Rabu, 06 Februari 2019

Thought of the Night: Ruang

Sebetulnya aku menulis ini hampir tiga tahun yang lalu! Tapi ketika kubaca lagi, ternyata masih tetap relatable hingga detik terakhir aku membacanya.

Kenapa ya, ketika aku tahu kalau aku bisa berbagi ruang dengan orang lain, aku cenderung melupakan ruangku sendiri? Padahal sebelumnya aku sudah merasa cukup dengan ruang yang sudah aku punya. Apa aku terus mencari ruang yang lebih baik?

Atau, apa karena manusia gak pernah merasa puas?

Baiklah, ini hanya pengingat untuk diri sendiri, untuk tidak melupakan apa yang sudah aku punya. Kebetulan sudah lama sekali aku lupa dengan ruang milikku ini.

Pengingat bahwa aku sebenarnya sudah utuh dengan ruang punyaku sendiri. 




       RUANG  

Suatu hari, ia meminta ruang. Ruangnya. Ruang yang selama ini kupinjam tanpa sadar. Saat kutanya mengapa ia ingin meminta ruang itu kembali, ia justru memintaku untuk tinggal sementara waktu di ruang lain. ‘Ruangmu sendiri, kamu kan juga punya’, serunya.
Kupastikan kapan kudapat bertandang lagi ke ruangnya. Namun berusaha santun, ia katakan bahwa untuk sementara waktu aku tak bisa dulu bertamu. ‘Bahkan mungkin, kamu tidak bisa lagi masuk’, ujarnya.
Sulit untuk tahu apa yang ia lakukan di ruangnya. Meski sering aku berkunjung, menatap ruangnya dari luar. Tapi tak lagi-lagi ia menawarkanku untuk mengintip keadaan ruangnya barang sekelumit. ‘Kamu kan bisa lakukan hal yang sama di ruangmu’, katanya.
Satu, dua, tiga kali, aku mulai merasa kalut. Lelah—menyadari jarak ruangku dan ruangnya tidaklah dekat. Senang—dapat menerka kalau ia dalam keadaan baik. Kecewa—tak dapat kutemui ia dalam keadaan pintu terbuka lebar-lebar. ‘Lihatlah ruangmu, perhatikan keadaannya, tidakkah buruk selalu meninggalkan ruangmu hanya untuk melihat aku dan ruangku?’, bisiknya.

Dan aku menyerah. Dalam sadar yang penuh, aku kembali menuju ruangku.

Ketika tiba di ruangku, dalam acuh aku tertegun. Satu langkah, dua langkah, berlangkah-langkah. Ternyata banyak bagian darinya yang sudah lama tidak kusentuh. Bahkan sudut-sudutnya pun tak terurus, tak terjamah; terlalu sering kutinggalkan sampai-sampai aku lupa bagaimana rasanya memilin langkah di ruangku sendiri. Aku kembali belajar, kembali berusaha mengenal ruang yang secara menyedihkan terasa asing ini.
Cukup lama perlu kusadari, ternyata ini rumahku. Ruangku adalah rumahku. Mulailah terlupakan bagaimana rasanya berpijak pada tiap bagian di ruang miliknya. Terenyahkan sudah bagaimana ruang itu terasa. Ruangku, milikku, ternyata tak buruk. Justru dia lebih baik untuk kutinggali saat ini. Juga nanti. ‘Dan mungkin selamanya’, pikirku.
Sebetulnya aku masih bisa mengintip ruang miliknya ‘tuk sekadar memastikan apakah kamu baik-baik saja, tentu. Ia pun boleh bertamu ke ruangku, jika memang berkenan. Tapi, kenyataannya cukup dengan saling memperhatikan ruang satu sama lain tanpa melangkah keluar sudah membuatku yakin kalau ia—dan ruangnya—dalam keadaan baik. Itu terdengar lebih menyenangkan.
Terima kasih. Ia telah membantuku. Ia membantuku menyadari bahwa ruangku masih terasa seperti rumah—dan pada kenyataannya memang rumah yang akan selalu jadi tempatku kembali. Kurasa membuat diri menjadi nyaman di ruang sendiri adalah pelajaran seumur hidup. Jadi tak perlu tergesa sampai menyantak pintu milik ruang orang lain.
Aku sudah punya satu ruang yang komplet, dan ia juga. Kemudian kami pun tak perlu menetap di satu ruang yang sama. Sebab aku dan ia dapat tetap merasa lengkap dengan keutuhan ruang masing-masing.
Benar begitu?

1 komentar: