Rabu, 30 April 2014

Jatuh pada Kata

Bisakah kamu menyukai seseorang melalui tulisannya?


Melalui apa yang ia pikirkan lewat kata-kata.
Melalui apa yang ia cucuhkan dalam tiap diksinya.
Melalui makna yang ia selubungi dalam runutan frasa.

Apakah itu...mungkin?

Senin, 21 April 2014

So Long

(Do you remember how you and I were so young and small?
We were always together, do you remember our friends who were jealous of us?)

Sejak Sekolah Dasar, Bumi dan Bulan adalah bagaimana kami kerap disapa. Bumi untuknya, dan Bulan untukku.

Kami selalu berada dalam kelas yang sama. Ekstrakulikuler yang sama. Hingga tempat les yang sama. Di mana ada aku, dia selalu menyertai. Hingga bisa kurasakan gelombang bosan dan iri dipancarkan oleh anak-anak lain. Baik di kelas, atau di tempat les, atau di gerbang sekolah. Cara mereka memandang kami, bagaimana iris mereka meneriakan rasa ingin menjadi seperti kami.

Atau mungkin, ingin menjadi sepertiku?

Kala itu, aku hanya bisa tersenyum sembari menepuk pundak Si Bumi bangga. Meski pada akhirnya, yang bisa kutepuk adalah siku, bukan pundaknya.

Ia sangat tinggi, amat menjulang. Dan aku bangga bisa menjadi sahabatnya.

Bumi, yang selalu mampu melindungiku dari sengatan matahari saat upacara pagi.


(You held my small hand and protected me, always smiling only at me
Baby, we didn’t know back then, we were too young)

            Sebelum berangkat sekolah, sebelum pergi menuju tempat les, dan sebelum kami keluar dari gerbang rumahku, Ibuku selalu mengatakan, “jaga Selene baik-baik ya, Al”.

Dan ia selalu memenuhi permintaan Ibu. Ia menjagaku dengan baik. Sangat baik.

Favoritku, adalah tangannya. Tangan yang jauh lebih besar, yang mampu membuatku merasa nyaman.

Yang kutahu saat itu, jika aku merasa ketakutan atau bingung, peganglah tangannya.

Tangan Bumi, yang selalu menyelimuti milikku saat kami menyebrangi jalan besar menuju tempat les.


(You came to me, into my heart, as something more than a friend
Next to you, I hid my heart, hiding behind the friend label)

Sampai kini. Sampai kami tiba di masa retardasi moral yang menggila di 2014, kami tetap Bumi dan Bulan.

Sebenarnya ia adalah lelaki dengan nama lahir Galaksi, dan bukan Bumi. Sedangkan aku, aku bukan Bulan. Namaku Selene—yeah, aku tahu kok kalau Selene itu bermakna bulan. Tapi apapun itu, yang jelas dua metafor tadilah yang orang-orang sering sematkan pada kami; ia selayaknya Bumi, dan aku Bulan.

Tapi kini, pandanganku mengenai makna dari panggilan kami berubah.

Ia berubah.

Ia bukan lagi anak kecil yang tidak mau masuk sekolah karena gigi susu serinya baru saja tanggal.

Ia adalah Galaksi, Si Kapten Tim Basket.

Aku tetap Bulan yang selalu mengiringi Bumi. Meski Bumi terkadang asyik sendiri—sibuk dengan  putaran diri, atau putaran mengelilingi Matahari yang jauh lebih menarik dari Bulan—dan tak menaruh atensi pada Bulan, Bulan enggan peduli. Juga, Bulan terlihat kecil, tak berdaya. Sama sepertiku. Sedangkan Bumi begitu hidup. Persis sepertinya.

Pernah satu hari, dari hari-hari sulit untuk bertemu dengan Bumi, kukatakan bagaimana orang-orang memandang persahabatan kami. Lalu kutanya ia,

“gimana pendapatmu terhadap panggilan itu? Risih?”.

Ia diam. Semestinya, ia tahu mengenai hal ini. Kata ganti tersebut sudah digunakan lebih dari sepuluh tahun.

“Aku cuma penasaran. Itu kan panggilan sudah lama, maka kamu pasti tahu. Dan untuk sekarang, kelihatannya mereka menamai kita begitu karena mereka menganggap aku dan kamu dekat dan timpang di saat yang bersamaan. Kamu keren, aku payah. Kamu banyak dikenal orang, aku boro-boro. Dipikir lagi, memang iya sih. Kok sampai sekarang kamu mau bersahabat dengan aku?”

Masih hening. Belum ada yang bersuara.

Tapi kemudian ia menoleh untuk menatapku, dan menyunggingkan senyum kecil khasnya. Berujarlah ia,

“sedikit mereka tahu, kalau tanpa Bulan, Bumi enggak ada apa-apanya. Kehidupan di Bumi, juga Bulan-lah yang ikut berperan.”.

Dan sejak itu, baru aku sadari, iris matanya dalam. Sedalam suara baritonnya.

Iris mata Bumi, yang kelamaan jadi hal favoritku tentangnya, menggantikan genggaman tangan yang dulu terasa hangat.


(Do you think of those days like I do sometimes? Do you remember?
The nice breeze, the warm sunlight that shone on us? Do you remember?)

            Sejak SMP kelas satu, Bumi sudah bisa mengendarai motor. Dan aku selalu jadi orang pertama yang ia ajak berkeliling menggunakan benda bermesin tersebut.

“Al! Jangan belajar ngebut, deh. Takut, tahu!”

Aku selalu mencengkram bahunya kuat-kuat saat spidometer sudah—atau nyaris—menyentuh angka 80.

Aku takut. Aku belum mau mati.

“Santai, Sel. Aku sudah sering berlatih.” Jawabnya dari balik kaca helm.

Tempat yang selalu jadi tujuan kami adalah danau buatan di pinggir kota. Danau yang airnya jernih, memancarkan apa yang direfleksikan sinar matahari dengan baik.

Tidak banyak orang yang berkunjung ke danau itu.

Maka setiap kami meluangkan waktu untuk mengunjungi tempat tersebut, hanya ada tiga-empat orang di sana.

Setiap kali kami datang, benderang sinar matahari selalu menyambut. Seakan mengatakan ‘akhirnya datang juga’. Kecuali untuk hari-hari hujan—aku tidak pernah mau naik motor bersamanya saat musim hujan.

Kami berjalan mengelilingi danau, atau duduk di pinggir danau, atau berbincang di bawah teduhnya pohon besar. Kami membicarakan banyak hal—sekolah, rumah, film, buku. Selalu ada bahan obrolan.

Hening memang sesekali menginterupsi. Namun ini adalah jenis hening yang nyaman, pun tenang. Hening yang mewakili suara hati masing-masing.

‘Piknik’ kecil-kecilan itu kami lakukan sebulan dua kali, atau jika tak sempat, satu kali dalam satu bulan.

Kami tidak pernah lupa pada danau yang telah menyimpan banyak ceritaku dan ceritanya.

Kami tidak pernah lupa pada semilir angin yang lembut, yang ramah.

Kami tidak pernah lupa kalau kami adalah kami yang selalu bersama pergi ke danau buatan.


(We resembled each other so much and you were my precious friend
Baby, that’s what I believed, but you came to me and it was so strange)

Akan tetapi, kurasa sekarang semuanya sudah berubah. Sejak mengenakan seragam putih-abu, kami jarang pergi ke danau lagi. Aku juga jarang menaiki motor Bumi.

Terkadang, aku bahkan lupa bagaimana rasanya membicarakan hal-hal konyol dengannya.

Aku pun lupa bagaimana genggaman tangan Bumi yang besar, dan menenangkan.

Tapi satu hal.

Aku tak pernah lupa tatapan Bumi yang dalam.


(You came to me, into my heart as something more than a friend
Next to you, I hid my heart, hiding behind the friend label)

            Suatu siang, Ibu datang ke kamarku dan mengatakan kalau ia datang.

            Galaksi datang. Bumi-ku datang.

            Aku terkejut. Namun rasa ingin meledak karena senang ternyata lebih besar.

Ada apa ini? Kenapa aku seperti ini? Ini bukan kali pertama ia datang ke rumahku, bukan? Mengapa pada kunjungan-kunjungan sebelumnya aku tidak pernah sesenang ini?

Setelah keluar dan menemuimu, aku tak bisa untuk tidak tersenyum, dan tidak bisa juga menahan rasa tak keruan yang terasa jelas oleh perutku. Seperti dipelintir, diremas, dan didesak sekaligus. Idiot.

Duduk, untuk sesaat diam bersuara. Tidak ada satupun yang menyatakan apa-apa. Aku bingung. Ini bukan jenis hening yang biasanya menyelimuti kami. Keheningan ini tidak membuatku nyaman, dan tidak membuatku ingin tenggelam berlama-lama di dalamnya.

            “Sel.” Bumi berhasil menemukan suaranya.

            Aku menggumam, dan menoleh. Menanyakan apa melalui gerakan alis mata.

            “Gimana ya caranya nembak cewek, tapi yang romantis?”

            Dan aku berharap aku tidak pernah bertanya apa yang ingin ia katakan.

Kujawab, aku tidak tahu. Seseorang belum pernah menyatakan perasaannya dengan cara yang manis padaku. Dan aku juga belum pernah menyatakan perasaanku pada orang lain.

            Aku belum pernah punya perasaan yang cukup kuat untuk itu.

            Ia hanya mengangguk kecil.

            “Memangnya kenapa?” Aku tahu suaraku sedikit tercekat. Ada sesuatu seperti gumpalan yang menahan laju suaraku. Sesuatu yang pahit, dan aku tidak menyukainya.

            Tanpa bisa ditahan, ia menceritakan semuanya.

            Semuanya dengan detail dan tidak ada yang ditutup-tutupi.

            Ia menyukai teman sekelasnya.

            Bintang.

Bintang yang bersinar bagi Bumi. Bintang yang paling terang dari ratusan bintang lainnya.

            Bintang yang lebih indah dari Bulan.

Bukan seseorang yang dikenal oleh seluruh penjuru sekolah. Bahkan cenderung pendiam. Kesukaannya dalam membaca karya klasik. Jane Austen, Harper Lee, Herman Melville. Itulah Bintang yang menarik perhatian Bumi.

            Dehaman adalah respon pertamaku seusai Bumi mengakhiri ceritanya.

“Kalau kamu suka, ungkapkan dengan caramu dan kemas dengan caranya. Kurasa, itu sudah cukup romantis. Gimana kalau berhubungan dengan novel klasik? Maybe it’ll work.”

Bumi tersenyum lebar, seperti baru menemukan invasi terbaru untuk Perang Dunia III. Ia menepuk puncak kepalaku dengan telapaknya beberapa kali.

            Dan mau tak mau, aku tertawa kecil.

            Wajar jika aku senang karena ia tersenyum. Ia temanku. Teman baikku.

Tapi bolehkah kalau aku meremas ujung bajuku, sebal, karena ia tersenyum...bukan karenaku?


(Honestly, I was afraid, I wasn’t used to my trembling heart when I saw you
Actually, I resented you for acting like everything was normal
Why didn’t you know my heart?)

            Ini semua harus dihentikan.

            Rasa senang berlebih setiap kali melihatnya.

            Rasa ingin melompat ke arahnya setiap kali aku melihat punggungnya.

Dan rasa kesal setiap kali melihat Bumi dan Bintang berjalan bersama, beriringan.

