Rabu, 25 Maret 2015

Fiksi: Lapang Dada



            Titik-titik hujan berlomba, berusaha untuk menjadi yang tercepat untuk mencapai bumi. Awalnya hanya berupa titik kecil, namun kelamaan makin tak bisa ditolerir. Aku tidak bisa menolerir.
            “Iya iya, Sayang. Sebentar lagi. Iya, ini aku sudah di jalan. Macet.”
            Aku menoleh begitu mendengar suara dari arah samping, yang datang dari seorang lelaki.
            “Iya, sebentar lagi. Iya.” Lelaki itu tetap bicara pada ponsel yang terkepit antara jemarinya.
            Cih. Lelaki jenis apa yang berbohong, pada siapapun yang kini tengah dihubunginya itu, dengan mengatakan jika ia sedang berada di jalan dalam keadaan macet jika pada kenyataannya yang ia lakukan adalah berdiri di bawah naungan pedestrian shelter, dihujani ketipuk hujan yang berirama buruk—bagiku—?
            Ya, lelaki di sampingku ini.
            Tak bisa dengan jelas kulihat wajahnya. Namun satu yang pasti dari profil yang ia miliki: posturnya menjulang, mengintimidasi.
            Kini perasaan sebal berkecamuk dan menjelma jadi berkali lipat. Tak ada yang lebih buruk dari berdiri dalam kepungan hujan bersama seorang laki-laki pembual. Hubunganku dengan hujan yang semula memang sudah tak baik jadi memburuk, dan cara pandangku tentang laki-laki juga tak makin membaik.
            “Mungkin kamu bisa menghapus kerutan dalam di keningmu sekarang juga, Mbak?”
            Terkesiap, segera aku mengalihkan pandangan pada pemilik suara: Lelaki Pembual tadi.
            “Hujan memang buruk. Saya amat membencinya.” Ia bicara pelan seraya tetap menatap lurus, ke arah jalanan yang kini memperdengarkan kebisingan knalpot patah-patah, klakson, deru mesin, dan auman deras air hasil kondensasi.
            Tetap diam, aku hanya melancarkan tatapan bingung yang ganjil untuk ia yang tiba-tiba mengajakku bicara.
            “Tapi apa yang bisa saya lakukan? Menghentikan hujan gak bisa, maka cukup berlapang dada sajalah.”
            Semakin aneh, dan aku makin menyernyit.
            “Saya juga tahu kalau kamu benci hujan.” Katanya kemudian.
            Tanpa berpikir panjang kujawab, “As much as I hate liars.”
            Dan sekarang ia menoleh.
            Tak bermaksud melebih-lebihkan, ternyata ia memiliki jenis tatapan yang teramat mengintimidasi. Lebih mengintimidasi dari tinggi badannya.
            “Berlapang dada sajalah. Kita sama-sama tahu apa yang satu sama rasakan. Bukankah begitu, Sheila?”
            Dan sekali lagi aku hanya diam.





Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku