidak ada salahnya membawa hari pepero ke Seattle.”
            Aku mengangguk-angguk tanpa acuh dan menggigit sebuah ‘pepero’ yang sudah berhasil kukeluarkan.
            “Bagaimana rasanya?”
            Aku mengecap beberapa kali. “Pahit.”
            Huki tersenyum aneh dan menggaruk bagian belakang kepalanya. “Umh, yeah. Kebetulan aku membuat dalam rasa cokelat asli. Tapi sebenarnya pepero bisa dibuat dalam berbagai macam rasa.”
            “Benarkah? Kalau begitu, kamu mungkin bisa membuatkan pepero manis untukku kapan-kapan.”
            “Untuk kemudian kamu bagikan kepada fans gilamu di kantor? Uh, jangan harap.”
            “Tentu saja tidak.” Kuikat lagi kantung plastik yang menyisakan dua pepero di dalamnya. “Untuk apa aku memberikan sesuatu yang sudah dibuat dengan susah payah untukku kepada orang lain secara cuma-cuma? Oh ya, caramel macchiato satu, Huki-chan. Siapa tahu pepero ini akan terasa lebih enak dengan macchiato penuh cinta darimu.”
            Bola mata gelap milik Huki berputar sempurna. “Pertama, membuat pepero tidak sulit. Kedua, apa yang aku tangkap dari omonganmu, kamu akan menjual pepero buatanku ke pada semua fansmu. Ketiga, aku tidak membuat macchiato dengan campuran cinta untukmu.”
            Aku hanya tertawa menanggapi Huki. Gadis ini…
***
            “Selamat tahun baru!” Huki sedikit membungkuk untuk memberi penghormatan begitu aku masuk ke dalam kedainya.
            Seringaian kecil tidak bisa kusembunyikan. Oh, oh. Gadis ini pasti tidak menyadari kalau aku yang datang. Karena kalau ia tahu, ia tidak akan membungkuk seperti itu.
            “Selamat tahun baru juga, Huki-chan!”
            Huki selesai membungkuk. Ia menyipitkan matanya dan dengusan kecil terkuar. “Aku kira bukan kamu yang datang.”
            “Sudah kuduga.” Aku tersenyum dan mendekati Huki yang sedang berdiri di dekat mesin pembuat kopi. “Macchiato dengan kayu manis, satu.”
            Untuk beberapa saat Huki terdiam dan memandangku dengan tatapan bingung. “Russ, aku sebenarnya sedikit heran.” Huki berdeham kecil dan melanjutkan. “Apa kamu tidak bosan dengan macchiato? M-maksudku, selama ini yang kamu pesan di kedaiku adalah macchiato. Aku belum pernah melihatmu memesan latte atau kopi hitam atau yang lainnya.”
            Aku mengangguk-angguk kecil dan balas menatap Huki. Aku tidak pernah mengira ia akan bertanya seperti ini. “Yang membuatku jatuh cinta padamu—maksudku  kedaimu—adalah macchiato-mu. Jadi, aku belum berpikir untuk memesan kopi dengan jenis lain di sini.”
            “Macchiato di De Supreme kurasa lebih enak—”
            “Bagiku macchiato di sini adalah yang terbaik.” Dengan cepat aku menyela sanggahan Huki. “Anyway, sadar atau tidak, ini adalah tahun keempat aku menjadi pelanggan setiamu.”
            Sekali lagi, Huki memandangku dengan tatapan bingung. “Benarkah? Empat tahun? Wow. Selamat.”
            “Ya.” Sedikit ragu aku melanjutkan. “Pertama kali aku datang ke sini, empat tahun yang lalu. Tepat saat tahun baru. Saat itu aku baru mengalami penolakan dari seorang perempuan. Itu adalah kali pertama aku mengalami penolakan selama hidupku.”
            Huki tertawa kecil dan mendorong pelan bahuku. “Aku ingat! Saat itu kamu datang dengan sebuah buket bunga mawar merah muda super besar. Astaga, itu adalah buket bunga terbesar yang pernah aku lihat.”
            “Dan kamu meminta buket bunga itu untuk kamu pajang di depan kedai.”
            Kini Huki tergelak. Ia sampai memukul pelan dinding kayu yang menghalangi tempatku dan gadis itu berdiri. “Aku mengambil dua mawar yang masih kecil dan menanamnya di rumah.”
            “Benarkah?”
            Ia mengangguk mantap. “Namun sayangnya, baru dua hari, mawar itu sudah mati. Aku saat itu yakin kalau kamu tidak memberi buket bunga itu dengan tulus.”
            Aku tidak mengacuhkan perkataan terakhir Huki. “Juga pada malam itu, aku memintamu untuk memberiku sesuatu yang bisa membuat rasa sakit hati hilang seketika. Dan kamu pun memberiku sebuah macchiato dengan kayu manis.”
            “Dan itu ampuh, bukan?”
            “Sangat. Terimakasih.”
            “Bukan masalah besar.” Huki cepat-cepat memalingkan wajahnya dan segera mengambil sebuah cup berukuran besar.
Keheningan menyelimuti beberapa saat. Keheningan yang sedikit janggal.
            Dengan sebuah dehaman, aku memecah keheningan yang tercipta. “Huki-chan.” Kulipat tangan di dada dan bersandar pada kayu pembatas.
            “Hm?”
            “Bagaimana kalau kamu menutup kedaimu lebih awal? Kurasa tidak ada salahnya kita menghabiskan malam ini bersama. Lagipula tidak akan ada yang datang ke kedai kopi pada malam tahun baru, kecuali orang yang sedang patah hati karena mengalami penolakan.”
            Senyum samar terbentuk sebentar di wajah Huki. “Aku tidak bisa, Russ. Aku ha—“
            “Sayangnya, aku tidak menerima penolakan, Sasazaki Huki. Letakan lagi cup itu. Dan mari kita menghabiskan waktu ber—oh tidak. Maksudku, mari kita berkencan.”
****