Bintang menerima perasaan Bumi. Dengan senang hati. Maksudku, memangnya siapa yang mau menolak remaja laki-laki seperti Bumi? Hanya orang yang sangat bodoh dengan IQ jongkok yang akan menolaknya.

            Oh, tidak. Jangan lagi.

Inilah yang membuatku merasa tidak nyaman. Perasaan kesal, karena dijadikan prioritas kesekian bagi Bumi. Perasaan kalah karena Bumi tidak lagi tersenyum atau tertawa bersamaku.

            Dan sedih, karena Bumi ternyata tidak merasakan apa yang aku rasa.

            Bumi tidak ingin melompat ke arahku setiap kami bersua.

Bumi kelihatan tidak ingin meledak akibat rasa senang berlebih setiap kali ia menghentikan langkahnya untuk mengajakku bertukar kata.

Dan Bumi tentunya tidak merasakan perasaan kesal setiap kali melihatku dekat dengan orang lain. Dengan laki-laki lain.

            Bumi tidak merasakan perbedaan apa-apa. Dan itu...menyedihkan.

Apakah aku telat menyadari hal ini? Menyadari kalau aku memiliki perasaan padanya?

            Entahlah.

            Apakah Bumi tidak bisa membaca gelagat anehku akhir-akhir ini?

Tidak tahu. Mungkin tidak. Mengingat apa yang Bumi perhatikan kemarin-kemarin dan sekarang hanyalah basket...dan Bintang.

Aku tahu, aku memang lemah. Aku tidak bisa menahan diri dari menjatuhkan hati pada Bumi. Sedangkan Bumi sendiri, kelihatannya, tidak mengalami kesulitan dalam hal itu.

            Maka akhir-akhir ini aku menjauh, merangkak pergi.

            Jika Bumi menelepon untuk datang ke rumahku, aku selalu punya 1001 alasan untuk menolak kedatangannya. Ada les, pergi bersama teman, sibuk tugas—padahal sekolah telah usai—dan banyak lagi. Kalau Bumi mengajakku untuk pergi ke danau—hei, ia ternyata masih mengingatnya!—kusampaikan permintaan maaf karena aku tidak punya waktu untuk itu.

Dan yang terpenting, kini aku bukan lagi Bulan-nya Bumi. Ia bukan lagi Bumi-ku.

            Final, kuputuskan, untuk berhenti memanggilnya Bumi.


(Feel me, feel me, tell me, tell me, love me, love me, though it’s too late
Feel me, feel me, tell me, tell me, love me, love me, though it’s too late)
           

            “Selene!”

Hari Kelulusan datang. Semuanya bahagia, terutama bagi yang sudah diterima di perguruan tinggi yang sesuai dengan keinginannya.

            Termasuk aku.

            Aku bahagia—sangat. Dan aku tidak punya alasan untuk tidak bahagia.

            Tidak ada, sampai Galaksi datang menghampiriku.

Ia kini Galaksi, bukan Bumi. Galaksi yang terlalu luas untuk kugenggam. Galaksi yang terlalu megah untuk kuraih.

            Rasa tak keruan itu muncul lagi.

Ternyata, belum hilang.

“Hei, Al.” Aku memertahankan senyum. “Sombong amat kamu.” Kutepuk pundaknya perlahan. Dan tidak kukira, sentuhan kecil itu tetap berpengaruh cukup besar padaku. I’m still not over him. “Sekarang aku bisa menyentuh pundakmu, berkat bantuan heels 12 mili-senti ini.” Kikikku berusaha menutupi pacu jantung yang mulai menggila.

Galaksi menaikkan sebelah alisnya. “Gak salah? Kurasa selama ini kamulah yang sombong.”

Aku meringis dan mengibaskan tanganku. “Apapun itu, kayaknya kita sama-sama sibuk dengan urusan masing-masing.”