           
           
           

           
           

Jumat, 05 April 2013

Time Trial: Twisted

[Dengan perubahan nama tokoh:-)]




Orang tua bilang hidup ini mudah, dan jika berubah menjadi sulit, maka dirimu sendirilah yang membuatnya sulit. Tapi tidak bagi Sabh. Baginya, hidup ini mudah, dan jika berubah sulit, maka dosenmulah yang membuatnya menjadi seperti itu.

Sabh rasa dosennya tidak bisa lebih menyebalkan lagi. Oke, mungkin semua mahasiswa akan merasa dosennya adalah dosen paling menyebalkan yang pernah ada—apalagi kalau dia tidak pernah masuk tapi memberikan tugas seolah membuat tugas itu semudah mencapai lantai 20 menggunakan elevator—tapi serius deh, dosennya ini memang benar-benar menyiksa anak didiknya.

Gadis itu melirik jam dinding yang masih dengan setia menemaninya terjaga. 00:14. Bagus sekali. Lima jam sudah Sabh menghabiskan waktu untuk duduk di depan laptop untuk mengerjakan tugas. Tapi nyatanya belum ada satu kata juga yang ia ketik.

“Dosen sialan! Kalau sampai besok seluruh wajahku penuh dengan lingkaran hitam, maka dia orang pertama yang akan aku lempar ke sungai!” Sabh mengutuk habis-habisan Sir Clerks—dosen kebudayaan Inggrisnya.

Merebahkan diri barang sebentar mungkin bukan masalah?

Untuk pertama kalinya, bisa ia rasakan setiap otot-otot tubuhnya melenguh lega begitu Sabh merebahkan diri ke karpet bergambar chicken little di belakangnya.
Bisakah seseorang menghentikan waktu dan membiarkan aku seperti ini selama beberapa hari? Atau beberapa minggu? Bahkan tahun, kalau bisa? Yang jelas aku tidak ingin kembali ke kehidupanku yang benar-benar membosankan dan monoton. Sabh memejamkan matanya, dan bisa dirasakan semilir angin malam meniup permukaan kulitnya.

Tok…tok…tok.

Sabh terkesiap begitu mendengar ketukan pintu tiba-tiba menginterupsi suasana tenang yang sedang melingkupinya. Ia sedikit memiringkan tubuhnya ke arah pintu.
Oh, jangan bercanda. Siapa yang berani bertamu pada jam semalam ini?

Tok…tok…tok. Kini suara ketukan di pintu flat gadis itu menguat.

Si pemilik flat masih bergeming.

Buka pintu? Jangan? Buka pintu? Jangan? Bu—

Tok…tok…tok…tok. Kini Sabh yakin tetangganya bisa mendengar suara ketukan pintu itu.

“Siapa orang gila yang bertamu tengah malam seperti ini?” Sabh bangun dan merapikan pakaiannya.

Tok…tok. Frekuensi ketukan mulai berkurang, tapi tidak dengan suara yang ditimbulkannya.

Dengan langkah tersendat, Sabh berjalan menuju pintu. Pikiran dalam otaknya masih bergumul; mengira-ngira siapa yang mengetuk pintunya di tengah malam seperti ini. Apakah manusia biasa? Petugas flat? Satpam? Atau makhluk dari dimensi lain? Untuk opsi terakhir, Sabh berusaha mengenyahkannya jauh-jauh.

“Aku bisa hapkido. Aku bisa hapkido. Jika yang datang adalah orang jahat, aku bisa menendangnya sampai remuk.” Berulang kali bibir Sabh membisikkan kalimat itu.
Apa aku perlu mengambil teflon untuk berjaga-jaga? Ah jangan konyol, Sabh. Bagaimana kalau dia membawa pistol dan sebelum kamu sempat memukul kepalanya, dia sudah berhasil meledakan isi kepalamu terlebih dahulu?

Sabh bersembunyi di bagian belakang pintu. Tangannya sedikit bergetar, namun perlahan bergerak merayapi daun pintu. Mau tidak mau ia harus membuka pintu sebelum para tetangga mendatanginya dan mengusir ia keluar dari flat karena dianggap membuat keributan.

Cklerk.

Dipejamkannya mata kanan gadis berperawakan sedang itu, dan ia mengintip sedikit, menyembulkan kepalanya ke luar sehingga ia bisa melihat siapa ‘tamu’-nya.

Seorang pemuda—dengan tangan dilipat di dada dan tatapan tajam—berdiri di depan pintu flat Sabh. Postur tubuhnya tinggi—terlalu tinggi untuk Sabh, sampai Sabh menghilangkan kemungkinan bahwa ia akan mampu menendang siapapun yang mengetuk pintu flatnya sampai remuk—dan sebuah earring tertindik jelas di telinganya.

Demi Tuhan! Jangan bilang kalau dia anggota gangster yang datang untuk melakukan hal buruk!

Pemuda itu maju satu langkah. “Astaga!” Dia kini hanya berjarak dua langkah dari Sabh. “Apakah kamu keturunan siput atau semacamnya? Sebegitu sulitnya kah membuka pintu? Atau kamu berjalan dengan menggunakan tangan? Tidakkah kamu tahu di luar sini dingin?” Tiba-tiba dia merangsek masuk dan menutup pintu dengan menggunakan kakinya.

Jemari Sabh masih memegang daun pintu. Malah sekarang pegangannya sedikit menguat. Badannya terdorong mengikuti gerakan pintu yang dengan kasar ditutup pemuda itu. Pikiran Sabh kini terbagi; antara ingin menendang pemuda tidak tahu sopan santun yang tiba-tiba masuk ke rumahnya ini atau berlari ke luar dan meminta pertolongan pada bagian keamanan.

“Ah, Bodoh. Bagaimana mungkin aku lupa memerkenalkan diri!” Pemuda tadi berdecak dan berbalik menghadap Sabh. Refleks, Sabh mundur beberapa langkah dan menatap sosok di hadapannya dengan waspada. “Aku Raekh.” Dia menganggukan kepalanya sedikit.

Kening Sabh berkerut. “Aku bahkan tidak bertanya siapa kamu.”

Raekh tertawa kecil—terdengar menyeramkan di telinga Sabh. “Bukankah tidak sopan jika aku akan tinggal di sini tapi tidak memerkenalkan bahkan nama sekalipun padamu,  Sabh?”

Pegangan Sabh pada daun pintu terlepas. Apa ia tidak salah dengar? Tinggal di sini? Di sini? Di flatnya? “Apa maksudmu kamu akan tinggal di sini? Dan bagaimana bisa kamu tahu namaku? Aku tidak mengenalmu, jadi tolong jangan sok kenal. Sekarang aku hitung sampai tiga, kalau kamu belum ke luar dari flatku, aku akan berteriak sehingga tetanggaku terbangun dan mereka akan mengusirmu dari sini. Satu, du—”

Sekarang giliran kening Raekh yang berkerut. “Aku tidak mengerti apa yang kamu bicarakan.” Raekh menyela cepat hitungan Sabh sebelum gadis itu berteriak. “Aku tahu namamu karena Dewan Keamanan memberi tahuku kalau aku akan tinggal di sini, di tempat ini. Tempat milik seorang mahasiswi bernama Sabhrina. Dan aku yakin kamulah Sabhrina itu.”

“Dewan Keamanan? Dewan Keamanan apa? PBB? Oh astaga, aku yakin sekarang aku sedang bermimpi.” Dengan konyol Sabh memejamkan matanya. “dan aku tinggal memejamkan mataku sehingga aku bisa bangun dan menertawakan semua omong kosong ini.”