            “Sorry, Sel,” Rasa sesal begitu sarat dari permohonan maafnya. “Sorry karena selama ini aku seolah lupa sama kamu.” Entah datang dari mana, tiba-tiba aku merasakan jalaran rasa sesal menyeruak juga.

            Tidak. Itu salah. Salah besar.

Selama ini aku yang terlalu egois.

Galaksi sudah bersama denganku untuk lebih dari lima tahun. Selalu denganku, terus denganku. Hingga aku lupa kalau ia juga punya dunia sendiri.

            Aku menariknya paksa ke dalam duniaku.

            Hingga ia harus menomorduakan apa yang diinginkannya.

“Aku yang harusnya bilang maaf, Al.” Suaraku turun satu oktaf. Aku yang salah. Aku. “Sebagaimanapun jarak yang sekarang ada di antara kita, kurasa itu salahku. I’m sorry,” Aku meremas lengan atas Galaksi yang terbalut jas hitam. Menggigit bibir agar lesakan air mata tidak keluar. “I really am.”

Terbatuk sekali untuk menghilangkan kecanggungan, aku berniat untuk melangkah pergi.

Dan tepat begitu kutarik tanganku dari lengannya, Galaksi berkata cepat, “Selene.”

Kuurungkan niatku untuk melangkah. Galaksi jarang memanggil nama depanku dengan lengkap. Ini berarti ada suatu. Sesuatu yang menarikku untuk kembali menatapnya.

            “Aku dan Bintang...kami putus.”

            Tersentak, aku membulatkan kedua mata. “K-Kenapa?”

Galaksi menghela napas. Suasana di sekitar kami makin lama makin riuh. Beberapa orang mulai berjalan menghampiri kami.

“Kenapa, Al?” Tanyaku memaksa, sebulum ada yang sempat memotong pembicaraan ini.

“Karena...dia bilang,” Tatapan Galaksi makin kuat menarik perhatianku dari keadaan di sekeliling. “aku terlalu banyak bicara tentang kamu, Sel.”

Notasi terakhir yang dilontarkan Galaksi bagai memecut kesadaranku. Bisa kurasakan kelopak mataku makin melebar, dan aliran darah semakin berpacu dengan jarum detik yang terus berputar. Sedangkan fokusku makin terpusat pada remaja laki-laki di hadapanku.

            “Aku terlalu banyak bicara tentang kamu, Selene.”

            Terlambat, Al.


(You came to me, into my heart as something more than a friend
Next to you, I hid my heart, hiding behind the friend label)

            Tiga tahun sudah berlalu semenjak Hari Kelulusan.

Sampai sekarang aku masih berteman dengan Galaksi.

Dan sampai sekarang jugalah aku tidak tahu apa yang Galaksi maksud dengan ‘berbicara banyak tentangmu’. Ia tidak pernah membahasnya lebih lanjut, dan aku tidak mau tahu lebih banyak.

Karena menurutku, berbicara banyak tentang seseorang tak membuktikan apa-apa.

Aku bisa bicara banyak tentang seorang aktor Hollywood, membicarakan kehidupan pribadinya, keluarganya, dan segala tentangnya.

            Namun itu bukan berarti aku menyimpan perasaan padanya, ‘kan?

            Yang terlintas dalam pikiranku adalah, apa Galaksi tahu aku menyukainya?

            Apa Galaksi tahu aku menyimpan perasaan padanya?

Apa ia tidak ingin membuatku terlihat seperti orang bodoh, makanya ia mengatakan hal itu?

Apa ia ingin memperlihatkan kalau apa yang aku rasakan itu tidak bertepuk sebelah tangan?

            Ah, entahlah.

Tapi sungguh, itu sudah tidak penting lagi.

Itu sudah tiga tahun yang lalu. Tidak ada alasan kuat untuk membahasnya lagi.

Lagipula, sekarang Galaksi sudah kembali bersama Bintang.