Kerutan di kening Raekh semakin dalam. Apa gadis di depannya ini mengalami gangguan?
Setelah beberapa detik, Sabh membuka matanya.

Tidak. Masih sama.

Ia pun memejamkan matanya lagi. Kemudian membukanya. Memejamkan lagi. Membukanya lagi. Memejamkannya lagi dan lagi. Membukanya lagi dan lagi.

Melihat tingkah Sabh, Raekh tidak bisa untuk tidak tertawa. “Ini bukan mimpi, Nona .”

Sabh mengepalkan tangan dan menyentuh keningnya. Ia menepukan kepalan tangannya ke kening beberapa kali. Ia yakin ada yang salah dengan sistem kerja otaknya.

“Baiklah, biar kujelaskan. Aku tahu kamu belum mengerti siapa aku dan untuk apa aku datang ke sini,” Raekh berjalan mendekati Sabh. “tapi akan lebih baik kalau kita duduk. Kakiku pegal menunggu kamu membukakan pintu untukku tadi.”
****
                  Sabh masih menatap pemuda yang mengenalkan diri dengan nama Raekh itu dengan pandangan kalau-kau-berani-macam-macam-aku-akan-mengirimmu-ke-neraka. Kini ia duduk berhadapan dengan Raekh. Kursi tempat mereka duduk terhalang sebuah meja kecil berbentuk oval dengan taplak kemerahan.

“Jadi begini,” Raekh menghela napas dan menghembuskannya perlahan. Seolah apa yang akan diucapkannya nanti tidak akan memberi dia izin untuk bernapas. “aku Raekh. Aku datang dari tahun 2306 dan aku diberikan sebuah misi oleh Dewan Keamanan—“

“Apa?!” Sabh tanpa sadar memotong penjelasan Raekh. “misi? Dewan Keamanan? Apakah kamu gila?! Tidak, tidak. Tolong katakan sejujurnya padaku, Raekh. Sudah berapa lama kamu mengalami gangguan kejiwaan? Di mana tempat rehabilitasmu? Rumah Sakit Jiwa di jalan Exopink? Atau Panti Rehabilitas Jiwa di jalan Super Generation? Biarkan aku mengantarmu pulang ke sana.” Sabh bersiap untuk berdiri, namun tatapan super tajam Raekh membuatnya mengurungkan niat itu.

“Tolong dengarkan penjelasanku dulu, Sabh.” Raekh melipat tangannya. “Dan yang perlu kamu ingat, aku tidak gila. Apa yang akan aku jelaskan atau yang sudah aku katakan padamu, semuanya nyata.”

“Tapi bagaimana mungkin kamu—“

“Oh Demi Shakespeare yang sudah tenang di alam sana, kenapa Dewan Keamanan harus mengirimkanku ke sini. Ke tempat dengan gadis yang keras kepala.” Raekh memejamkan matanya dan desahan kesal meluncur dari mulutnya.

“Ba-baiklah. Aku mendengarkan.” Sabh membenarkan posisi duduk, dan meremas kuat-kuat ujung piyama chicken little-nya.

“Aku bingung aku harus mulai dari mana. Aku rasa kapasitas otakmu tidak akan bisa menampung penjelasan intiku.” Raekh terlihat berpikir keras. “Begini. Dengarkan dan pahami baik-baik. Zaman sudah semakin menggila. Orang-orang di masa depan—termasuk aku—semakin banyak yang tidak puas dengan apa yang mereka miliki, dan kami berpikir kalau masa lalu—atau masa yang sudah lewat—memengaruhi masa depan. Termasuk, apa yang orang-orang masa lalu lakukan akan memengaruhi kehidupan kami di masa depan.” Raekh menelan ludah, dan melanjutkan. “dan karena dasar pemikiran itu, akhirnya orang-orang masa depan membentuk sebuah organisasi untuk mengurus hal-hal yang berhubungan dengan masa lalu. Kami menyebutnya TOTP—To Overcome The Past. Aku adalah anggota keamanan yang baru diangkat minggu lalu. Dan sialnya aku langsung mendapat misi besar.”

Sabh menggigit bibir bawahnya. Jujur, ia tidak sepenuhnya paham apa yang Raekh katakan. Anggota keamanan? Apa Raekh satpam? Sebegitu pentingnya kah masa lalu di masa depan hingga dibentuk organisasi macam itu? Kenapa dia bisa datang ke masa lalu—jika dia benar datang dari tahun2306—? Misi apa? Kenapa dia mendapat misi? Siapa yang memberinya misi? Dan yang terpenting,

kenapa Raekh diharuskan tinggal di flat-ku?
****
(Akhir cerita satu)