Yeah, itulah bagaimana waktu ‘mempermainkan’mu. Bersama benang merah yang tersambung pada setiap makhluk di dunia, ia bekerja sama. Membuatmu terantuk dari satu skenario ke skenario yang lain. Membuatmu sadar, kalau segalanya memang sudah direncanakan.

Membuatmu tahu, kalau memang kamu ditakdirkan untuk ada di satu tempat di situlah pada akhirnya kamu akan ada, dan menemukan puing cerita hidupmu.

            Aku tetap menyukai Galaksi.

            Aku tetap menyimpan perasaan kepadanya.

Tapi kini aku tidak peduli, apakah ia balik menyukaiku atau tidak. Apakah ia mempunyai perasaan yang sama terhadapku, atau tidak.

            Karena sekarang, aku lebih menyukai orang lain.

“Jadi mau ke mana kita, Len?” Suara berat seorang lelaki tiba-tiba terdengar dalam keheningan.

            Bimasakti.

            Lelaki yang sedikit lebih tinggi dan lebih kurus dari Galaksi.

            “Terserah. Mana aja oke, asal jangan danau buatan di pinggir kota.”

            Aku sudah setahun bersamanya.

            “Loh, kenapa?”

Kami bertemu satu tahun dan delapan bulan yang lalu, di sebuah toko buku di jalan Supratman. Kami berebut buku karangan Paul Coelho terakhir yang ada di rak. Aku sudah lama mengincar buku itu, dan sangat-amat sulit menemukannya. Maka aku tidak akan melepasnya begitu saja.

Setelah melalui perdebatan yang cukup memakan waktu, akhirnya ia mengalah, dan memberikan buku itu. Mengatakan kalau ia tinggal mencarinya di toko buku lain.

Saat itu, aku hanya melayangkan pandangan ‘whatever’ padanya, sebelum menjatuhkan irisku pada buku-buku yang ada di tas belanja miliknya.

Haruki Murakami, Neil Gaiman, Robin Sloan. Oh, My! Kami punya selera yang sama soal buku, ternyata.

            Aku bertanya, apakah itu semua buku-buku yang akan dibelinya.

Ia memutar bola matanya sebal, untuk kemudian menjawab ‘tentu saja, memangnya kenapa? Kamu ingin semua belanjaan buku saya ini?’

Aku terkekeh—oke, aku memang benar-benar tidak tahu malu, setelah beberapa detik lalu bersitegang, aku langsung bisa tertawa konyol—dan mengatakan kalau ia punya selera buku yang sama denganku.

Pandangan Bimasakti melembut—semula ia punya tatapan yang sangat tajam, yang akan mampu membuatmu terpaku di tempat selama bicara dengannya—dan menyahut ‘benarkah?’ dengan kerlingan yang tak kumengerti di sudut matanya.

Maka sejak saat itulah, kami mulai bertukar buku-buku yang kami miliki, dan membicarakan isinya dengan antusias.

Obrolan kami pun berlanjut, lebih dari sekadar membicarakan buku—kami bisa membicarakan banyak hal. Dan ini sedikit mengingatkanku pada sosok Galaksi beberapa tahun yang lalu.

Galaksi. Bimasakti.

Lagi-lagi, aku dipermainkan waktu dan benang merah kehidupan.

“Karena untuk mulai membaca sebuah buku baru, kamu perlu menyudahi buku yang sebelumnya kamu baca, Bim.” Jawabku, bermain analogisme.

Tapi aku senang, karena Bimasakti mampu ‘melihat’ku sepanjang waktu. Tidak hanya di saat-saat tertentu, di mana orang lain baru bisa menyadari kalau aku ada.

            Aku yang terkadang dikalah matahari, bintang, bahkan langit gelap.

“Ah, benar.” Bimasakti tertawa. “Dan semoga, buku baru itu akan mampu membuatmu lupa terhadap alur pada buku sebelumnya.”

            Tentu. Tentu saja.

***
Inspired by Apink’s So Long